Muncul wacana menggelar referendum di Aceh dengan pilihan, tetap menjadi bagian wilayah Indonesia atau lepas dan menjadi negara baru, sebagaimana dalam kasus Timor Leste, diutarakan oleh Muzakir Manaf tidak lama setelah hasil penghitungan suara KPU menunjukkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah secara nasional. Sementara di Aceh sendiri, Prabowo-Sandi menang telak dengan 81 persen suara.
Wacana referendum ini digagas oleh Muzakir Manaf, yang merupakan mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA). Muzakir Manaf dengan sebutan akrab Mualem juga pernah menjabat sebagai wakil gubernur Aceh.
Namun sepertinya timbul perbedaan pendapat tentang referendum ini dan tidak semua satu suara dengan Muzakir, salah satunya adalah Sekjen Partai Aceh Kamaruddin Abubakar, yang menyatakan wacana referendum tidak perlu diteruskan meskipun sepakat bahwa poin-poin kesepakatan mengakhiri konflik yang tercantum dalam MoU perlu diselesaikan.
Jelas pandangannya berseberangan dengan Marzuki AR, karena kedudukannya sebagai ketua Sekretariat Bersama pasangan Jokowi-Ma’ruf Provinsi Aceh.
“Alhamdulillah, dari perdamaian kita tanggal 15 Agustus 2005 sampai hari ini, sudah masuk 14 tahun, kita syukuri nikmat perdamaian Aceh dengan RI.”
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah layak wacana referendum ini dicetuskan? Untuk menjawabnya, kita harus melihat sekilas apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan Aceh di masa lalu. Dalam hal ini saya akan mengutip pernyataan Taufik Abdullah, seorang sejarahwan yang pernah meneliti tentang Aceh.
“Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai “daerah modal Republik”, ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948. Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu.”
Bila kita baca paragrap di atas, maka ada dua kesimpulan yang dapat kita ambil. Pertama, soal otonomi khusus (penerapan syariah). Yang kedua adalah tentang masalah ekonomi, di mana masyarakat Aceh merasa tidak mendapat manfaat akibat pembangunan yang bersifat Jawasentris sejak Indonesia merdeka hingga era reformasi.
Hal ini mengingatkan saya akan celutukan guru sekolah saya dulu.
“Gimana Aceh gak mau berontak? Di Aceh banyak sungai, gak ada jembatan sedangkan di Jakarta sedikit sungai banyak jembatan (jalan layang).”
Tensi ketegangan sempat menurun pasca penetapan syariat Islam di Aceh didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001.
Apalagi kemudian negara mengakui keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). Pengakuan ini sebagai wujud realisasi atas Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinky. Nota MoU ini dicetuskan oleh Jusuf Kala saat dirinya menjabat sebagai wapres ketika itu, sebagai upaya rekonsiliasi menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
Namun sayangnya riak-riak pembangunan secara ekonomi masih belum terasa oleh rakyat Aceh.
Baru kemudian di masa pemerintahan Jokowi periode pertama (2014-2019). Aceh mendapat imbas dari getolnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Jokowi di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, jalan tol pertama dibangun oleh Jokowi di Aceh. Jalan tol yang merupakan satu rangkaian dengan tol Trans Sumatera ini resmi dimulai pembangunannya per tanggal 14 Desember 2018, di mana jalan tol di Bumi Serambi Mekah ini, terbagi pada enam segmen yang totalnya mencapai panjang 74 kilometer. Dengan nilai investasi Rp 12,35 triliun, jalan tol yang nantinya menghubungkan Banda Aceh-Sigli ini, ditargetkan rampung pada 2021.
Sebelumnya, Jokowi juga telah membangun tempat ibadah muslim yakni sebuah masjid bernama Masjid At-Taqarub. Masjid ini dibangun karena mengalami kerusakan pasca gempa mengguncang Aceh pada 7 Desember 2016 dan selesai pada Ramadhan 2018. Masjid At-Taqarub dibangun dua lantai di atas tanah seluas 4.635 meter persegi. Masjid yang mampu menampung hingga 2000 jamaah ini pun memiliki fasilitas lengkap mulai dari ruang wudhu pria dan wanita, perpustakaan, kantor sekretariat, ruang imam, ruang bilal, dan ruang rapat.
Malah jauh sebelum membangun jalan tol, rupanya Jokowi telah membangun Flyover Surabaya yang pengerjaannya dimulai pada 21 Desember 2015 dan selesai pada tanggal 25 Oktober 2018. Flyover Surabaya ini dibangun dengan nilai kontrak Rp 250,1 miliar. Diperkirakan pembangunan Flyover Surabaya mampu mengurangi kemacetan yang terjadi di Banda Aceh.
Demi meningkatkan perekonomian masyarakat Aceh, Jokowi juga menetapkan Arun sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2017. KEK Arun nantinya akan fokus pada sejumlah sektor. Misalnya sektor energi, petrokimia, agro industri pendukung ketahanan pangan, logistik hingga industri penghasil kertas kraft.
Jokowi berharap KEK Arun yang memiliki kekayaan ekosistem pada perairannya, dikembangkan sehingga dapat produktif dan menjadi basis industri perikanan tangkap. Terakhir, KEK Arun pun berpotensi menjadi kawasan basis industri pertanian dengan dukungan komoditas unggulan seperti sawit, kopi, kakao, karet, kelapa, minyak atsiri dan lain-lain.
Itu hanya sebagian saja dari berbagai pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi untuk masyarakat Aceh. Kita belum berbicara tentang bendungan Rajui, bendungan Paya Seunara, Bendungan Keureuto di Aceh Utara, Bendungan Rukoh, dan Bendungan Tiro di Pidie, proyek jaringan irigasi Lhok Guci yang berlokasi di Aceh Barat dan Jambo Aye di Aceh Utara dan lain-lainnya.
Dan semuanya dikerjakan Jokowi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat Aceh. Kalau mau dibandingkan, mungkin pembangunan yang dilakukan oleh 6 presiden sebelumnya di Aceh digabungkan menjadi satu pun, belum tentu sepesat dan sebanyak satu periode Jokowi.
Dan apa yang di dapat Jokowi? Tak lain adalah tamparan telak 19 persen suara yang kemudian diikuti siraman air comberan berupa wacana referendum oleh seorang mantan panglima GAM, hanya gara-gara dirinya mempercayai hoax yang tidak kelihatan wujudnya daripada menyakini hasil pembangunan yang sudah terlihat di depan mata.
Kenapa saya bilang Muzakir termakan hoax? Karena salah satu alasan Muzakir mewacanakan referendum adalah keyakinannya bahwa Aceh akan dijajah oleh asing.
“Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing. Itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur. Kenapa Aceh tidak.” Demikian penjelasan Muzakir.
Gila kan? Kalau sekelas mantan panglima GAM saja sampai menyakini hoax seperti itu, bagaimana dengan lapisan masyarakat di bawahnya?
Alasan kedua yang digaungkan oleh Muzakir adalah karena calon presiden yang diusung Partai Aceh kalah karena hal yang ia sebut sebagai “kecurangan”. Dalam pemilu 2014, banyak suara pemilih di Aceh diberikan untuk Prabowo. Demikian juga dengan pemilu 2019.
“Hampir 90% rakyat Aceh memilih Prabowo-Sandi. Ini harapannya bahwa ada secercah harapan untuk perubahan di Aceh.” Kata Muzakir.
Lagi-lagi hoax akan kecurangan yang tentu saja informasi ini di dapat entah dari sosmed atau sumber tidak jelas lainnya yang beritanya belum tentu terbukti kebenarannya. Toh mengenai kecurangan, telah tersedia perangkat konstitusi untuk pembuktiannya. Mulai dari pelaporan ke Bawaslu hingga gugatan ke MK seperti yang ditempuh oleh kubu Prabowo saat ini. Tentu saja menggunakan data-data valid dan pembuktian, bukan cuma sekedar link berita atau kliping koran.
Massifnya serangan hoax juga diakui oleh Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Aceh, Irwansyah. Kabar bohong alias hoax, disebutnya menyerang dengan kemasan isu ideologis yang sensitif. Diketahui, Aceh merupakan provinsi yang dikenal sebagai daerah yang kental dengan agama.
“Pak Jokowi terus menerus diserang dengan berita penista agama, PKI, tidak boleh azan dan yang lain,” kata Irwansyah kepada wartawan, Jum’at 19 April 2019 lalu.
“Serangan tersebut menjadi ideologinya pemilih. Fitnah yang dilakukan para elit politik terus menerus itu menjadikan satu pilihan keputusannya pemilih yang tanpa dasar,” imbuh dia.
Selaras dengan analisa Irwansyah, jauh sebelumnya Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir pernah mengatakan, berdasarkan survei lembaganya pada tahun 2018, ada tiga daerah yang tingkat penerimaan informasi bohong sangat tinggi yaitu Aceh, Jawa Barat, dan Banten.
“Tiga daerah tersebut tinggi tingkat penerimaan terhadap hoaks terkait bangkitnya komunisme, kriminalisasi ulama, dan masuknya jutaan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China,” kata Amin dalam diskusi bertajuk Hoax, Integritas KPU dan Ancaman Legitimasi Pemilu, di Jakarta, Jumat 18 Januari 2019.
Selain itu kita juga dapat melihat betapa pasifnya ormas-ormas agama pro NKRI dalam menentukan sikap. Sebagai contoh, Muhammadiyah yang dianggap bersikap ambivalen terkait isu hoaks komunisme yaitu tidak memberikan ketegasan sikap apakah kebangkitan PKI itu hoax atau tidak.
Termasuk NU maupun MUI juga tidak pernah secara resmi menegaskan sikapnya terhadap isu hoax yang beredar.
Akibatnya masyarakat di akar rumput tidak punya dasar referensi atau pegangan untuk mengecek apakah hoax PKI itu benar atau tidak. Akhirnya hoax yang disebar dan diulangi terus menerus, diterima dan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat awam.
Kemudian keadaan ini juga diperparah oleh TKD yang tidak kalah pasif kalau tidak mau disebut cari nyaman, ogah turun ke akar rumput. Memang tidak semuanya seperti itu, saya mengenal beberapa teman yang rela berpanas-panasan dengan akomodasi seadanya, kerja bakti turun ke bawah jemput bola.
Namun sebagian lagi malah terjebak dalam acara-acara deklarasi di mal-mal, hotel-hotel mewah, flashmob, alih-alih mensosialisasikan program Jokowi sekaligus mengcounter isu hoax yang beredar. Padahal Jokowi sendiri sudah berulang kali meminta relawannya door to door ke akar rumput untuk mensosialisasikan programnya.
Jadi saya tidak heran bila daerah-daerah seperti Sumbar, Jabar, NTB, Aceh dan beberapa daerah lainnya, Jokowi harus menelan pil pahit, kalah telak jadi korban hoax. Karena relawan TKD, tidak ada atau kalaupun ada, jumlahnya sedikit yang membelanya di akar rumput.
Nah kembali ke soal referendum, tentu merupakan hal yang tidak layak dan sangat disayangkan bila benar wacana referendum ini digulirkan hanya gara-gara terjebak hoax atau bahkan hanya karena kekalahan paslon yang didukung. Toh soal kalah menang merupakan hal yang lumrah dalam sebuah kontestasi. Kalau memang tidak siap kalah sebaiknya jangan mengikuti pemilu.
Sedangkan soal hoax? Sudah waktunya Jokowi bergerak lebih agresif dengan menggandeng ulama-ulama dan ormas-ormas pro NKRI untuk aktif turun ke bawah memberikan pemahaman kepada masyarakat. Baik melalui bidang pendidikan maupun dakwah. Sekaligus juga lebih tegas dalam mempersempit dan memberantas sumber penyebarannya, apakah itu berasal dari ormas-ormas berpaham radikal ataupun dari kelompok-kelompok tertentu yang terindikasi rajin memproduksi hoax untuk memecah belah masyarakat.
Di periode kedua ini, Jokowi mengemban tugas sangat berat, yang akan menentukan seperti apa wajah Indonesia untuk lima tahun ke depannya.