Pagi ini saya disuguhkan oleh teman-teman di WAG dengan dua tulisan, dari Denny Siregar judulnya “Surat Dari Sahabatku PSI Tercinta” dan dari Rudy S Kamri yang berjudul “Antara Ninoy, PSI dan FPI”. Dua buah tulisan yang cukup menarik menurut saya, setelah beberapa hari sebelumnya saya juga membaca tulisan bos kura-kura, Alifurrahman.
Persamaan atau benang merah di antara ketiga tulisan yang dibuat oleh tiga “dewa” opini di dunia tulis menulis ini adalah menyesalkan dan mengharapkan agar PSI dapat mencabut pelaporan ke pihak kepolisian terhadap Ninoy Karundeng terkait tulisannya yang sempat menghebohkan.
Sebelum melanjutkan lebih jauh, ijinkan saya menyimpang sejenak..
Kembali ke beberapa abad silam, bagi penganut agama Islam tentu tidak asing lagi dengan nama Umar bin Khattab. Umar yang awalnya adalah penentang Islam paling keras, kemudian berbalik menjadi pembela Islam paling gigih. Kelak, setelah Rasulullah wafat, sosok yang dikenal tegas ini menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar.
Mundur lagi ke beberapa abad sebelumnya, ada nama Paulus dari Tarsus (awalnya bernama Saulus dari Tarsus). Paulus yang mulanya merupakan musuh Nasrani, di kemudian hari malah menjadi penyebar yang paling bersemangat dan berpengaruh terhadap perkembangan kekristenan.
Entah akan seperti apa perkembangan kedua agama tersebut saat ini, bila Islam tanpa Umar atau Kristen tanpa Paulus.
Di zaman modern, kita dapat melihat contohnya dari kemampuan Jokowi dalam merangkul lawan-lawan politiknya. Salah satunya Ali Mochtar Ngabalin yang sebelumnya adalah penantang paling keras Jokowi akhirnya malah berbalik menjadi orang yang paling nyaring bersuara membela Jokowi.
Saya tidak mencoba menyamakan Ninoy dengan orang-orang besar tersebut. Lagian siapa sih Ninoy? Mengutip apa yang disampaikan oleh Denny, Ninoy hanyalah seorang kepala keluarga yang mencoba mencari nafkah dengan menulis. Ninoy hanya “terpeleset” akibat tulisannya yang terlalu “bersemangat”. Belum lagi Ninoy pada dasarnya bukanlah pembenci PSI, bila melihat tulisan-tulisan Ninoy sebelumnya tentang PSI.
Melalui cerita di atas, saya hanya ingin mengatakan, memaafkan dan merangkul kadang membawa kebaikan yang lebih besar bagi yang melakukannya. Walaupun tidak langsung kita rasakan saat itu juga.
Pelaporan PSI kepada Ninoy dapat dibenarkan dan saya dukung manakala misalnya Ninoy tetap ngotot mempertahankan pendapatnya dan menolak untuk meminta maaf atau malah memilih untuk menghindar.
Namun yang saya tahu, Ninoy atas inisiatifnya sendiri, mendatangi DPP PSI untuk melakukan klarifikasi dan meminta maaf. Artinya Ninoy cukup bertanggung jawab dan tidak menghindar atas kesalahan yang diperbuatnya. Apalagi kemudian video permintaan maafnya juga diviralkan ke mana-mana. Sampai di sini harusnya sudah selesai.
Memaksakan diri untuk memperpanjang kasus ini, hanya akan menjadi kerugian bagi PSI. Pandangan masyarakat terhadap “jiwa besar” PSI pada akhirnya tergerus dan mempengaruhi simpati publik kepada PSI itu sendiri.
Jadi meski terlihat PSI menang karena berhasil memenjarakan Ninoy. Namun secara jangka panjang, PSI malah merugi akibat sikap “keras” yang ditunjukkan oleh PSI.
Sebaliknya bila Ninoy dirangkul atau bahkan menjadi salah satu kader PSI, bisa jadi kemampuannya akan berguna bagi PSI untuk pemilu berikutnya.
Saya setuju dengan apa yang dikatakan Rudy S Kamri, bahwa sudah saatnya Grace mengambil alih kendali. Momen ini bisa dimanfaatkan oleh Grace untuk menunjukkan “Who Is The Boss” di PSI sekaligus mementahkan tudingan Ninoy melalui tulisannya.
Namun bukan itu saja, saya juga menanti gebrakan PSI di parlemen, khususnya di DPRD Jakarta. Apakah PSI dapat menjadi partai yang berpegang teguh pada komitmen yang selama ini digembar-gemborkan? Atau malah tidak jauh berbeda dengan partai-partai lainnya yang sudah lebih dahulu mencicipi nyamannya ruangan ber-AC di Senayan.