Benarkah Jokowi Nyinyir Saat Menyinggung Pelukan Surya Paloh dengan Sohibul Iman?
Kecurigaan politik sempat muncul usai Presiden Jokowi menyoroti pelukan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dengan Presiden PKS Sohibul Iman. Jokowi mengaku ucapannya terkait itu tak perlu dibesar-besarkan karena itu hanya soal kecemburuan. Namun, ucapan Jokowi dinilai mengandung emosi nyinyir.
Pakar ekspresi Handoko Gani mulanya mengingatkan publik tak hanya fokus pada pelukan yang disampaikan Jokowi. Pasalnya, pelukan Jokowi-Surya Paloh dan Paloh-Sohibul punya perbedaan. Handoko merupakan satu-satunya trainer Interview dan Analisis Perilaku (Human Lie Detector) dari latar belakang Sipil yang memiliki otorisasi penggunaan alat layered voice analysis (LVA).
“Pesannya bukan di pelukan. Ini jangan terpaku pada pelukan. Ini justru mengingatkan. Ketika kita melihat pelukan antara Surya Paloh-Sohibul Iman versus Surya Paloh-Jokowi, sesungguhnya kita melihat dua jenis pelukan yang memang berbeda. Surya Paloh-Sohibul Iman tentunya spontan. Sedangkan, Surya Paloh-Jokowi tentunya tidak spontan,” kata Handoko kepada wartawan, Selasa (12/11/2019).
Begitu berita detik.com yang saya baca di mobil saat berangkat kerja. Sebagai dosen yang mengampu mata kuliah Komunikasi, saya paham apa itu bahasa verbal dan nonverbal. Saya langsung teringat apa yang Jokowi katakan saat itu?
“Yang saya hormati para ketua umum, Bapak Surya Paloh yang kalau kita lihat malam hari ini beliau lebih cerah dari biasanya, sehabis pertemuan beliau dengan Pak Sohibul Iman di PKS,” kata Jokowi. “Saya tidak tahu maknanya apa. Tetapi rangkulannya itu tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya seerat dengan Pak Sohibul Iman,” kata Jokowi lagi. (Kompas.com)
Jokowi segera saja mengklarifikasi apa yang Handoko Gani katakan: “Urusan rangkulan Bang Surya dan Pak Sohibul Iman itu hanya masalah kecemburuan. Masalah kecemburuan karena saya memang tak pernah dirangkul seerat itu,” kata Jokowi. “Jadi setelah ini, saya akan peluk erat bang Surya lebih erat dari beliau peluk Sohibul Iman,” sambung Jokowi disambut riuh para kader Nasdem. (Kompas.com)
Terus terang saya tidak menyaksikan sendiri apa yang terjadi lewat televisi, apalagi langsung. Apa yang saya lihat sebagai orang awam?
Pertama, Jokowi seperti kita manusia biasa. Artinya, dia bisa iri, cemburu, marah, senang dan sebagainya. Jadi, kalau dia cemburu karena sahabatnya sekoalisi memeluk lawan politiknya lebih erat dan lebih mesra wajar saja. Banyak istri yang cemburu melihat suaminya membukakan pintu mobil wanita lain sementara dia sendiri tidak pernah melakukannya untuk istrinya sendiri.
Suaminya yang merasa dinyinyiri bisa memberi jawaban klise yang tidak menjawab persoalan, Lha kamu kan istriku sendiri, sedangkan dia tamuku. Wajar dong kalau aku menghormatinya? Pertanyaannya, mengapa dia tidak bisa menghormati istrinya sendiri? Skak mat!
Kedua, Jokowi justru tidak munafik. Dia tidak mau menyembunyikan kekecewaannya. Bukankah kita lebih senang dengan orang yang terbuka dan tranparan seperti Jokowi? Atau jangan-jangan kita lebih senang dengan orang yang berperilaku dan berkata-kata manis tetapi di tangannya ada belati yang siap dihujamkan ke jantung kita? Saya rasa teguran halus Jokowi direspon baik dengan Surya Paloh sehingga masalah ini clear dan bahkan jadi bumbu manis dunia politik yang mulai cooling down setelah pertempuran yang panas.
Ketiga, wartawan yang jeli dan pandai memanfaatkan apa pun serta warganet yang mendapat rangsangan untuk berkomentar entah positif, entah nyinyir wkwkwk membuat berita ini digoreng habis. Jika tidak ada yang dibicarakan, media jadi sepi. Bagi yang pernah kuliah, bekerja atau tinggal di Selandia Baru, tentu pernah merasakan betapa jemunya membaca berita, mendengar radio atau menyaksikan televisi di sana. Karena jumlah domba lebih banyak ketimbang manusia, domba yang sedang melahirkan pun bisa jadi berita.
Meskipun begitu, kita tidak perlu nyinyir terhadap pemberitaan receh semacam itu. Mereka toh harus bekerja. Jadi, jika tidak suka, ya jangan baca berita dan matikan radio atau televisi serta jalan-jalan menikmati alamnya yang memang luar biasa indahnya. Atau karena menjadi keseharian, jadi bosan juga.
Jadi, daripada menuduh Jokowi nyinyir dan secara tidak langsung membuat kita nyinyir juga terhadap kenyinyiran Jokowi, alangkah baiknya jika kita mensyukuri bahwa semua berakhir dengan indah pada waktunya. Jika kita terus nyinyir terhadap apa pun, Indonesia akan tersingkir. Di ig saya, saya pasang kutipan kiriman teman: Open your closed mind. Close your open mouth. Bukankah lebih baik berpikir lebih dulu sebelum nyinyir?
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.