Bermula dari cuitan Fadli dalam akun Twitter-nya, yang berbunyi;
“Klu ingin bangkit n jaya, RI butuh pemimpin spt Vladimir Putin: berani, visioner, cerdas, berwibawa, nggak byk ngutang, nggak planga plongo,” cuit Fadli di akun @fadlizon yang dikutip
Sekilas memang terkesan biasa saja, hanya terkesan sebagai cuitan seorang manusia gagal yang membenci Jokowi, sama seperti manusia-manusia gagal sejenis dirinya, jadi saya tidak akan membahas isi cuitan tersebut. Yang menjadi perhatian saya, kenapa nama yang disebut harus Putin? Kenapa bukan Prabowo?.
Fenomena yang sama juga saya temukan dari berbagai berita yang dilancarkan oleh lawan-lawan politik Jokowi, sebut saja PKS yang menggencarkan hastag #2019 Ganti Presiden, kenapa bukan #2019 Prabowo Presiden?.
PAN yang merupakan anggota koalisi permanen juga, bahkan lebih mengidolakan Lee Kuan Yiu (mantan Perdana Menteri Singapura), lagi-lagi bukan nama Prabowo yang disebut.
Saat debat Pilkada Jateng, diberitakan, Sudirman Said menjawab “nanti saja” ketika ditanya oleh pembawa acara soal pilihan antara Jokowi dan Prabowo, Kamis 15 Maret 2018 yang lalu.
Padahal Sudirman Said sendiri, meski bukan anggota parpol, namun dirinya diusung oleh koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan PKB. Namun terkesan seakan-akan jijik menyebut nama Prabowo, dirinya lebih memilih menjawab “nanti saja”.
Pertanda apakah ini? Apakah nama Prabowo sudah tidak memiliki nilai jual lagi? Apakah para kader dan partai koalisi sudah jenuh mengusung capres abadi yang kalah melulu?. Atau mereka sadar kalau hanya orang orang sekelas Putin dan Lee Kuan Yew saja yang layak disejajarkan dan berkompetisi dengan Jokowi? Sedangkan Prabowo? Jauhhh men.
Hmm.. Mungkin, bisa jadi juga ini merupakan pengkhianatan terselubung. Walaupun kata pengkhianatan terkesan kejam. Bagaimana tidak, bila parpol koalisi maupun kader Gerindra sendiri lebih memuji nama lain dibandingkan nama Prabowo, padahal Prabowo sudah promosi habis-habisan mau maju menjadi Capres karena desakan rakyat, desakan rakyat lho. Bukan karena dorongan partai apalagi ambisi pribadi, cam kan itu.
Eh, bukannya dibantu, malah nama Putin dan Lee Kuan Yew yang dianggap lebih berkualitas untuk mengalahkan Jokowi. Mau ditaruh dimana coba muka Prabowo?.
Saya sendiri tidak tahu perasaan Prabowo kalau seandainya menyadari hal ini. Tapi kalau saya diposisi Prabowo, sakit hati sudah pasti. Pada akhirnya uang juga yang berbicara. Pepatah mengatakan Money is not everything, but without money we do nothing. Saat Prabowo mengeluh bokek, partai-partai koalisi pun menunjukkan sifat aslinya, kader yang pura-pura setia pun menunjukkan belangnya.
Berkaca dari pernyataan-pernyataan yang mereka sampaikan diatas, saya tidak percaya kalau mereka akan mendukung Prabowo dengan sepenuh hati dan yakin Prabowo mampu duduk menjadi RI-1. Terbukti dari keengganan mereka untuk menyebut nama Prabowo.
Hal ini berbeda jauh dengan lawan politik Prabowo, yakni Joko Widodo.
Sudah bukan hal yang aneh lagi bila kita melihat banyak parpol yang menyuarakan untuk mendukung Jokowi di periode kedua nanti. Kepemimpinannya yang awalnya diragukan mampu membetot satu persatu anggota koalisi Merah Putih untuk berpaling dan mendukungnya, bahkan Koalisi Merah Putih yang awalnya diwacanakan menjadi koalisi permanen pun akhirnya bubar menyisakan Gerindra dan PKS.
Itu baru dari sisi partai politik, belum lagi kita berbicara dari sudut relawan yang sangat militan. Kemampuan Jokowi melepaskan diri dari bayang-bayang PDIP menjadikan dirinya mampu merangkul para sukarelawan yang terdiri dari berbagai golongan.
Puluhan organisasi massa (ormas) kompak mengambil posisi sebagai pendukung Jokowi, sebut saja Projo, Jasmev, DAG (Demi Anak Generasi), Bara JP, Kawan Jokowi, itu baru sebagian kecil dari puluhan ormas yang mendukung Jokowi.
Jadi bisa dibilang sekarang ini Prabowo bukanlah levelnya Jokowi lagi, mungkin apa yang dikatakan Fadli benar, sudah waktunya memanggil Putin untuk menghadapi Jokowi agar pertandingan lebih berimbang. Sementara Prabowo? Mungkin harus mengucapkan kata See You, pensiun dan konsentrasi memimpin di republik kuda.