Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Di dunia akademik ada dua sikap yang selalu bertentangan yaitu sikap idealis dan pragmatis. Sikap ini terlihat ketika menyelesaikan skripsi, tesis, dan disertasi. Cara memilih topik penelitian, metode penelitian, dan cara penyampaian penelitian sangat kelihatan mana yang idealis atau pragmatis. Aturan-aturan kampus pun kelihatan mana produk yang idealis mana yang pragmatis. Kita juga sangat mudah melihat ilmuwan atau profesor idealis dan profesor pragmatis. Sangat mudah bagi kita melihat profesor administratif dan profesor yang ilmuwan sejati.
Ketika diskusi di sebuah kampus kesohor di negeri ini, seorang mahasiswa S3 mengatakan bahwa kampus membatasi masa studi S3. Jika tidak lulus 5 tahun maka mahasiswa itu akan Droup Out (DO). Saya akan DO karena sudah 8 tahun mahasiswa S3 di kampus ini. Mengapa saya DO? Saya bukan pemalas, tetapi karena penelitian saya tentang reproduksi badak Sumatra. Ternyata, salah satu penyebab badak itu langka karena badah susah kawin. Bayangkan, penelitian saya sudah bertahun-tahun. Dan, badak tak juga mau kawin. Artinya, badak tak mau kawin hingga lima tahun, saya gagal doktor. Kami peserta diskusi terpingkal-pingkal mendengarnya.
Aturan yang membatasi masa studi memaksa mahasiswa S3 memilih topik pragmatis. Mahasiswa lebih memilih yang cepat lulus. Mahasiswa S3 tidak meneliti berdasarkan persoalan yang mendesak di tengah masyarakat. Mengapa harus dibatasi masa studi?.
Tujuan dibatasi masa studi tentu saja berbagai macam alasan. Mulai dari memacu mahasiswa untuk cepat selesai dan menghindari mahasiswa menumpuk untuk menghindari rasio jumlah dosen pembimbing dengan mahasiswa.
Sejatinya, mahasiswa S3 menyelesaikan kuliahnya bukan karena aturan tetapi karena kesadaran. Sebab mereka telah dikategorikan masyarakat ilmiah. Menyelesaikan kuliah karena menjawab kebutuhan hasil penelitian dan kebutuhannya sendiri. Sebab, masyarakat ilmiah adalah masyarakat yang penuh kesadaran.
Apakah bermasalah jika tidak dibuat aturan masa studi? Tentu saja aturan itu dibuat karena ada masalah. Masalahnya apa? Patut diduga banyak yang malas menyelesaikan disertasinya. Mengapa malas?
Sebagai masyarakat ilmiah, sejatinya tidak ada aturan yang membatasi masa studi karena berdampak sangat luas. Bisa membatasi luasnya ilmu pengetahuan. Membatasi mahasiswa untuk memilih penelitian yang beresiko. Misalnya, penelitian tentang satwa liar, dan persoalan laut, dan lain sebagainya. Sejatinya, aturan merangsang agar ilmuwan kita berpetualang untuk mencari ilmu.
Pertimbangan mahasiswa untuk memilih topik disertasi tentu beragam. Mulai dari dana yang tersedia, kapabilitas, dan waktu penelitian. Kombinasi itu merupakan bagian dari kecerdasan. Kita memahami itu.
Aturan lain yang memberatkan adalah masa beasiswa bagi mahasiswa S3 kita. Teman saya cerita, kampus memberikan beasiswa selama 3 tahun. Jika tidak lulus biaya yang habis harus dibayar. Dengan kata lain penelitian menghabiskan waktu 1 tahun saja. Sebab, sekitar 2 tahun menyelesaikan teori.
Dalam konteks ilmu ekonomi dan sosial, keguruan mungkin saja tidak begitu masalah tetapi dalam ilmu pengetahuan alam menimbulkan masalah.
Lalu, bagaimana mengatasinya. Sejatinya mengatasi masalah rasio mahasiswa dan dosen bukan pendekatan akibat. Tetapi pendekatan sebab? Mengapa mahasiswa lama lulus? Karena kemungkinan motivasi kuliah S3 karena gelar. Kalau motivasinya keilmuwan maka segera akan diselesaikan.
Karena itu, pendekatannya adalah seleksi mahasiswa. Mahasiswa S3 harus melihat rekam jejak sikap ilmiahnya. Jika rekam jejaknya sudah bagus secara otomatis secepatnya menyelesaikan dengan baik.
Pendekatan masa studi beresiko menjadikan mahasiswa bersikap pragmatis. Sikap pragmatisme bertentangan dengan sikap ilmiah. Jika ada alasan yang rasional, objektif dan realistis, maka studi bisa dilanjutkan. Dengan tidak terjadi kasus kawan yang badak gagal kawin, gagal jadi doktor.
#gurmanpunyacerita