Saya tersenyum kecut saat membaca judul di salah satu media yang bertuliskan “Lucu, Viral Mahasiswa Nyanyi Indonesia Raya Keliru Indonesia Pusaka”.
Dalam berita itu disebutkan tentang Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) pada Jumat 16 Agustus 2019. Para mahasiswa yang memrotes Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap mahal itu, ternyata, salah menyanyikan lagu.
Dalam video 30 detik yang sempat viral itu terlihat orator melalui pengeras suara mengajak peserta aksi untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mahasiswa yang awalnya hendak menyanyikan lagu Indonesia Raya justru menyanyikan lagu Inodnesia Pusaka. Video mahasiswa salah menyanyikan lagu itu viral di medsos.
“Oke teman, mari kita menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama,” seru orator yang berdiri diatas mobil pikap dalam video.
Namun ketika lirik Indonesia Raya mulai dikumandangkan. Para mahasiswa yang berdiri di hadapan mobil pikap justru meneruskan lirik dengan Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki, bukan lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman.
“Indonesia…Tanah Air beta…,” begitu lirik pertama yang terdengar dinyanyikan mahasiswa.
Sontak beberapa orang langsung berupaya menghentikan syair lagu yang bukan lirik Indonesia Raya itu. Tiba-tiba suara terdengar keras dari balik pengeras suara, melantunkan syair Indonesia Raya yang benar. “Indonesia ..tanah airku, tanah tumpah darahku,”.
Untuk videonya dapat dilihat di sini
🙋🏼♂️: marilah kita menyanyikan lagu indonesia raya.
🙎🏽♂️👱🏼♂️👩🏻: ayoooooo!!!!!
🙋🏼♂️: pic.twitter.com/i35LWMBShY
— Dhiardana Rachmadiargo (@danamilkyway) August 17, 2019
Saya tidak tahu bagaimana para mahasiswa tersebut bisa sampai salah menyanyikan lagu, padahal sang orator telah menggunakan pengeras suara menyampaikan judul lagu yang ingin dinyanyikan. Kalau oratornya tidak pakai pengeras suara mungkin masih dapat dimaklumi, bisa saja aba-abanya tidak terdengar oleh para mahasiswa.
Kejadian mahasiswa yang salah menyanyikan lagu Indonesia Raya bukanlah yang pertama kali dan satu-satunya. Kesalahan tersebut bahkan menimpa penyanyi profesional yang cukup terkenal, belum lama ini.
Adalah Rossa, yang ketika itu diberikan tugas untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Bagimu Negeri dalam debat capres yang keempat, 30 Maret 2019.
Kesalahan Rossa dalam menyanyikan lirik Indonesia Raya adalah mengubah satu kata dalam bait seharusnya ‘jadi pandu ibuku’ menjadi ‘bagi pandu ibuku.
Namun apa yang terjadi pada Rossa tidak seheboh yang terjadi pada seorang pejabat negara di jaman SBY dulu, siapa lagi kalau bukan Roy Suryo.
Menpora di era SBY ini pernah tertangkap kamera televisi yang saat itu sedang siaran langsung. Roy ketika itu bernyanyi, “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku…” Kemudian ia melanjutkan, “Di sanalah…” sampai situ ia tampak terdiam sejenak, dengan pandangan tetap ke arah penonton, lalu dari mulutnya keluar lirik “… tanah airku….”
Kejadian itu membuat banyak orang berkicau di twitter, bahwa seorang menteri saja sampai lupa dengan lirik lagu kebangsaan. Sejumlah media juga sampai menjadikannya sebagai judul dalam pemberitaan. Dan kenangan memalukan itu juga teringat hingga kini.
Memang benar, bahwa hal-hal seperti lupa lirik, salah menyanyikan lagu, terlihat sebagai hal yang sepele bagi kebanyakan orang. Apalagi tidak merupakan patokan yang hapal lirik, nasionalismenya lebih kuat dari yang lupa atau salah lirik.
Namun dari hal-hal yang bersifat sepele inilah nasionalisme bisa dimunculkan. Menyanyikan lagu Indonesia Raya merupakan hal yang wajib di masa lalu. Setidaknya seminggu sekali ketika upacara bendera, saat nilai-nilai Pancasila ikut ditanamkan melalui pidato sang kepala sekolah yang biasanya bertindak sebagai inspektur upacara.
Tak jarang dalam ujian menyanyi, setiap siswa harus menyanyikan dua lagu, satu lagu bebas dan satu lagi lagu wajib berupa lagu nasional. Kadang bahkan dipertandingkan saat upacara 17 Agustusan. Sesuatu yang sudah jarang terlihat di saat ini.
Di sekitar tempat tinggal saya, ada sekolah negeri, ada sekolah swasta. Keduanya dalam radius 50 meter. Selama 10 tahun terakhir saya tinggal di sini, sangat jarang atau bahkan tidak pernah seingat saya, lagu Indonesia Raya terdengar berkumandang, bahkan saat upacara bendera di hari Senin sekalipun. Entah lagu itu dinyanyikan tanpa pengeras suara, entah lagu itu dinyanyikan dengan berbisik atau tidak dinyanyikan sama sekali, entahlah.
Namun yang jelas, hal yang terlihat sepele ini menjadi terlihat penting saat di mana pengaruh radikalisme terus meningkat. Coba saja kita lihat di berbagai media, betapa seringnya berita dari pengamat yang menyebutkan sejumlah perguruan tinggi terkontaminasi radikalisme. Belum lagi lembaga survey yang menyebutkan adanya infiltrasi radikalisme. Bahkan dari pihak pemerintah mengakui adanya institusi yang terpengaruh radikalisme sekian persen.
Merupakan sebuah ironi, saat pemerintah berulangkali mengingatkan bahaya radikalisme, menggaungkan slogan-slogan Pancasilais. Ternyata mereka sendiri masih belum bertindak apa-apa untuk membersihkan institusinya.
Ustad-ustad dari organisasi terlarang semacam HTI masih bebas menyiarkan dakwahnya. Bukan saja bebas, tapi malah diundang dengan hormat ke balai kota dan institusi-institusi pemerintah lainnya untuk berdakwah.
Di salah satu media yang saya baca, malah ada ustad yang sudah jelas-jelas HTI, masih juga diangkat sebagai khatib shalat Idul Adha di lapangan perumahan TNI-AU Curug Indah. Coba bayangkan.
Jauh berbeda 180 derajat dengan cara Malaysia memberantas radikalisme. Zakir Naik yang namanya sempat heboh karena menyerukan ujaran kebencian antar etnis. Dalam hitungan hari langsung dilarang berceramah di seluruh Malaysia, entah untuk berapa lama, bisa jadi seumur hidup. Sementara kita di sini masih antara mau dan tidak mau, ingin dan tidak ingin.
Sampai di sini saya benar-benar speechless.
Nah kembali ke masalah mahasiswa yang keliru menyanyikan lagu Indonesia Raya. Alih-alih menganggapnya sebagai kelucuan, saya merasa ini merupakan warning tidak saja kepada pemerintah namun kepada kita semua bahwa ada masalah serius yang harus segera diselesaikan. Bila dibiarkan, tidak mustahil di masa yang akan datang, para mahasiswa bukan cuma keliru menyanyikan lagu. Bisa jadi mereka pun akan lupa lirik Indonesia Raya.
Kalau masih ingin anak atau cucu kita memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya. Pemerintah harus segera bertindak daripada cuma menjual slogan Cinta Tanah Air, Pancasila dan sebagainya.
Jangan sampai NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia kelak menjadi Negara Khilafah Republik Indonistan.