Setelah saya cermati hasil pilkada versi quick count di 33 wilayah di Sumatera Utara (Sumut), sebenarnya pasangan Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus (DJOSS) menang di 16 wilayah. Malahan di Samosir, mereka menang telak 95%, tentu saja ini hasil yang luar biasa dan diluar dugaan.
Yang menjadi masalah, kenapa pasangan Djoss malah kalah dalam versi Quick Count?. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh kawan-kawan, ternyata banyak sekali pemilih yang dulunya sudah ada namanya di DPT, eh sekarang malah hilang dari DPT.
Yang anehnya, ada orang yang sudah meninggal 10 tahun yang lalu, namanya malah masih tercantum di dalam DPT. Adalagi yang sudah didata oleh petugas KPU, katakanlah dalam satu rumah ada delapan orang yang memiliki hak pilih, tapi yang mendapat form C6 malah cuma dua orang sedangkan sisanya tidak dapat. Lantas petugas KPU melakukan pendataan, buat apa?.
Belum lagi, saat hari H pencoblosan dimana banyak anggota masyarakat yang tidak dapat memberikan hak suaranya karena merasa dipersulit oleh petugas KPPS dengan alasan kertas suara habis ataupun tidak memiliki formulir C6 dan sebagainya. Tentu saja saya tidak berani menuding KPU dalam hal ini petugas KPPS, tidak fair dalam menjalankan tugasnya, namun merupakan hal yang aneh bila salah satu syarat untuk mencoblos adalah harus membawa formulir C6, padahal formulir tersebut hanya bersifat pemberitahuan dan bukan merupakan suatu kewajiban selama pemilih memiliki kartu identitas lainnya.
Hal ini sesuai dengan Petunjuk Teknis Pemungutan Dan Penghitungan Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota No. 26 Tahun 2013 Point Nomor 4 Pasal 5 huruf l yang menjelaskan bahwa formulir C6 merupakan surat pemberitahuan pemungutan suara kepada pemilih dalam pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Ada juga yang mengeluhkan pembatasan jam pencoblosan dimana sesudah jam 12, di beberapa tempat, warga dilarang untuk mencoblos lagi, bahkan disuruh pulang oleh petugas KPPS. Padahal lagi-lagi menurut aturan pencoblosan yang ditetapkan KPU sendiri adalah sampai jam 13.00.
Bukan itu saja, kalau mau diamati, berdasarkan data yang saya dapat, yang ini malah lebih lucu lagi. DPT tahun 2018 jumlahnya adalah 9.015.387 jiwa, bila dibandingkan dengan DPT tahun 2013 adalah 10.295.013. Kenapa total suara DPT malah menyusut atau hilang 1 juta lebih?.
Di Indonesia, yang namanya kelahiran itu selalu lebih besar dibanding kematian, anak-anak yang usianya beranjak dewasa atau melebihi usia 17 tahun juga terus bertambah dari tahun ke tahun. Jadi secara logika, harusnya jumlah DPT lebih besar tahun ini dibandingkan lima tahun yang lalu. Namun faktanya di tangan KPU malah menyusut.
Hal ini sangat bertentangan dengan slogan KPU yang bertekad untuk mengurangi tingkat golput di berbagai wilayah yang mengikuti pilkada.
Bisakah KPU menjelaskan hal ini?
Ada apa dengan KPU?
Kenapa memaksa rakyat Sumut untuk Golput?
Kenapa KPU tidak netral?
Berdasarkan apa yang saya sampaikan di atas, saya menggugat ketidaknetralan KPU. Kembalikan hak suara warga yg hilang akibat tidak becusnya kerja para anggota KPU.
Kami menuntut dilakukannya pemilihan ulang untuk seluruh wilayah Sumut. Bukan hanya sebagian atau beberapa TPS saja yang diulang.
Kami menolak hasil yg akan diumumkan oleh KPU karena dinilai sudah gagal total dalam pilkada SUMUT tahun 2018 ini.
#JanganPaksaSumutGolput
#KembalikanHakSuaraKami
#JanganBodohiKami
Penulis: Fedrik