Indovoices.com -Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Osaka, Jepang, akhir Juni lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin memberikan kesempatan wawancara khusus kepada koran Financial Times. Hasil wawancara itu diturunkan persis bersamaan dimulainya KTT G-20, 28 Juni 2019, dalam laporan utama halaman muka koran tersebut dengan judul ”Ide Liberal Telah Usang”.
Ide liberal, kata Putin dalam wawancara itu, tak mampu lagi memenuhi tujuannya saat publik dunia bangkit menentang imigrasi, perbatasan terbuka, dan multikulturalisme. Ada pergeseran keseimbangan kekuatan politik dunia, dari liberalisme tradisional Barat menuju populisme nasional, yang ditandai dengan kemarahan tentang imigrasi, multikulturalisme, dan nilai-nilai sekuler dengan mengorbankan agama. ”(Kaum liberal) tak lagi bisa mendiktekan sesuatu kepada semua orang, seperti yang mereka lakukan selama beberapa dekade terakhir ini,” ujar Putin.
Kritik Putin kepada ide liberal tidak dimaksudkan untuk menunjukkan akhir dari peran hegemonik AS, yang selama puluhan tahun mengusung tata b erdasarkan aturan internasional yang liberal (liberal international rules-based order). Di kalangan pengamat setidaknya dalam setahun terakhir, wacana nasib tata aturan internasional yang liberal menjadi bahan diskusi terkait kepemimpinan Trump di AS.
Bagi pendukungnya, tata dunia liberal ini diklaim sebagai sumber utama terciptanya perdamaian panjang di kalangan negara-negara besar dunia dalam tujuh dekade terakhir. Selama kurun itu pula, tata dunia yang liberal menjadi pendorong utama keterlibatan AS di kancah dunia. AS berupaya mengubah sistem internasional menjadi tata berdasarkan aturan yang diatur oleh lembaga-lembaga multilateral, serta berupaya mendorong negara-negara lain menjadi kekuatan demokrasi yang berorientasi pasar.
Baru pada era pemerintahan Donald Trump, tata dunia liberal yang dijalankan para presiden AS sebelumnya itu mulai ditanggalkan. Di bawah Trump, AS meninggalkan sejumlah inisiatif yang didorong para pendahulunya, dari kesepakatan iklim, pakta perdagangan, hingga perjanjian nuklir.
Sebagian kalangan menyebut, dengan slogan ”Mengutamakan Amerika”, Trump memilih pendekatan isolasionis dalam kebijakan-kebijakan luar negerinya. Alih-alih meneruskan dukungan pada forum-forum multilateral dalam kerja sama internasional, Trump lebih suka membawa AS dalam kerja sama-kerja sama bilateral.
Barry R Posen, Direktur Program Studi-studi Keamanan pada Massachusetts Institute of Technology, menggarisbawahi bahwa, meski sempat muncul pandangan skeptis tentang peran Washington di tingkat global terkait pendekatan isolasionis, bukan berarti AS meninggalkan strategi besar untuk menjadi kekuatan hegemoni dunia (Foreign Affairs, Maret/April 2018).
Hal itu bisa dilihat dari beberapa kebijakan luar negerinya, yang tecermin dari perang dagang yang terus berlangsung dengan China, konfrontasinya yang makin sengit terhadap Iran, upayanya terus melibatkan diri dalam konflik di Semenanjung Korea.
”Ia terus berupaya mempertahankan kekuatan ekonomi yang superior dan kemampuan militer Amerika Serikat, serta perannya sebagai juru damai keamanan untuk hampir semua kawasan dunia,” tulis Posen, yang memakai istilah illiberal hegemony untuk melukiskan strategi besar Trump. (kompas)