Beberapa terakhir ini perpolitikan Indonesia agak memanas. Semuanya berawal dari ucapan Amin Rais yang mungkin pembaca juga sudah mengetahuinya. Setidaknya ada dua pernyataan dari Amin Rais yang menjadi penyebabnya.
Pernyataan Pertama
Amin Rais menyebut program bagi-bagi sertifikat yang dilakukan Jokowi merupakan suatu pembohongan.
“Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?” kata Amien saat menjadi pembicara dalam diskusi ‘Bandung Informal Meeting’ yang digelar di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, Bandung, Minggu 18 Maret 2018.
Yang Kedua
Amien juga berbicara soal PKI yang belum lama ini sempat disinggung Jokowi. Dia menyebut ada unsur pembangkitan PKI dalam pemerintahan Jokowi.
“Pemimpin (Jokowi) mengatakan tahun 1965 baru 4 tahun mana ada PKI balita. Memang enggak ada, tapi kenapa rezim ini memberikan angin membangkitkan PKI,” katanya.
Pernyataan Amin Rais itu tentu saja menuai kecaman keras dari berbagai tokoh politik dari beberapa partai, baik dari PPP, Golkar dan PDIP juga. Tak urung Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan pun naik pitam saat Presiden Jokowi dikaitkan dengan pengibulan terkait kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah serta melindungi kebangkitan PKI.
Hal yang saya sesalkan sebenarnya, karena begitu LBP mengecam keras pernyataan Amin Rais tersebut, berarti LBP telah masuk perangkap si Amin.
Hal ini terbukti, dari pernyataan Anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo yang menyebut pernyataan Luhut menandakan pemerintahan Jokowi saat ini terkesan antikritik. Bagi Dradjad, Luhut juga terkesan ingin balas dendam kepada Amien, yang kerap berseberangan dengan Jokowi.
“Saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan perpecahan di Golkar dan PPP dulu juga karena pendekatan ‘cari-cari kesalahan dan balas dendam?’ Jangan-jangan kasus yang menimpa sebagian ulama, bahkan hingga ada yang wafat, juga karena hal yang sama? Masih banyak jangan-jangan yang lainnya,” kata Dradjad.
Pintar sekali bukan? Jadi berbagai kasus yang terjadi, semuanya dilempar ke pemerintah dengan berlindung dibalik kata “bertanya-tanya” dan “jangan-jangan”.
Padahal kalau kita mau lebih teliti, kita tentu akan berpikir, apa sih maksud sebenarnya si Amin yang selalu melontarkan fitnah tidak berdasar itu? Daripada menganggap pemerintah membenci Amin, bukankah lebih cocok, si Amin yang benci dan dendam kepada pemerintah karena dicuekin melulu?. Bukankah lebih pas, si Amin yang kesal dengan pemerintah karena dianggap gak penting?.
Coba saja perhatikan statement-statement ngawurnya, mengenai soal pengibulan pembagian sertifikat tanah. Bagaimana cara pemerintah mengibulinya coba?. Sertifikatnya ada, tanahnya ada, penerimanya ada, saksinya juga banyak. Bila sertifikat yang dibagikan itu bohong-bohongan, mungkin sudah banyak masyarakat yang protes, marah, ribut dan tak lupa partai-partai oposisi pasti akan ikut-ikut mengompori atau kalau perlu menungganginya sekalian. Nyatanya tidak kan?.
Masyarakat justru merasa bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah. Pembagian sertitifat tanah itu sendiri dimaksudkan sebagai tanda bukti hukum atas kepemilikan tanah. Dan total sertifikat tanah yang dibagikan sejauh ini sudah mencapai hampir 5 juta sertifikat.
Lantas bila disebutkan 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu, kenapa si Amin gak berani sebutkan? Eh min, sebutkan dong siapa saja yang memilikinya, saya rasa kita semua juga ingin mengetahuinya.
Lalu tuduhan soal pembangkitan PKI, entah si Amin mengalami delusi parah akibat usia uzur menjelang magrib, termakan hoax atau sengaja melontarkan prasangka tak berdasar. Toh sampai hari ini dia sendiri tidak mampu membuktikan yang dimaksud PKI itu siapa? Apa buktinya? Organisasinya dimana? Tidak ada kan?.
Dan tuduhan tanpa bukti secara umum dalam taraf ringannya disebut prasangka sedangkan dalam taraf berat disebut dengan fitnah. Dan fitnah itu berbeda dengan kritik. Inilah yang dipelintir oleh Dradjad Wibowo bahwa seakan-akan pemerintah itu antikritik.
Harusnya LBP tidak perlu menanggapi serius kata-kata si Amin, mungkin cara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, layak ditiru saat dimintakan tanggapannya mengenai ucapan si Amin.
“Nggak ada, PKI itu sudah bubar. Partai komunis itu sudah bubar sama TAP MPR,” kata Hadi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa 20 Maret 2018.
Singkat, padat dan jelas.
Biar saja si Amin mau berbicara apa saja, karena tujuannya mungkin memang untuk memancing reaksi keras dari pemerintah. Bisa jadi bila dirinya ditindak tegas, dia akan playing victim, memposisikan dirinya seakan-akan ingin dibungkam, dizolimi, sementara pemerintah diposisikan sebagai pihak yang antikritik, kejam, otoriter dan sebagainya.
Kondisi akan berbeda bila yang mengecam keras pernyataan si Amin adalah lembaga, organisasi atau orang non pemerintahan. Bahkan seandainya, dirinya diadukan oleh masyarakat penerima sertifikat yang merasa dilecehkan akibat pernyataannya tersebut, si Amin tidak akan memiliki alasan untuk memposisikan dirinya sebagai pihak yang dizolimi atau playing victim.
Jadi polanya kira-kira mirip aksi Gubernur DKI yang “menata” Tanah Abang dengan melanggar Undang-undang serta tanpa ada landasan hukumnya. Bila ditindak Kepolisian atau institusi pemerintah, maka harapannya mungkin akan ada sekelompok orang yang akan demo berteriak-teriak kalau gubernurnya dizolimi, gubernurnya ditindas karena membela PKL (rakyat kecil) dan sebagainya.
Untungnya tanpa pemerintah harus bertindak, masyarakat sudah bertindak duluan dengan menggugat gubernur yang bersangkutan sehingga tidak ada demo-demo yang menentang penggugatan tersebut. Jadi rencananya untuk bermain sebagai victim menjadi gagal. Hal yang sama bisa juga diterapkan untuk Amin.