Pemilu yang diikuti seorang Prabowo menjadi satu moment normatif memilih pemimpin berdasarkan konstitusi demokrasi. Dalam situasi kuatnya arus Nasionalisme, Prabowo harus bisa memodifikasi ideologi agar bisa bersaing dengan Jokowi. Hingga pilihannya jatuh pada senyawa antara Islam Fundamentalis dan Nasionalis Kapitalis.
Prabowo yang juga dikenal Nasionalis namun cacat dalam proses politiknya di tahun 98, terbukti beberapa kali gagal dalam bursa kepemimpinan saat berhadapan dengan kaum Nasionalis murni sekelas PDI-P. Menjalin koalisi dengan kelompok Islam Fundamentalis menjadi alternatif terakhir Prabowo. Sukses menyatukan ormas dan partai Islam militan bersanding dengan kaum Kapitalisme sisa orde baru menjadikan Prabowo kuat dalam sosialisasi ideologi namun lemah dalam menyelaraskan kepentingan politik.
Bagaimana kelompok berideologi negara Islam bisa bersatu dengan kaum Kapitalis moderen. Ibarat menyatukan Bank Syari’ah dengan Lembaga Leasing duduk bersama dalam satu meja membahas ekonomi yang jauh api dari panggang.
Dan pada akhirnya keputusan Prabowo menolak hasil Pemilu Presiden 2019 bukan hal yang mengejutkan. Pemilu yang kesekian kali diikutinya sekedar menjadi ajang menanam ideologi baru ke dalam kejenuhan masyarakat pada sistem pemerintahan yang tak juga surut praktik korupsi dan kolusinya. Rakyat disuguhi pilihan sistem pemerintahan baru ber-Syari’ah Islam dengan mengorbankan ke-Bhinekaan dan demokrasi terpimpin yang selama ini berjalan’di Republik.
Menolak Pemilu Demokratis menjadi isyarat nyata Prabowo sedang membangun tembok tebal pemisah antara pendukungnya dan pendukung Jokowi. Dengan menolak hasil Pemilu otomatis juga menolak Presiden terpilihnya. Dan perjuangan merongrong Pemerintah menjadi lebih leluasa daripada menjadi oposisi yang setengah hati berseberangan
2019 tetap bukan saat yang tepat Prabowo menjadi Presiden, sesungguhnya dia tidak berfikir kemenangan, tetapi berapa banyak pembenci nasionalis yang diperbesar dan kumpulkan untuk menjadi kekuatan tanpa tandingan di 2024 nanti.
Namun satu pertanyaan ganjil sempat terpikirkan belakangan ini. Para penggagas anti pemilu dan pemerintah berbondong-bondong menepi keluar negeri. Kalau bertujuan sekedar wisata sungguh mustahil. Skenario baru sedang mereka jalankan. Bagaimana mereka sedang mendefinisikan dirinya sendiri sebagai kelompok yang sedang dalam ancaman kriminalisasi. Mendatangi beberapa negara seolah meminta perlindungan. Curhat segala situasi dramatis yang mereka alami. Selanjutnya bisa diduga, negara yang merasa iba dan memberi suaka, otomatis masuk dalam konflik politik bilateral dengan Indonesia.
Jika itu yang benar terjadi, sungguh…. kita sedang berhadapan dengan kekuatan besar bukan hanya sekelas Prabowo dan HRS. Entah apa namanya, namun bahwa siklus ideologi sedang mengancam Indonesia benar adanya dan sedang bergerak.
Iran telah merasakan pahitnya siklus ideologi dari sekuler menjadi negeri para Mullah dengan bonus perang panjang menghadapi Irak. Butuh waktu 2 dasawarsa untuk memutar siklus saat Ahmadinejad secara revolusioner mengembalikan menjadi Republik.
Menyusul Turki dibawah Endrogan menjadi negara Islam modern, tempat berkumpulnya para Wahabi,Khilafah dan Kurdistan. Hingga kejatuhan Endrogan menjadi bukti penyatuan Agama dan Pemerintahan di era modern bukan pilihan yang bijaksana dalam persaingan global.
Dan yang paling dramatis ketika Yaman dan Suriah luluh lantak dalam upaya mempertahankan diri dari gempuran penganut Daulah Islamiah.
Kebangkitan Islam dalam prespektif politik dan kekuasaan harus dibayar mahal. Itupun tidak membuat para pencetusnya berhenti berupaya. Indonesia menjadi salah satu tujuan penaklukan yang paling menantang dan ambisius. Dan kita bersyukur masih diberi kesempatan memperpanjang nafas di bawah kepemimpinan Jokowi.
Entah seberapa kuat hingga 2024 di saat kita belum juga menemukan seorang penyelamat bangsa sekelas Jokowi.
Semoga paham