Indovoices.com- Rapat Paripurna ke-9 DPR RI Masa Persidangan I periode 2019-2020 menyetujui hasil revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) untuk disahkan menjadi UU.
“Apakah pembahasan tingkat dua pengambilan keputusan tentang Rancangan UU tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 dapat disetujui dan disahkan menjadi undang-undang,” ujar Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang memimpin Rapat Paripurna DPR di Jakarta.
Pertanyaan Fahri tersebut dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR yang hadir. Berdasarkan laporan Fahri Hamzah, terdapat 289 anggota DPR RI yang menandatangani daftar hadir dari total 560 anggota DPR.
Dalam rapat paripurna tersebut, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyampaikan pandangan pemerintah bahwa diperlukan pembaharuan hukum tindak pidana korupsi agar dapat berjalan efektif dan dapat mencegah kerugian negara lebih besar.
“Kita semua mengharapkan agar Rancangan Undang-Undang atas UU 30 Tahun 2002 tentang KPK bisa disetujui bersama agar pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi bisa dilakukan dengan efektif tanpa mengabaikan hak asasi manusia,” kata Menkumham.
Dia menyampaikan tindak pidana korupsi semakin sistematis serta makin tidak terkendali. Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi, maka pemerintah berpandangan perlu dilakukan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan lebih efektif.
Adapun pokok-pokok materi yang diatur dalam revisi UU KPK adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan KPK merupakan rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
2. Dalam penghentian penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila tidak selesai dalam dua tahun. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.
3. Dalam hal penyadapan, dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK yang paling lambat diberikan 1×24 jam. Penyadapan paling lama dilakukan enam bulan dan dapat diperpanjang yang dimaksudkan untuk lebih menjunjung hak asasi manusia.
4. Terkait status kepegawaian, pegawai KPK merupakan anggota KORPRI sesuai dengan undang-undang. Pengangkatan dilakukan sesuai undang-undang.
“Atas nama Presiden kami menyampaikan terima kasih kepada Badan Legislasi dan Anggota DPR RI yang terhormat atas dedikasi, kerja keras, sehingga dapat menyelesaikan pembahasan rancangan UU ini,” kata Menkumham.
Sementara itu, empat fraksi, yakni Gerindra, PKS, PPP, dan Demokrat, menyampaikan sejumlah catatan terkait revisi UU KPK. Umumnya menyangkut keberadaan dewan pengawas yang harus dipastikan berdiri independen.
Memperkuat KPK
Pengesahan UU KPK yang baru ini pun menuai polemik di masyarakat karena dianggap akan melemahkan KPK dalam misi pemberantasan korupsi dari Tanah Air.
Terkait itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto sendiri menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun niat Pemerintah atau Presiden Joko Widodo untuk melemahkan KPK.
Menurutnya, Pemerintah menyadari jika korupsi merupakan penyakit kronis yang kalau diselamatkan maka dapat memperkuat serta mempercepat pembangunan.
“Kita sadar korupsi ini sudah merupakan penyakit yang kronis, korupsi sudah menggerogoti uang negara, APBN kita yang jumlahnya sampai triliunan, sangat luar biasa besarnya, dan kalau itu dapat diselamatkan maka dapat memperkuat, memperbanyak, mempercepat pembangunan yang kita laksanakan. Jadi tidak mungkin Pemerintah kemudian memperlemah lembaga yang melaksanakan aksi untuk pemberantasan korupsi,” tegasnya saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Menurut Menko Polhukam, UU tidak mungkin abadi. UU dibuat karena kondisi objektif saat ini, sehingga pemerintah bisa membangun keteraturan dalam masyarakat.
“Tapi kondisi ini kan berubah, tatkala kondisi ini berubah maka Undang-Undang tidak boleh kaku, tidak boleh kemudian statis, harus ikut perubahan, apakah perubahan itu karena opini publik atau kepentingan masyarakat. Ini harus kita sadari bahwa memang itulah secara alami, Undang-Undang harus mengalami perubahan,” jelas Menko Polhukam Wiranto.
Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam menjelaskan sejumlah pasal yang menjadi pro dan kontra dalam revisi UU KPK ini.
Pertama, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 tentang kelembagaan yang intinya adalah lembaga KPK termasuk ke dalam ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah.
Menurut Menko Polhukam, Pasal ini sebenarnya sudah mendasari keputusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 36 PUU-XV/2017, di mana keputusan MK itu bukan keputusan yang final dan mengikat.
Dikatakan bahwa hal ini bukan mengada-ngada, tetapi hanya melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Walaupun KPK termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah, tapi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
“Namun tentu sebagai suatu lembaga pemerintah harus tunduk kepada aturan-aturan perundangan yang ada, dan undang-undang yang ada itu adalah undang-undang dari Mahkamah Konstitusi, yang harus ditaati, bersifat final, dan mengikat. Jadi sebenarnya kita tidak perlu resah karena dalam Trias Politika hanya ada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sehingga tatkala kemudian MK memutuskan masuk di ranah eksekutif, ya kita terima, karena itu merupakan suatu keputusan yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang sudah melakukan satu pertimbangan-pertimbangan yang kita yakin matang,” kata Menko Polhukam.
Kedua, mengenai Pasal 37E, yaitu tentang pembentukan Dewan Pengawas. Menurut Menko Polhukam, keberadaan Dewan Pengawas dalam institusi KPK ini dibutuhkan untuk kinerja KPK, sehingga sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya yang diberikan oleh UU.
Dikatakan bahwa hal ini sejalan dengan aparat penegak hukum yang lain di mana kinerjanya juga diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk, misalnya Kejaksaan Agung yang diawasi oleh Komisi Kejaksaan dan Kepolisian oleh Kompolnas.
Sehingga, lanjutnya, kalau kemudian KPK sebagai bagian dari aparat penegak hukum ada yang mengawasi, maka itu bukan suatu hal yang melemahkan, tapi KPK justru punya legitimasi dan akuntabilitas untuk melaksanakan tugas.
“Di sinilah kadang-kadang orang-orang mengatakan wah itu kan melemahkan karena ada pengawasnya. Padahal dengan pengawas itu justru legitimasinya bisa lebih dijamin, dengan pengawas itu maka tuduhan kesewenang-wenangan tidak akan ada, tidak akan terjadi abuse of power,” jelas Menko Polhukam.
Ketiga, Pasal 12B tentang pelaksanaan penyadapan. Menurut Menko Polhukam, dalam melaksanakan penyadapan dibutuhkan izin tertulis dari Dewan Pengawas agar pelaksanaan penyadapan sesuai dengan due process of law atau berdasarkan kepatuhan terhadap aturan yang ada, sehingga tidak menyimpang dari rule of law.
Ia menjelaskan bahwa hal ini justru memberikan penguatan kepada hak asasi manusia dan menjaga akuntabilitas dalam melaksanakan penyadapan. Sebab, jika bicara tentang hak asasi manusia, maka penyadapan itu melanggar hukum karena hak pribadi seseorang dilanggar dengan apa yang diucapkan dan apa yang dibicarakan itu disadap.
“Kembali tadi harus ada pembatasan, ada aturan yang membatasi itu. Aturannya bagaimana? Izin dari Dewan Pengawas. Sebenarnya ini kalau kita bicara tentang hal-hal yang positif ya semuanya baik-baik saja, karena justru dengan adanya izin maka menghindari tuduhan bahwa KPK mengada-ada, menghindari tuduhan bahwa KPK sewenang-wenang, seenaknya, karena ada Dewan Pengawas tadi yang memberikan justifikasi bahwa penyadapan itu didasarkan kepada suatu kepentingan yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Keempat adalah mengenai mekanisme menghentikan penyidikan dan penuntutan pada Pasal 40.
Menko Polhukam mengatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan memang merupakan bagian dari penyelesaian perkara dengan tujuan memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Artinya, tidak mungkin menggantungkan status orang menjadi tersangka dalam kurun waktu yang tak terbatas atau menyandera orang menjadi tersangka dengan tidak jelas jangka waktunya, bahkan sampai mati.
“Sebenarnya tatkala KPK bisa menghentikan penuntutan yang tadinya hanya dimiliki Jaksa Agung, maka ini kan penguatan. KPK mempunyai kewenangan untuk menghentikan suatu penyidikan dengan jangka waktu 1 tahun, usulan pemerintah mungkin 2 tahun, nanti kita juga pastikan. Tetapi harus ada kepastian seseorang tatkala ditetapkan sebagai tersangka itu harus diselesaikan dengan hukum,” kata Menko Polhukam.
“Jadi sebenarnya ini bukan melemahkan KPK, tapi justru menempatkan KPK sebagai suatu aparat penegak hukum yang humanis, walaupun tegas, tetapi tetap memperhatikan hak asasi manusia,” lanjutnya.
Kemudian Pasal 43A mengenai koordinasi kelembagaan dengan lembaga penegak hukum yang lain.
Mantan Panglima ABRI ini mengatakan, koordinasi yang dimaksud adalah untuk menyelenggarakan pendidikan kilat atau diklat dan pelatihan dalam penyelidikan dan penyidikan. Sehingga yang tadinya tidak ada, sekarang diselenggarakan diklat dengan penegak hukum yang lain untuk memberikan standarisasi profesionalitas antarpenegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.
Menurut Menko Polhukam, hal ini sangat baik karena kewenangan atau keahlian yang kemudian dipastikan ada standarisasi. Daripada mengambil dari sana-sini, tidak terdidik, tidak terlatih, tetapi tiba-tiba menjadi penyidik yang menuntukan nasib orang, maka standarisasi itu perlu dicapai dengan diklat.
“Ini semua saya kira harus kita sikapi sebagai upaya penguatan, sehingga nanti kalau itu dilaksanakan, maka aparat penegak hukum mempunyai standar yang sama tentang aparat-aparat atau petugas yang melaksanakan penyelidikan maupun penyidikan. Kita senang tentunya kalau para penyidik ini mempunyai kualitas, profesionalitas, standarnya sama,” kata Menko Polhukam.
Kemudian yang keenam adalah mekanisme penggeledahan dan penyitaan pada Pasal 47. Menurutnya, sebenarnya pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan dalam hukum acara pidana harus mendapat izin dari pengadilan. Sehingga dalam rancangan UU KPK, selain tunduk kepada KUHP, juga diisyaratkan adanya izin tertulis dari Dewan Pengawas.
“Sehingga penggeledahan dan penyitaan itu dari kacamata hukum sah, tapi dari akuntabilitas, dari tuduhan sewenang-wenang, tuduhan seenaknya, dan mengada-ada bisa dihilangkan,” terangnya.
Terakhir, tentang sistem kepegawaian KPK dalam Pasal 1 angka 6, Menko Polhukam menyebutkan sesuai Pasal 1 angka 3 Revisi UU KPK bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, sehingga sistem kepegawaian KPK harus tunduk kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN.
Oleh karena itu, adanya Pasal ini sebenarnya untuk lebih memastikan bahwa KPK merupakan bagian dari aparatur sipil negara, maka langkah-langkahnya, kegiatannya, aksinya, itu sudah diperkuat dengan adanya UU ASN. KPK bukan lembaga atau organisasi yang liar.
“Untuk memberikan kepastian hukum kepada pegawai KPK, maka non-ASN ini diberikan waktu paling lama 2 tahun untuk diangkat menjadi ASN, ini sudah sesuai juga dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau kita berpikir positif dan tidak apriori, sebenarnya niatnya baik, tapi tatkala kita menyikapi dengan basis tujuan yang berbeda, maka tentu hasilnya juga berbeda,” tandas Menko Polhukam.
Presiden Tolak 4 Usulan DPR
Sebelum UU KPK yang baru ini disahkan, Presiden Joko Widodo menyatakan menyetujui adanya RUU KPK, namun dengan catatan tertentu. Dari tujuh usulan, Presiden menyatakan bahwa dirinya hanya menyetujui pada tiga poin dan menolak empat poin sisanya.
“Saya telah mempelajari dan mengikuti secara serius seluruh masukan yang diberikan dari masyarakat, dari para pegiat antikorupsi, para dosen, dan mahasiswa, dan juga masukan dari para tokoh bangsa. Karena itu, ketika ada inisiatif dari DPR saat mengajukan RUU KPK, masa tugas pemerintah adalah meresponsnya,” tuturnya dalam konferensi pers di Istana Negara, Jumat (13/9/2019)
Presiden mengatakan alasan dirinya menyetujui RUU adalah bahwa UU KPK telah berusia 17 tahun, sehingga perlu adanya penyempurnaan secara terbatas sehingga pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif.
“Sekali lagi, kita jaga agar KPK lebih kuat dibanding lembaga lain dalam pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Kepala Negara mengaku telah memberikan arahan kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait substansi RUU KPK yang diinisiasi oleh DPR.
Intinya, lanjutnya, KPK harus memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Karena itu KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai, serta harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain untuk pemberantasan korupsi.
“Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi revisi UU inisiatif DPR yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK. Yang pertama, saya tidak setuju jika KPK harus memeroleh izin dari pohak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak, KPK cukup memeroleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan,” tegas Kepala Negara.
Kedua, Presiden juga tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Bisa juga berasal dari unsur ASN, yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. “Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar,” imbuhnya.
Ketiga, Presiden juga tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan kejaksaan agung dalam penuntutan. Sebab, sistem penuntutan yang berjalan selama ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.
“Keempat, saya juga tidak setuju perihal pengolahan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini,” tegasnya.
Sementara terhadap beberapa isu lain, Ia juga memberikan catatan dan memiliki pandangan yang berbeda dengan inisiasi DPR.
Perihal keberadaan Dewan Pengawas, Presiden menilai hal tersebut memang diperlukan. Karena semua lembaga negara, Presiden, MA, DPR, bekerja dalam prinsip check and balances, saling mengawasi. Hal ini menurutnya dibutuhkan untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang.
“Dewan Pengawas sesuatu yang wajar untuk proses tata kelola yang baik,” tuturnya.
Dijelaskan, anggota Dewan Pengawas nantinya diambil dari tokoh masyarakat, akademisi, pegiat antikorupsi, bukan politis, birokrat, aparat, maupun penindak hukum aktif.
Pengangkatan Dewan Pengawas sendiri akan dilakukan langsngun oleh Presiden yang dijaring melalui panitia seleksi. “Saya ingin memastikan tersedia waktu transisi yang memadai untuk menjamin KPK menjalankan kewenangannya sebelum terbentuknya dewan pengawas,” tambahnya.
Poin kedua, yakni terhadap keberadaan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), hal ini juga diperlukan sebab penegakkan hukum juga harus memenuhi prinsip perlindungan HAM dan memberikan kepastian hukum.
“Sehingga RUU inisiatif DPR memegang batas waktu maksimal 1 tahun dalam pemberian SP3, kami meminta ditingkatkan menjadi 2 tahun supaya memberikan waktu yang memadai bagi KPK. Yang penting agar kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan atau pun tidak digunakan,” jelasnya.
Terakhir adalah terkait pegawai KPK. Presiden mengatakan bahwa Pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (P3K).
“Hal ini juga terjadi di lembaga lain yang mandiri seperti MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), dan juga lembaga independen lainnya seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Tapi saya menekankan agar implementasinya perlu masa transisi yang memadai dan dijalankan penuh kehati-hatian,” paparnya.
Sementara, penyelidik dan penyidik KPK yang ada saat ini masih tetap menjabat dan tentunya melakukan proses transisi menjadi ASN.
“Saya berharap semua pihak bisa membicarakan isu ini dengan jernih, objektif, tanpa prasangka yang berlebihan. Saya tidak ada kompromi dalam pemberantasan korupsi karena korupsi musuh kita bersama. Dan saya ingin KPK mempunyai peran sentral dalam pemberantasan korupsi di negeri kita, yang mempunyai kewenangan lebih kuat dibanding lembaga-lembaga lain dalam memberantas korupsi,” tandas Presiden menegaskan.
Keseimbangan Penegakan Hukum
Pada kesempatan lain, Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menilai RUU KPK yang telah disetujui Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU diperlukan agar tercipta check and balances dalam penegakan hukum di Indonesia.
Chudry menjelaskan, di dalam sebuah negara hukum berdasarkan teori hukum, sebuah lembaga negara seharusnya tidak boleh ada yang diberikan kekuasaan penegakan hukum tidak terbatas. Menurutnya, KPK selama ini menjadi sebuah lembaga yang sangat istimewa dan melebihi kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum lain.
“Kita mau menata agar tidak ada lembaga yang kekuasaannya tak terbatas. Setiap lembaga yang kekuasaannya tidak terbatas tentu menimbulkan masalah dan biasanya akan terjadi penyalahgunaan dalam kewenangan,” jelas Chudry di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Begitu pula dalam teori bernegara, seharusnya juga tidak boleh ada lembaga yang kewenangannya tidak terbatas. Semua harus ada check and balances agar apa yang dilakukan sesuai dengan koridor yang sudah disepakati bersama.
Terkait fungsi penyadapan yang dimiliki KPK, kata dia, sebenarnya melanggar hak asasi manusia (HAM), tetapi karena ada suatu kejahatan maka hal tersebut terpaksa harus dilanggar.
“Dalam teori hukumnya boleh dilanggar tapi itu sangat terbatas dan sangat hati-hati karena ini pelanggaran HAM. Karena itu tidak boleh sembarang dipakai dan harus ada check and balances,” tegas Chudry.
Namun demikian, belakangan ini terus terjadi pembentukan opini. Misalnya hak KPK menyadapnya dibatasi, tapi pengawasan dianggap pelemahan. “Ini bukan pelemahan, hanya untuk check and balances dan jangan sampai disalahgunakan,” imbuhnya.
Masalah lain adalah adanya desakan agar presiden menarik atau membatalkan surat presiden (surpres) terkait RUU KPK. Secara teori, memang bisa membatalkan surpres, namun implikasinya akan jauh lebih besar.
“Secara teori bisa saja surpres dihentikan, tetapi itu akan menjadi masalah lagi. Kalau presiden tidak mengirim atau membatalkan surpres, nanti bisa saja UU yang diusulkan pemerintah tidak diapa-apain oleh DPR,” kata Chudry. (jpp)