Partai ini namanya PSI (Partai Solidaritas Indonesia), salah satu dari 14 partai yang berhasil lolos seleksi dan berhak mengikuti Pileg 2019, setelah sebelumnya lolos verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU.
Partai yang memperoleh nomor 11 ini, dipimpin oleh Grace Natalie yang merupakan mantan penyiar berita di salah satu stasiun telivisi swasta. Walau masih terbilang muda usianya (didirikan tanggal 16 November 2014), namun telah banyak menarik simpati para tokoh masyarakat, termasuk simpati saya pribadi.
Beberapa tokoh yang telah bergabung dengan PSI diantaranya Isyana Bagoes Oka (mantan penyiar telivisi), Rian Ernest (mantan staf Ahok), Giring Ganesha (vokalis band Nidji), Ni Luh Djelantik (pengusaha dan perancang sepatu), Mohamad Guntur Romli (Aktivis NU), dan tidak ketinggalan Tsamara Amany, serta banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.
Platform partai yang mengusung tagline Terbuka, Progresif Itu Kita, adalah solidaritas, pluralitas beragama, suku, dan bangsa. Ada aturan bahwa pengurus partai dibatasi maksimal 45 tahun, dan saat ini pengurus daerah rata-rata berumur 20-30 tahun.
Lantas apa yang membedakan PSI ini dengan partai-partai lainnya?
Pertama, PSI membuka pendaftaran bagi yang ingin maju sebagai caleg untuk semua kalangan dan yang pastinya telah menjadi anggota PSI. Walaupun dibuka untuk segala kalangan bukan berarti asal-asalan karena siapa pun yang mendaftar sebagai bakal caleg akan diuji oleh panel juri agar caleg yang ditetapkan benar-benar profesional, berkualitas dan memiliki kemampuan.
Panel jurinya sendiri juga merupakan para tokoh nasional yang telah teruji integritasnya. Bibit Samad Rianto (Mantan Wakil Ketua KPK), Mahmud MD (Mantan Ketua MK), Marie Elka Pangestu (Mantan Menteri Perdagangan), adalah beberapa nama dari sebelas nama yang menjadi juri penguji.
Yang kedua, seandainya lolos dan ditetapkan sebagai caleg, untuk keperluan biaya kampanye, para caleg dapat mengadakan berbagai event sebagai sarana mengumpulkan sumbangan dari masyarakat. Salah satunya adalah melalui kartu “Solidaritas Anti Korupsi dan Intoleransi (SAKTI)” untuk menggalang dana publik.
Tidak perlu khawatir bila dana yang kita keluarkan sebagai donatur akan disalahgunakan, karena PSI menjamin dana tersebut akan diaudit setiap tahunnya.
“Seluruh dana yang terkumpul dan penggunaannnya akan diaudit oleh auditor eksternal, diaudit setahun sekali, dan akan kami pertanggungjawabkan ke publik. Mereka yang sumbang akan tahu kami pakai buat apa,” ujar Grace di Metro Coffee, Jakarta Pusat, Jumat 19 Januari 2018 yang lalu.
Para donatur nantinya akan mendapatkan kartu SAKTI, yang juga bisa berfungsi sebagai e-money. Dengan menyumbang, para donatur punya hak untuk ikut menentukan arah kebijakan partai dan mengawasi kader PSI yang duduk sebagai wakil rakyat. Artinya donatur memiliki hak suara.
Sebagai contoh, UU MD3 yang cukup kontroversial dan menuai berbagai kritik dan penolakan yang baru-baru ini disahkan oleh DPR. Kita sebagai masyarakat hanya bisa mengungkapkan kekecewaan dan protes kita yang belum tentu didengar oleh mereka yang mengaku-ngaku mewakili rakyat padahal mewakili kepentingan pribadi dan partainya saja.
Namun seandainya kader PSI, berhasil duduk di legislatif, maka kita dapat menyuarakan ketidaksetujuan kita melalui caleg PSI yang kita dukung tersebut. Jadi fungsi caleg PSI adalah benar-benar seperti perpanjangan tangan kita di dewan legislatif.
Yang ketiga, bila selama ini untuk menjadi anggota legislatif adalah orang-orang yang memiliki “modal” mengingat mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan. Maka sekarang, melalui PSI, selama memiliki kemampuan, walaupun finansialnya tidak memadai, siapapun dapat menjadi anggota legislatif. Keren kan?
Bila PSI benar-benar komit dengan janjinya, saya tidak akan heran kedepan PSI dapat menjadi trendsetter bagi partai politik lainnya. Politik mahar yang selama ini telah membudaya, akan dapat dihilangkan, dan pada gilirannya, korupsi juga dapat diminimalisir. Kenapa? Karena biaya kampanye yang dipergunakan itu benar-benar dari donasi masyarakat.
Jadi para caleg hanya berhutang budi kepada masyarakat serta berkewajiban bekerja sebaik-baiknya untuk masyarakat, bukan untuk partainya lagi. Otomatis prinsip utama demokrasi yaitu Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat benar-benar dijalankan. Bukan hanya menjadi slogan semata, seperti yang selama ini selalu didengung-dengungkan.
Bagaimana dengan partai-partai lain yang tidak mau berubah dan tetap mempertahankan budaya mahar? Ya siap-siap saja ditinggalkan oleh pemilihnya. Siapa lagi mau memilih caleg atau calon kepala daerah dari partai yang kadernya tertangkap KPK karena para caleg dan kepala daerahnya berlomba-lomba korupsi untuk menutupi mahar yang harus disetorkan setiap akan kampanye?. Mereka akan seperti dinosaurus yang punah karena tidak mampu beradaptasi mengikuti perkembangan jaman.