Sebenarnya bentuk kepanikan kubu Prabowo sudah terlihat jauh-jauh hari sebelum pilpres. Salah satunya tercermin dari isyu hoax surat suara tujuh kontainer yang tercoblos, kemudian permintaan Prabowo kepada relawannya untuk berlebaran di TPS, sandiwara tercoblosnya surat suara di Malaysia. Itu hanyalah segelintir dari sekian banyak isyu yang muncul atau dimunculkan akibat ketidakyakinan kubu Prabowo terhadap kemampuan Prabowo mengalahkan petahana.
Ketidakyakinan terhadap Prabowo yang dapat memenangkan pilpres juga ditunjukkan oleh partai koalisi 02, di mana baik Demokrat maupun PAN terkesan menutup sebelah mata bahkan membiarkan para kadernya di daerah untuk mendukung petahana.
Dan benar saja, saat pilpres berlangsung tanggal 17 April 2019, berdasarkan hasil Quick Count (QC) berbagai Lembaga Survey Indonesia yang terakreditasi, petahana berhasil mengantongi suara jauh melampaui perolehan suara Prabowo.
Entah mendapatkan bisikan dari mana (belakangan Andi Arief menyebut setan gundul), Prabowo yang tidak dapat menerima kekalahan, memaksa melakukan sujud syukur. Bukan cuma sekali namun sampai tiga kali. Dirinya menolak mempercayai hasil QC dan lebih menyakini bisikan setan gundul. Kemudian mengklaim dirinya sebagai pemenang dengan perolehan suara 62 persen.
Namun lucunya klaim kemenangan yang dilakukan, berdekatan dengan tudingan KPU melakukan kecurangan, padahal 5 di antara 7 komisioner KPU adalah atas usulan yang datang dari kubu 02. Hal ini diungkap oleh anggota TKN Inas Nasrullah Zubir.
Setelah diskak oleh Inas, BPN 02 pun berkilah, juru debat BPN Ahmad Riza Patria menolak dianggap mencurigai KPU. Dirinya mengalihkan tudingan ke petugas KPPS.
“Itu pelakunya kan KPPS bekerja sama dengan oknum timses atau partai tertentu,” ujar Riza.
Tidak cukup menuding petugas KPPS, korban-korban meninggalnya petugas KPPS pun ikut dipolitisir dengan beredarnya isyu diracun. Padahal fakta yang sebenarnya adalah dari kelelahan atau stress yang kemudian memicu kambuhnya penyakit yang sebelumnya sudah diidap oleh petugas tersebut.
“Kesimpulan diskusi tersebut sudah jelas. Kelelahan hanya pemicu, misalkan dia sudah memiliki riwayat penyakit jantung, stroke ditambah kecapaian dan faktor lain itu yang menyebabkan dia meninggal,” demikian yang disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih.
Tidak hanya itu, menyadari berbagai serangan ke KPU termasuk meminta situng dihentikan hingga melaporkan komisioner KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP), menuding server KPU disetting, serta mengundang media asing, juga dilakoni oleh kubu Prabowo.
Sementara itu Jokowi yang merupakan capres petahana juga tidak luput dari tekanan. Suara-suara memelas, mengemis dan merengek yang meminta Jokowi mundur dan legowo pun bermunculan. Mulai dari munculnya sebuah video yang memuat permintaan agar Jokowi mengalah. Video berjudul Nasehat Untuk Bapak Jokowi itu bisa dilihat dari laman Instagram @haikalhassan_quote.
Video itu pun mendapat komentar dari anggota TKN Inas N Zubir yang menyebut kubu Prabowo menggunakan cara kaum pecundang.
“Apakah memang sedemikian putus asanya kubu Prabowo, sehingga menggunakan cara-cara kaum pecundang untuk berkompetisi demokrasi dalam sebuah bangsa besar yang sedang menjadi perhatian dunia,” ujar anggota TKN Inas N Zubir, Selasa 30 April 2019 yang lalu.
Tak urung, menteri gagal yang dipecat Jokowi juga ikut bersuara. Rizal Ramli meminta Jokowi meniru sikap para presiden terdahulu. Sikap yang dimaksud adalah, legowo melepas jabatan ketika digulingkan oleh lawan politik.
Helowww, sejak kapan Jokowi digulingkan oleh lawan politik? Jokowi malah mendapat mandat dari 56 persen lebih suara rakyat Indonesia untuk menjabat di periode kedua. Justru kalau Jokowi menuruti perkataan mantan menteri gagal ini, Jokowi yang salah, karena mengkhianati kepercayaan rakyat kepada beliau. Harusnya kata legowo itu Rizal sampaikan ke Prabowo agar legowo untuk kalah. Ngakunya lebih TNI dari TNI, tapi siap menang gak siap kalah.
Dan yang terbaru atau dapat dikatakan jurus terakhir pendukung Prabowo adalah seruan untuk people power. Seruan ini sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh Amien Rais. Semakin dekat ke tanggal 22 Mei, seruan ini semakin menggema, malah mengarah ke merebut kekuasaan dengan cara inkonstitusional alias makar.
Hal ini terlihat dari konten berisi ajakan untuk turun ke jalan yang begitu masif tersebar ke grup-grup WhatsApp. Tidak diketahui pasti siapa pembuat pertama pesan tersebut.
Namun bila kita membaca pesan tersebut, maka akan jelas terlihat syahwat mereka untuk mengangkat Prabowo menjadi pemenang. Hal ini terlihat dari pesan WhatsApp yang berjudul Komando Sudah Turun.
Pada point ke-5 tertulis “Jika pengumuman KPU merugikan 02, maka massa menduduki kantor KPU, Bawaslu, DPR dan istana sampai KPU dan Bawaslu mengubah putusannya.”
Pasa point ke-6 tertulis “Jika KPU dan Bawaslu tidak mengubah putusannya, people power menduduki istana negara sampai presiden lengser.”
Untungnya rencana jahat tersebut terancam gagal. Tokoh-tokoh yang diduga ada dibalik rencana tersebut berhasil diidentifikasi oleh pihak kepolisian. Kivlan Zein dan Lieus Sungkharisma dipolisikan atas tuduhan makar, Eggy Sudjana ditahan hari ini 14 Mei 2019, setelah menjalani pemeriksaan selama 13 jam. Mantan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, Bachtiar Nasir, memilih mangkir dari panggilan Bareskrim Polri dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dengan alasan memenuhi undangan acara Liga Muslim Dunia di Arab Saudi.
Akibatnya gerakan yang bertopengkan people power ini pun terancam kehilangan komando.
Kini kita tinggal menunggu, apa langkah kubu atau pendukung Prabowo selanjutnya?. Apakah akan tetap ngotot memaksa menggunakan cara-cara inkonstitusional dengan memunculkan tokoh-tokoh baru untuk mengambil alih komando people power. Atau mulai belajar menerima kenyataan bahwa dengan selisih hampir 13 persen atau 16 juta suara, dapat dipastikan tidak akan terkejar lagi. Mungkin sudah saatnya Prabowo menerima kenyataan ini dan menelepon Jokowi untuk mengucapkan selamat. Bagaimana menurut Anda?