Namanya politisi, pastilah menjual janji. Kalau menjual panci pastilah tidak laku, karena panci bisa langsung ambil dirumah dinas dan (bisa) tidak dikembalikan…hehe.
Janji apa? Sebut saja janji kebijakan yang pro rakyat, janji mensejahterakan rakyat, janji menciptakan lapangan pekerjaan, janji ketahanan pangan dan janji-janji yang empuk lainnya lah pokoknya.
Tetapi jujur saja selama ini saya tidak pernah terlalu berharap banyak dengan janji politisi karena saya tahu semua yang dijanjikan itu masih sangat tergantung banyak faktor. Saya selalu melihat lebih luas kemana arah kebijakan seorang calon pemimpin.
Ambillah contoh janji yang lagi ngehits, harga bahan pokok murah, stabil dan terjangkau. Murah itu berapa? Stabilnya diangka berapa? Terjangkau itu berapa? Itu kan relatif. Harga pangan tentu sangat tergantung dengan ketersediaan, tergantung hukum pasar demand and supply dan sebagainya. Jika komoditas langka, harga akan naik. Permintaan meningkat, otomatis hargapun akan naik. Demikian juga ketika pasokan berkurang, mau tak mau harga menyesuaikan.
Pasokan bahan pokok itu sendiri masih sangat tergantung dengan hasil panen, faktor cuaca, kapasitas ekspor dan juga impor. Belum lagi ada faktor eksternal semisal mafia pangan, penimbunan sembako dan lain-lain. Mau politikus janji semurah apapun, kalau faktor-faktor tersebut tidak mendukung pastilah tidak akan terealisasi.
Setelah dari sini sudah sedikit paham, barulah saya mulai menilai. Benarkah harga pangan murah, jika dirasa mahal lalu apa penyebabnya dan salah siapa? apakah pemerintah sudah melakukan langkah-langkah yang strategis? Atau pemerintah lalai mengantisipasi? Lalu coba saya bandingkan dengan pemerintahan yang lalu dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Dari hasil pertimbangan yang rasional tersebut barulah saya bisa mengambil kesimpulan : pemerintah menepati janji, pemerintah belum memenuhi janji yang artinya layak diberi kesempatan kedua atau pemerintah sama sekali gagal memenuhi janji dan harus segera diganti.
Nah yang terjadi saat ini adalah oposisi hanya lantang menyuarakan Jokowi ingkar janji tanpa pertimbangan-pertimbangan apapun. Lah inilah yang sangat berbahaya. Berikut beberapa janji Jokowi yang selalu di goreng ingkar :
Janji mobil Esemka menjadi mobil nasional.
Tentu sebelum produksi banyak yang harus dilihat apakah mobil Esemka bisa masuk ke industri apa tidak, bisa dipasarkan atau tidak, apakah desain bagus dan bisa diterima pasar dan tentu saja harga jual. Pemerintah tentu berkewajiban memfasilitasi, tetapi soal persaingan tentu sangat tergantung bagaimana Esemka berinovasi agar memiliki daya saing.
Janji tidak impor bahan pangan
Pada periode tertentu impor bisa saja ditahan. Tetapi bagaimana jika stok bulog menipis sementara petani kita belum mampu memenuhi kebutuhan nasional? solusi untuk menstabilkan harga tentu saja impor. Impor tidak salah, ketergantungan produk impor itu yang fatal. Nah sekarang lihat apa yang sedang dilakukan pemerintah. Waduk dibangun dimana-mana, bendungan untuk irigasi sekaligus pembangkit listrik dikejar demi meningkatkan produksi petani kita. Kalau kata jokowi, “gimana mau bertani kalu airnya tidak ada”?
Apakah saat ini kita sudah swasembada pangan? Tentu saja belum! Tetapi bukankah kita lihat ada seberkas sinar harapan swasembada diujung sana? Pak Jokowi sedang membangun fondasi swasembada pangan itu…
Janji 10 juta lapangan kerja dan serbuan TKA
Nilailah dengan jujur, jangan menilai berdasarkan kebencian. Menurut mentri Hanif Dhakiri, dari data kemenaker ada 2 juta tenaga kerja terserap per tahunnya, ingat Jokowi baru efektif 3 tahun bekerja. Dan isu serbuan TKA yang digembar gemborkan ternyata hanya 0,1 % saja.
Janji buyback Indosat
Isu ini digoreng terus. Padahal kalau kita ingat pernyataan buyback Indosat hanya muncul sekali saat debat capres. Saat itu Jokowi mengatakan akan buyback jika pertumbuhan ekonomi diatas 7%. Dilihat dari urgensi dan kepentingannya juga tidak mendesak, untuk apa dipaksakan buyback saat kondisi ekonomi global sedang labil?
Tidak bagi-bagi kursi menteri
Tentu kita harus melihat lebih luas tujuan presiden membentuk kabinet. Tidak bagi-bagi kursi bukan berarti tidak memberi jatah parpol pendukung, toh banyak menteri yang profesional. Apakah salah? Tidak! Sejauh seorang menteri efektif dalam membantu tugas-tugas presiden. Lihatlah prestasi menteri kabinet kerja, akslerasinya luar biasa. Lalu dimana letak ingkar janjinya ?
Janji kabinet ramping
Ramping bukan berarti menguragi jumlah kementerian. Ramping disini bisa berarti efisiensi kinerja pegawai kementerian dalam menerjemahkan arahan presiden. Bukankah sejauh ini kerja kementrian sangat efisien?
Listrik dan BBM, Gas tidak naik
Bukankah listrik, BBM dan Gas subsidi harganya stabil? Harga Listrik 450w, BBM premium dan gas 3kg tidak naik dan masih terjangkau. Kalaupun naik, jika itu untuk mengadministrasi keadilan sosial apakah salah?
Di Jakarta, BBM naik 500 perak ributnya 3 bulan, di Papua harga BBM 100 ribu diam bertahun-tahun…
Kita pakai AC, TD Listrik 900w naik, sumpah serapah berbulan-bulan, di Kep Mentawai sana adik-adik kita masih belajar dengan lentera, diam bertahun-tahun…
Kita naik mobil, tarif tol naik teriak-teriak ganti presiden, saudara-saudara kita di Kampung Laut, Cilacap sana terseok-seok menyusuri jalan berlumpur, diam berpuluh-puluh tahun…
Di Jawa gas naik 2 ribu rupiah semua menjerit seperti dicekik, sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat sana ada ibu-ibu sebut saja Mawar, menanak nasi pakai kayu bakar, diam bertahun-tahun…
Mikir! Dimana keadilan sosial itu?
Itulah pemikiran saya menjawab gorengan membabi buta oposisi. Sekali lagi saya tidak pernah makan mentah-mentah janji politisi. Saya lebih melihat “big picture” dari janji-janji seorang politisi. Apakah dia benar-benar “mengadmistrasi keadilan sosial” ataukah dia justru “berambisi kekuasaan sosial”.
Itulah mengapa saya sepakat dengan kang Ridwan Kamil, Presiden, siapapun itu, wajib dua periode.
Selamat mikir!