Indovoices.com- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus memastikan agar pelayanan kesehatan kepada masyarakat tetap berjalan kendati terjadi defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Program JKN ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Maka dari itu kita akan terus memperbaikinya. Kita terus memantau rumah sakit untuk pembelian obat-obatan, alkes (alat-alat kesehatan), melakukan review kelas rumah sakit, dan pencegahan fraud,” ungkap Kepala Pusat Pemberdayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Kalsum Komaryani dalam acara Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan topik “Tarif Iuran BPJS” yang diselenggarakan di Kantor Kemenkominfo.
Menurut Kalsum, dengan adanya kondisi defisit sejak tahun 2014 pada JKN ini menimbulkan efek domino, sehingga BPJS Kesehatan tidak bisa memberikan biaya kepada fasilitas kesehatan di tingkat pertama maupun tingkat lanjut, penyedia layanan obat dan alkes. Hal ini berujung faskes tidak bisa melayani pengobatan untuk masyarakat.
“Salah satu upaya agar pelayanan kesehatan masyarakat tidak terganggu, Kemenkes dan BPJS melakukan financing supply chain agar pasokan obat dan alat-alat kesehatan tetap tersedia di fasilitas layanan kesehatan,” jelas Kalsum.
BJPS Kesehatan mencatat defisit JKN terjadi sejak tahun 2014, pasalnya iuran yang ditetapkan pemerintah adalah iuran diskon atau di bawah angka aktuaria dari premi asuransi kesehatan di Indonesia. Di samping itu, iuran yang diterima BPJS Kesehatan tidak sebanding dengan pengeluaran. Hanya 50 persen peserta mandiri (Pekerja Bukan Penerima Upah) yang membayar iuran. Pada tahun 2018, defisit jaminan kesehatan mencapai Rp18,3 triliun. Adapun, proyeksi defisit 2019 bisa mencapai Rp32 triliun.
Satu hal, Kepala Pusat Pemberdayaan dan Jaminan Kesehatan menjelaskan, selama ini pemerintah sudah membahas tiga opsi dalam mengatasi defisit JKN ini. Yakni menaikkan iuran, mengurangi manfaat layanan kesehatan dan memberikan suntikan/subsidi kepada peserta tidak mampu dari alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
“Mengurangi manfaat layanan amat tidak mungkin karena masyarakat masih membutuhkan pelayanan. Apalagi BPJS Kesehatan mencakup semua penyakit dan sudah 233 juta kunjungan ke fasilitas kesehatan memakai BPJS,” tukas Kalsum Komaryani.
Adapun yang hadir sebagai narasumber lainnya adalah Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Direktur Umum BPJS Fachmi Idris, dan pengamat masalah kesehatan Budi Hidayat. (jpp)