Awal Juni 2019, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyatakan bahwa Indonesia menargetkan akan menghasilkan baterai lithium secara mandiri pada tahun 2022. Seiring dimulainya pembangunan industri motor listrik dan mobil listrik di Indonesia, maka ke depan kebutuhan akan baterai lithium diperkirakan semakin meningkat.
Saya sepakat bahwa tanpa ketersediaan industri penopangnya, semisal pabrikan baterai kendaraan listrik, maka pengembangan kendaraan bertenaga listrik kemungkinan akan berjalan secara kurang optimal.
Namun, saya merasa perlu menambahkan tiga buah catatan kecil, sekadar untuk klarifikasi terbatas dari seorang warganegara, terkait pernyataan menristekdikti dan petinggi-petinggi lainnya sesama rekan beliau. Pertama, Indonesia sebenarnya sudah memproduksi baterai lithium sejak 2013. Sehingga, tidak persis seperti pernyataan menristekdikti, yang baru menargetkan produksi baterai kendaraan listrik tahun 2022.
Keniscayaan baterai lithium
Berdasarkan artikel bersumber liputan Kompas.com pada halaman Kompas Otomotif, ‘Baterai Lithium Indonesia untuk Mobil Listrik, Tank, Kapal Selam dan Pesawat Terbang’ (Senin, 15 Juli 2013). Berikut ini merupakan sebagian kutipan artikel bersumber liputan tersebut.
“…ketika mobil listrik generasi pertama diluncurkan oleh Tim Putra Petir BUMN, memang masih menyisakan pekerjaan penting yang harus dilakukan, baterai mobil tersebut masih impor dari Tiongkok. Belum menggunakan baterai buatan asli Indonesia. Selama ini Indonesia baru mampu memproduksi baterai biasa. Padahal untuk mobil listrik tidak mungkin menggunakan biasa, karena ukuran baterai terlalu besar dan bobotnya pun terlalu berat untuk digunakan pada mobil listrik. Dengan lithium untuk kekuatan yang sama hanya diperlukan ukuran yang kecil, hanya 30 persen baterai biasa. Beratnya pun hanya sepertiga berat baterai biasa. Dan yang lebih penting dengan baterai lithium proses charging-nya bisa cepat.”
“Atas gagasan dan dorongan [tokoh nasional berjabatan menteri] tak lama setelah peluncuran tiga mobil listrik jenis city car karya [pengembang mobil listrik], [tokoh nasional tersebut] berharap ada salah satu perusahaan baterai yang berpotensi dan mampu memproduksi baterai lithium di dalam negeri mulai mengembangkan baterai jenis ini. Gagasan [sang menteri] ternyata didukung olah PT Nipress Tbk di Bogor untuk mengembangkan baterai jenis ini. Pengalamannya memproduksi baterai sudah puluhan tahun. Pasarnya tidak hanya di dalam negeri. Ekspornya sudah merambah dunia sampai Eropa.”
Demi menghindari potensi silang-pendapat ke arah kontra-produktif, serta tidak bermaksud mengurangi apresiasi kepada para tokoh bersangkutan terkait pengembangan mobil listrik dari era sebelumnya, maka nama-nama mereka disamarkan di dalam tulisan ini yaitu pada bagian kurung bersiku. Seyogianya, kita benar-benar fokus pada optimalisasi seluruh kapasitas nasional dalam memproduksi kendaraan listrik. Hindarkan sikap abai terhadap capaian-capaian positif dari era sebelumnya. So, bertindaklah efektif secara terintegrasi keseluruhan bagian antar para pemangku kepentingan beserta jajarannya.
Baterai lithium sudah diproduksi
Kedua, bukanlah kapasitas pribadi saya untuk menilai kemandirian perusahaan nasional (PT Nipress Tbk) dalam memproduksi baterai lithium. Namun, sebatas mengingat dengan beberapa rujukan yang relevan, terungkap bahwa produksi baterai lithium untuk kendaraan listrik minimal sudah dilakukan di Republik ini sejak 2013. Pabrikannya berada di Bogor dan produksi mereka berskala industri tentu saja dan sudah pasti mengikuti regulasi Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.
Sehingga, enam tahun kemudian tatkala menristekdikti menyatakan target Indonesia untuk produksi baterai lithium secara mandiri pada tahun 2022, spontan dan tetiba sempat mencuatkan sedikit tanda tanya dan sekaligus tanda seru!
Apalagi, seorang menteri koordinator (menko) pun bahkan tak kalah aktifnya mengurusi pula soal kendaraan listrik. Beliau berucap demikian khususnya terkait baterai motor listrik nasional Gesits.
“Gesits sepeda motor yang ditampilkan Presiden kemarin. Tapi baterai masih agak sedikit mahal. Tidak apa-apa. Nanti lithium battery yang di Morowali selesai dalam waktu 1,5 tahun, atau 2 tahun ke depan, nanti baterai itu akan menggantikan,” kata sang menteri, sebagaimana dikutip Jumat 7 Desember 2018.
Padahal, PT Nipress sudah memproduksi jenis baterai ini sejak Juli 2013. So, bersambung dengan istilah menristekdikti soal “menghasilkan baterai lithium secara mandiri” terasa agak membingungkan. Apakah kemampuan satu-satunya produsen baterai lithium di Tanah Air (minimal hingga saat ini) belum cukup disebut mandiri? So, apa dan atau bagaimanakah sebenarnya definisi kemandirian dalam pemikiran seorang menristekdikti?
Penggolongan produsen dan modul baterei lithium
Ketiga, baterai bakal calon motor listrik nasional Gesits dinilai “agak sedikit mahal” oleh seorang menko. Gesits masih menggunakan baterai lithium impor. Pun demikian motor listrik buatan sebuah pabrikan lainnya, Viar. Kedua pabrikan tersebut sama-sama memakai baterai lithium impor.
Pernahkah pihak Viar, Gesits, dan sekaligus PT Nipress membuka jalur komunikasi bahkan terselip keinginan untuk konsolidasi bersama demi memajukan produk unggulan masing-masing? Tahukah menristekdikti, menko terkait, dan para petinggi lainnya bahwa sebuah perusahaan nasional sudah memproduksi baterai kendaraan listrik (khususnya dari jenis baterai lithium sejak 2013)?
Cara PT Nipress menghasilkan baterai kendaraan listrik ternyata menggunakan sistem per modul. Semisal, ada modul untuk bus listrik, modul mobil listrik sekelas MPV, modul mobil listrik sekelas city car, dan modul mobil listrik sekelas mobil sport. Penjelasan ini disampaikan oleh Richard Tandiono, Direktur Operasional PT Nipress Tbk.
Penetapan sistem modul baterai lithium didesain untuk memudahkan pihak manapun, yang bermaksud memproduksi mobil listrik. Sehingga, siapa pun tidak akan kesulitan lagi, semisal tatkala merancang penempatan baterai listrik tersebut. Alasannya pihak pabrikan baterai telah membuat standarisasinya. So, pembuat mobil listrik hanya tinggal mengikuti arahan produsen baterai sesuai modul masing-masing.
Uraian Richard terkait baterai kendaraan listrik tak dimungkiri tidak menyebut soal baterai untuk motor listrik. So, pertimbangan Viar dan Gesits menggunakan baterai lithium impor berterimalah dengan nalar publik. Produksi baterai lithium PT Nipress terlanjur ditujukan untuk mobil listrik. Sehingga, penggunaan baterai lithium untuk motor listrik nasional masih menunggu kesiapan pabrik baterai lithium lainnya, yang sedang dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah (‘Strategi Pemerintah Atur Produksi Baterai Litium di Morowali’, Liputan6.com, 07 Desember 2018).
Perlu diketahui, PT Nipress sedang berkolaborasi dengan TNI AL dalam pengembangan unit baterai untuk kapal selam. Produksinya sudah berjalan dan menurut rencana akan selesai keseluruhannya pada 2025. Kemenhan memesan 18 unit baterai masing-masing seberat 240 ton untuk 18 unit kapal selam.
Bahkan, kerja sama serupa dijalin dengan TNI AD dan TNI AU untuk produksi baterai khusus untuk tank, wahana amfibi, dan pesawat terbang. Nipress juga memenangi kontrak produksi baterai untuk kesenjataan torpedo (realisasi 2016). Sementara produksi baterai untuk helikopter dan pesawat direalisasikan 2015.
Ternyata, Pemerintah tidak abai terhadap capaian-capaian positif sebelumnya. Namun, saya masih berharap bahwa ke depan dan tidak perlu menunda hingga berlama-lama, bahwa gerak langkah pembangunan dan upaya memajukan bangsa kian berjalan secara semakin padu dan saling terintegrasi.