Awalnya….
SRI NILACALA JAGANNATH KSETRA DHAMA. Sebaris kalimat tertulis di banner pintu gerbang HARE KRISHNA TEMPLE. Apa artinya?? aku tidak tahu. Cuma satu kata saja yang aku bisa mengira-ngira, Temple atau Kuil, rumah peribadatan umat Hindu. Ini kali pertama aku memasuki rumah ibadah yang berbeda dengan keyakinanku sendiri, tapi sedikitpun aku tidak merasa ragu, apalagi sampai berbalik langkah menjauhi tempat itu. Mereka yang ada disitu pasti temanku juga, sahabatku, bahkan saudara yang belum aku kenal. Pastinya begitu, aku membatin.
So, masuk saja.
“Spadaaa…Permisiii… Selamat siang!”
rentetan salam ku ucapkan, berharap pemilik rumah segera keluar membukakan pintu. Benar saja.
“Iyaa.. Cari siapa, mbak?” Seorang lelaki muda berbadan kekar berjalan keluar dari selasar gedung. Senyum lebar terkembang di bibirnya, dan dia terus saja tersenyum sambil memperhatikan aku yang berdiri salah tingkah. Wellcome sekali!
Melihat senyumnya yang ‘bombastis’ aku jadi tertawa, mendadak baper bak jumpa kembali dengan kawan yang telah lama hilang.
“Saya mau belajar senam yoga, disini ada? Diajarkan disini? Yoga ada disini?” Nyerocos tanpa komando, aku terbahak sendiri.
Si ‘senyum lebar’ lantas menoleh kekanan, kearah lelaki lain yang sedari tadi duduk disofa memperhatikan. Lelaki itu sebaya denganku, kulitnya putih berkilau, matanya tajam, tapi bibirnya terkatup sangat rapat. Jutek banget, aku menilai sebal dalam hati. Tiba-tiba si jutek ini berdiri, menjabat tanganku dengan cepat sambil berkata,
“Duduklah dulu” suaranya nyaris tak terdengar.
Sejenak kami berpandangan. Kuperhatikan tampilannya, biasa saja. Dia hanya mengenakan kaos oblong dan bercelana pendek, terlihat santai. Tapi ada sesuatu pada dirinya yang menarik perhatianku; untaian kalung lilit tiga terbuat dari potongan kayu tulasi melingkar di lehernya, ditambah tali putih kecil terpilin yang menyambung entah dimana, tertindih dibawah kalung itu. Unix dan menarix, begitu kalau kata komix Asterix…
Tadinya aku mengira dia sedang bergaya kekinian saja, style kaum Bohemy, sama seperti aku yang gemar memakai kalung hitam dari kulit dan tali sepatu. Salah duga. Belakangan baru aku tahu, ternyata kalung tulasi lilit tiga itu melambangkan Trinad atau api Sunicena, yang menggambarkan kerendahan hati, toleransi dan sikap hormat terhadap orang lain, sedang tali putih yang menyambung melambangkan Diksa atau inisiasi, yang terhubung langsung dengan Tuhan.
Kedua benda itu adalah simbol penuh makna yang wajib dikenakan seorang Bhakta atau Pelayan Altar Krishna, orang yang mengabdikan hidupnya untuk melayani Sri Jagannath, Sang Penguasa Kebajikan. Bukan sembarangan. Untung belum sempat aku minta. Hahahaha… dasar celamitan!
Persahabatan…
“Iya, disini diajarkan yoga, tapi lebih terfokus pada Bhakti yoga, pemusatan pikiran untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan spiritual” dia memulai percakapan.
” Saya asma!” Secepat kilat aku menyela, khawatir dia lupa maksud kedatanganku.
” Iya, begini…” blablablabla…dia meneruskan penjelasannya, panjang-lebar. Aku diam memperhatikan, seolah-olah paham, padahal sebenarnya aku tidak mengerti apa yang dia jelaskan. Konsentrasiku buyar melihat tumpukan buku yang tersusun dimeja panjang didepanku, nafsu kepingin tahu ( Dalam hati aku tertawa begitu menyadari kelakuanku ).
Ahhh! Setengah jam berlalu, ingat harus segera pulang aku buru-buru berpamitan, dan dia cuma terbengong saja melihat diriku yang bergegas pergi. Tapi aku berjanji, lusa aku pasti datang lagi.
Sungguh, aku tidak mengira kalau pertemuanku dengannya akan membawa nuansa baru dikeseharianku. Hubunganku dengannya tidak seperti hubungan pertemanan biasa. Semua serba terbalik. Lucu, karena sering terjadi miskomunikasi yang kadang-kadang berujung selisih paham, tapi tidak tahu bagaimana mulanya dan bagaimana selesainya.
Dia yang terbiasa hidup di Temple dengan disiplin tinggi harus berhadapan dengan diriku yang tidak pedulian. Dia yang berwawasan luas dan serba tahu harus ‘ face to face ‘ dengan aku yang bodoh tapi sok pintar. Bikin capek, katanya. Benar-benar beda. Tapi aku dan dia seperti sepakat untuk tidak membesar-besarkan perbedaan, sepakat kalau perbedaan ini harus bisa membawa kami kejalan damai, bukan sebaliknya.
Perbedaan keyakinan, yang katanya sensitif, kami sikapi biasa- biasa saja, malah seringkali kami jadikan objek perbincangan yang menarik, dibikin asyik. Dengan begitu kami jadi semakin menyadari arti toleransi, semakin menyadari bahwa semua manusia pada dasarnya sama; sama-sama ingin dihargai dan diterima eksistensinya, apapun keyakinannya.
Suatu hari dia berkata, “Jelaskan saja apa yang kamu pahami tentang keyakinanmu, dan akan aku jelaskan apa yang kupahami tentang keyakinanku. Sebisa mungkin kita hindari pertententangan dan adu argumentasi yang bisa memicu pertengkaran. Buatku itu tidak mutu”
Setuju dengan pemikirannya, aku mengiyakan. ” Iya, aku sepakat “, kujawab perkataannya dengan khidmat.
Intinya… Indonesia, negeri dengan kekayaan alam yg melimpah. Suku, budaya dan bahasa yang beraneka, serta masyarakatnya yang terkenal ramah dan berbudi pekerti luhur, sungguh merupakan karunia Tuhan yang tak ternilai. Aku bangga jadi bagian dari masyarakat yang majemuk ini, bersyukur karena jadi bagian dari karunia Tuhan. Aku cinta Indonesia.
Tapi melihat kondisi yang tengah terjadi dinegeri ini, aku tidak pernah menduga, kenapa perbedaan keyakinan yang tadinya diterima dengan tenang, sekarang malah dijadikan arena untuk saling menghujat, saling menghina, saling memaki dan saling menyakiti, menuding satu sama lain.
Ada yang bilang ini cuma permainan, trik politik yang cantik. Menurutku, ini destruktif! Disengaja atau tidak, api yang memercik ini perlahan tapi pasti bisa saja membakar seluruh negeri, membakar semua yang ada didalamnya. Ada yang sadar lalu berusaha menyiram bara itu supaya padam, tapi lebih banyak lagi yang sengaja meniup-niup biar semakin besar. Semakin semarak tiupannya, semakin joss panasnya.
Berlebihankah aku ? Bisa jadi begitu, aku tidak tahu. Bagiku, Islam, Nasrani, Hindu atau Budha adalah berkah keyakinan yang diberikan Tuhan, untuk perdamaian. Sebesar apapun perbedaan, janganlah sampai memutus dan mencerai-beraikan ikatan kita sebagai satu kesatuan, karena suka tidak suka kita semua adalah generasi yang ikut memikul tanggung jawab demi tegaknya persatuan bangsa.
Seorang temanku pernah berkata, dengan suara sengit yang bikin aku tertawa, “Rakyat jelata sudah biasa jadi korban kepentingan penguasa. Mereka yang salah kita yang sengsara, mereka yang berebut kekuasaan, kita yang serabutan. Mereka yang korupsi, kita juga yang mengganti.Lucu ! ”
….Dia benar, tapi dimana lucunya ? Orang-orang jahil ini sekarang sedang berulah lagi, mengerahkan daya upaya, menciptakan suasana panas demi mencapai satu tujuan, kekuasaan! Dan kita, rakyat jelata ini, ibarat semak kering yang mudah tertiup angin, bila ingin membakar, tidak dibutuhkan lagi usaha besar, cukup gesek saja batu dibawah semak-semak itu, seketika api akan menyala, berkobar dan merambat kemana-mana…. Miris!
Sungguh, aku sangat berharap kekisruhan ini segera berlalu, aku ingin kedamaian kembali menaungi negeri ini, negeri yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku. Seperti Gandhi yang teguh pada AHIMSA atau prinsip hidup menjauhi kekerasan, sedikitnya kita juga bisa berpegang pada prinsip yang sederhana ; SALING MENGHORMATI dan SALING MENGHARGAI. Itu saja. Pertemukan sisi-sisi positif yang ada pada diri kita, teman, untuk harmoni dan keselarasan.