Partai Solidaritas Indonesia atau yang biasa disingkat PSI ini merupakan partai yang cukup spesial menurut saya. Kehadirannya di belantika perpolitikan Indonesia memberikan warna tersendiri yang tidak dimiliki oleh partai lainnya.
Dipimpin oleh Grace Natalie, PSI yang didirikan pada tanggal 16 November 2014 ini pun mengusung konsep milenial, untuk menyentuh anak-anak muda. Partai anak muda yang masih muda usianya ini juga memiliki tekad untuk mengubah kondisi politik di Indonesia.
Sayangnya tekadnya harus kandas pada pemilu 2019 ini karena perolehan suaranya yang tidak mencapai empat persen Parliamantary Threshold (PT).
Apa yang menyebabkan PSI kalah? Ada yang menyebutkan terlalu vulgarnya gaya narasi yang disampaikan oleh Grace Natalie, tidak hanya menyerang partai lawan politik namun juga partai koalisi. Hal ini berakibat pada reaksi keras berupa munculnya narasi yang memojokkan PSI. Saya setuju, namun menurut saya, itu bukan faktor dominan. Terbukti berdasarkan exit poll, suara PSI justru melambung di kalangan WNI yang ada di luar negeri.
Gaya narasi Grace yang ceplas-ceplos langsung tembak walaupun mendapat kritisi dari berbagai pihak di dalam negeri, ternyata sangat digemari oleh para anak muda di luar sana yang cara berpikirnya sudah lebih terbuka. Entah karena pengaruh pendidikan ataupun pengaruh kultur tempat mereka berdomisili.
Saya belum memiliki data QC perolehan suara PSI per daerah, namun bila saya boleh berasumsi, berkaca dari hasil exit poll di luar negeri dan hasil QC di DKI Jakarta yang menempatkan PSI menjadi partai empat besar dalam perolehan suara. Maka perolehan 3 juta suara yang di dapat oleh PSI selain dari luar negeri, sisanya saya perkirakan terkonsentrasi ke kota-kota besar.
Kekalahan PSI sepertinya mengulangi kesalahan yang sama dengan yang dilakukan oleh PSI lama. Disebut PSI lama karena walaupun singkatannya sama, tapi namanya berbeda. PSI lama yang saya maksud adalah Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir.
PSI lama mencitrakan dirinya sebagai partai terpelajar, sementara masyarakat ketika itu masih banyak yang buta huruf. Selain itu PSI lama adalah partai kader, bukan partai massa. Merasa sebagai partai kader, PSI lama tidak membangun jaringan massa yang kuat hingga ke pelosok. Yang tertarik pada PSI lama hanya orang-orang terpelajar dan orang-orang gerakan bawah tanah saja, bukan masyarakat secara luas.
Akibatnya dapat ditebak, partai yang berisi orang-orang jago debat dan diskusi ini harus menerima kenyataan pahit. Dalam pemilu 1955, PSI lama hanya memperoleh 753.191 suara (1,99 persen) saja dalam pemilihan anggota DPR dan 695.932 suara (1,84 persen) dalam pemilihan konstituante. Di DPR, partai ini hanya bisa menempatkan 5 anggota DPR dan 10 orang wakil di Konstituante.
Jika PSI Sjahrir punya citra sebagai partai bagi orang-orang terpelajar, maka PSI Grace memposisikan diri sebagai partainya anak muda. PSI membidik generasi milenial yang memiliki potensi suara cukup besar, yakni 40 persen
“Para teman-teman milenial yang mungkin juga punya pengalaman pertama untuk mencoblos, kita ini jumlahnya besar banget lho ada 40 persen,” kata Grace Natalie optimis ketika itu.
“Dalam Pemilu 2019 ini, kalau bisa 6 sampai 7 persen, seperti perolehan partai baru di pemilu sebelumnya,” kata Grace, pada pekan kampanye. Partai baru yang dimaksud Grace adalah Nasional Demokrat (Nasdem).
Saya yakin itu bisa tercapai, kalau saja kader PSI di daerah mau turun ke bawah dan rajin mensosialisasikan program dan partainya, sejak awal. Namun sayangnya saya tidak melihat hal itu. Dari perbincangan saya di WAG IV saja menunjukkan banyak yang baru tahu nama PSI satu dua tahun terakhir ini.
Padahal teman-teman saya itu tinggal di kota-kota besar seperti Medan, Bandung, Jakarta, Tangerang ataupun Surabaya. Bila yang di perkotaan saja baru kenal nama PSI belum lama ini, bisa dibayangkan dengan masyarakat yang tinggal di kota kecil bahkan di pedesaan. Bagaimana masyarakat mau memilih kalau mereka sendiri tidak kenal, bahkan merasa asing dengan nama caleg PSI atau nama PSI itu sendiri?
Saya rasa ini cukup menjelaskan mengapa PSI gagal mendapatkan manfaat maksimal dari potensi suara 40 persen generasi milenial tersebut.
Keberhasilan PSI masuk empat besar partai yang memperoleh suara di DKI dan hampir dipastikan melangkah ke gedung DPRD harus bisa diefektifkan oleh PSI. Masyarakat menunggu apa gebrakan yang bisa dilakukan oleh para caleg PSI ini. Apakah janji yang diucapkannya sesuai dengan realisasinya setelah masuk gedung DPRD atau malah tidak jauh berbeda dengan partai-partai lainnya yang setelah berhasil lantas lupa akan janji-janjinya?
Sepak terjang PSI di gedung DPRD DKI Jakarta, akan menjadi penilaian dan pertimbangan masyarakat, apabila PSI memutuskan kembali berkompetisi di tahun 2024 nanti.
Bila Grace mengatakan sama sekali tidak ada penyesalan atas setiap tetes keringat dan air mata yang jatuh selama membangun partai ini. Maka hal yang sama juga dapat saya sampaikan. Walau gagal melangkah ke senayan, namun saya tidak pernah menyesal memberikan suara saya untuk PSI. Karena saya memiliki harapan, melalui PSI lah wajah parlemen Indonesia bisa berubah.
Melalui PSI lah nilai-nilai yang ditanamkan Jokowi tentang kesederhanaan, optimisme, semangat bekerja, kedisiplinan dan kejujuran dapat ditunjukkan dan menjadi contoh bagi anggota parlemen lainnya. Melalui PSI juga nilai-nilai Bersih, Transparan dan Profesional dapat diimplementasikan sehingga menjadi teladan bagi anggota dewan yang lain.
Dan pembuktiannya dimulai dari gedung DPRD DKI Jakarta…