Turunnya suhu udara di Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, beberapa hari ini sempat menjadi pemberitaan di media. Bahkan di tanggal 24 Juni 2019, beberapa hari yang lalu, suhu di Dieng sempat turun hingga mencapai minus sembilan derajat Celcius, sudah tidak kalah dengan suhu udara di Eropa saat musim dingin.
Akibat suhu yang sangat rendah itupun memunculkan embun es yang lebih tebal dan berskala lebih luas.
Embun es ini pun berhasil menarik perhatian para wisatawan. Jumlah wisatawan ikut membludak, dengan beragam motif. Namun salah satu yang utama, tentu saja ingin menyaksikan fenomena embun es Dieng yang langka ini.
Tak pelak lagi sejumlah penginapan di daerah pariwisata ini juga ketiban berkah. Lantaran embun es Dieng muncul pada pagi harinya, mereka memilih untuk bermalam di penginapan-penginapan sekitar tempat yang diperkirakan bakal muncul embun es.
Salah satunya, penginapan-penginapan yang menjadi pilihan wisatawan adalah di Desa Dieng Kulon, yang berdekatan dengan kompleks Candi Arjuna. Di tempat ini, embun es muncul lebih tebal dari biasanya lantaran suhu yang minus sembilan derajat Celsius.
Kepala UPT Pengelolaan Obyek Wisata Banjarnegara Aryadi Darwanto mengatakan, pada libur Lebaran tahun ini tercatat 127 ribu wisatawan berlibur di Dieng. Padahal, tahun 2018 lalu hanya 94 ribu.
Dieng bukanlah satu-satunya tenpat munculnya embun es. Selain Dieng, kawasan Gunung Bromo dan Semeru juga mengalami suhu dingin yang ektstrem hingga menjadi es atau frost. Suhu udaranya berkisar antara 5 sampai 12 derajat celsius di siang hari. Sementara malam hari menyentuh 0 derajat bahkan lebih turun.
Sementara suhu dingin yang lebih “hangat” terjadi di Kota Malang di mana suhunya mencapai 15,6 derajat Celsius untuk di wilayah Karangploso. Bahkan diprediksi Kota Malang akan alami suhu dingin mencapai 14 derajat Celsius pada Agustus nanti. Fenomena alam ini mengulang suhu dingin di Malang 20 tahun lalu.
Masyarakat Yogyakarta pun merasakan hal sama. Pada siang hari, suhu udara berada di kisaran 31 sampai 32 derajat Celcius, sedangkan pada malam hari dapat mencapai 18 derajat Celcius.
Kembali ke Dieng, munculnya embun es tidak selalu bermakna positif dan dapat diterima oleh semua masyarakat. Salah satunya yang takut akan kemunculan embun es ini adalah kaum petani.
Pasalnya munculnya embun es dianggap dapat mematikan mata pencaharian mereka sebagai petani. Banyak tanaman holtikultura, kentang dan lain-lainnya bakal mati bila terkena embun es ini. Tanaman yang sebelumnya tampak segar akan layu. Sehari atau dua hari kemudian, tanaman mengering dan mati.
Sedikitnya sudah sebanyak 30 hektare tanaman kentang di Dataran Tinggi Dieng yang terkena dampak embun es ini. Ketua Asosiasi Petani Kentang Dieng Banjarnegara, Ahmad Mudasir mengatakan di sekitar candi Arjuna, Dieng Kulon, Kecamatan Batur, sekitar 30-50 hektare tanaman kentang terdampak. Dan ada kemungkinan meluas bila suhu ekstrem ini terus berlanjut.
Yang paling rentan tentu saja kentang berusia muda. Sedangkan kentang berusia tua biasanya langsung dipanen, meski belum mencapai umur optimal. Selain berdampak pada tanaman kentang, embun es juga berdampak ke tanaman hortikultura lainnya. Misalnya, jenis kacang-kacangan, jagung, Leuncang, dan Bawang Daun. Mungkin yang memiliki daya tahan agak kuat hanyalah kubis dan wortel.
Para petani pun tampak tak berdaya untuk mengantisipasi dampak embun es ini. Berbagai cara sudah dilakukan, mulai dari menyiram tanaman kentang yang sudah terselubungi embun es agar segera mencair.
Namun, langkah itu hanya bisa dilakukan saat embun es baru terbentuk dan saat matahari belum terbit. Lebih dari itu, tanaman kentang dipastikan mati.
Upaya antisipasi lain biasanya dilakukan dengan memasang jaring atau paranet. Namun, saat embun es tebal bisanya paranet juga tidak efektif. Tanaman pelindung juga tidak menjamin tanaman kentang aman dari embun es.
Pada akhirnya fenomena es yang terlihat cantik ini menjadi dilema tersendiri bagi warga Dieng. Di satu sisi, ia menjadi buruan bagi para wisatawan, sementara di sisi lain, ia menjadi momok yang ditakuti oleh para petani.