Sempat beredar daftar susunan menteri kabinet kerja periode ke dua Jokowi-Maruf 2019-2024. Bukan cuma satu versi, setidaknya ada dua versi yang saya lihat. Walaupun kebenaran nama yang tercantum di kedua versi itu masih meragukan dan banyak yang menyebutnya sebagai hoax.
Namun menarik untuk membahas para menteri yang akan menempati kabinet kerja jilid II ini. Saya hanya akan membahas salah satu versinya saja karena terdapat nama yang menarik bagi saya.
Di salah satu versi tersebut, nama para menteri berprestasi di periode pertama masih tercantum di susunan kabinet periode kedua ini, sebut saja nama Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Basuki Hadimuljono dan beberapa lainnya. Tentu saja selain nama-nama lama, ada juga nama baru yang masuk dalam jajaran kabinet kerja Jokowi ini.
Nah, yang menarik perhatian saya adalah masuknya nama Basuki Tjahaya Purnama atau yang biasa kita kenal dengan nama Ahok yang diplot menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) dalam kabinet kerja jilid II ini. Ahok sendiri bukanlah nama yang asing untuk masyarakat Indonesia.
Terlepas dari kehidupan pribadinya yang cukup kontroversial, kemampuannya dalam bekerja sangat mumpuni. Tak kurang dari Menteri Susi dan Sri Mulyani pernah memberikan pujian terhadap Ahok. Pamornya bahkan menjangkau hingga ke mancanegara, melampaui wilayah kerjanya di DKI Jakarta dulu. Kita mengenal sepak terjangnya selama berkantor di Balaikota DKI Jakarta.
Gedung Balaikota yang terkesan angker mampu diubahnya menjadi tempat yang ramah dan terbuka bagi siapa saja untuk menyampaikan keluh kesah dan permasalahan yang dihadapi. Rapat-rapat yang dulunya tertutup, di masanya dapat disaksikan oleh masyarakat melalui video yang diupload ke Youtube.
Tak terhitung jumlah pegawai negeri sipil (PNS) Pelayan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang tertangkap dan terbukti menerima pungutan liar lalu diberhentikan. Apalagi Ahok juga menerapkan aplikasi Qlue yang memungkinkan warga untuk melaporkan para aparat yang melakukan pungli.
Pungli bukanlah alasan satu-satunya yang mendasari pemecatan tersebut. Indisipliner, mangkirnya para PNS, absensi jebol, terlalu sering pelesiran, dan suap. PNS yang paling banyak dipecat adalah yang terkena kasus korupsi. “Jadi kamu nyolong sedikit aja di Jakarta saya pecat sebagai PNS,” ucap Ahok, 15 September 2015 yang lalu.
Salah satu Kejadian yang cukup menghebohkan adalah kasus makam fiktif, di mana Ahok menduga terjadi penyelewengan dana pembelian lahan pada Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Akibatnya Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, Ratna Diah Kurniati pun dipecat.
Di akhir masa jabatannya, Ahok malah masih sempat memecat lurah Pegadungan, yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Saber Pungli Polres Jakarta Barat.
Kini, walaupun sudah tidak menjabat lagi. Sepak terjang dan ketegasan Ahok yang mampu membuat para bajingan pemeras duit warga berkeringat dingin, kembali dirindukan. Bukan oleh saya saja, saya yakin banyak yang mengharapkannya dapat berkiprah kembali di pemerintahan.
Satu di antaranya adalah dari Ketua Umum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih. Titi menuturkan bila karakter Ahok yang berani membuat honorer K2 jatuh cinta. Selain itu saat menjadi gubernur DKI Jakarta, Ahok dianggap sangat memerhatikan nasib honorer K2.
Dia menyebutkan, semasa jadi gubernur DKI Jakarta, banyak terobosan yang dilakukan Ahok untuk honorer K2. Honorer K2 bisa bekerja dengan tenang tanpa memikirkan kesejahteraannya. Sebab, gajinya setara UMR.
“Aduh pokoe enak banget di zaman Pak Ahok. Kami disejahterakan dan dihargai,” tutupnya.
Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Titi. Hanya saja mungkin Titi lupa bila ada UU nomor 39 tahun 2008 pasal 22 yang salah satu syaratnya berbunyi:
“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Sementara Ahok meski hanya divonis 2 tahun penjara, namun ancaman pidananya 5 tahun atau lebih. Frasa “5 tahun atau lebih” menjadi perdebatan oleh para ahli hukum mengenai boleh tidaknya Ahok menjadi menteri.
Hal ini sepertinya sangat disadari oleh Ahok, sehingga dirinya tidak berharap terlalu muluk. Alih-alih menjadi menteri, Ahok lebih memilih menjadi Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan untuk memberantas mafia-mafia yang ada di pelabuhan.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Ahok kepada sahabatnya, Djarot Saiful Hidayat.
“Dia bilang gini, ‘Kalaupun seumpama saya masih dibutuhkan oleh negara dan itu bermanfaat, kasih saja sebagai Dirjen Bea-Cukai untuk memberantas mafia-mafia di pelabuhan dan itu bisa menggerakkan segera mungkin,” kata Djarot.
Bila apa yang diinginkan Ahok terwujud, hal ini akan menjadi berkah bagi Kemenkeu khususnya Direktorat Bea Cukai, dan menjadi petaka bagi para mafia yang bercokol di sana. Namun dengan kewenangan dan ruang lingkup yang terbatas, hasil gebrakannya tidak akan maksimal. Berbeda halnya bila beliau menjadi menteri yang memiliki kewenangan yang jauh lebih luas dan dapat dirasakan manfaatnya.
Terlepas apapun itu, saya yakin Jokowi tidak akan menyia-nyiakan orang berbakat seperti Ahok. Walau tidak dapat menjadi menteri, Ahok masih berpeluang menjadi wakil menteri, atau mungkin menjadi pejabat setingkat menteri dalam kabinet kerja Jokowi. Misalnya menjadi pimpinan proyek pemindahan Ibukota mungkin?
Dengan kemampuan manajerialnya serta keahliannya mencari sumber pendanaan, bisa saja biaya untuk ibukota baru yang perkirakan sekitar Rp 323 triliun hingga Rp 466 triliun, dapat dipangkas 50 persen oleh Ahok atau malah 100 persen non APBN sama sekali.
Apalagi Jokowi berharap ingin tidak ada anggaran APBN yang terpakai. Siapa lagi orang yang berpengalaman dan memiliki kemampuan mencari pendanaan dari luar? Jawabannya, The One And The Only, Ahok lah orangnya, sama seperti ketika dia membangun kota Jakarta dulu.
Bisa jadi bukan? Bagaimana menurut Anda?