Tertarik dengan ramalan salah satu begawan nuswantoro yang saya kagumi sejak saya masih belum bisa buang ingus sebagai penutup 2017 lalu, saya memberanikan diri mengungkapkan kekurangajaran pendapat dan keyakinan saya selama ini.
“Kita akan punya sepasang presiden & wakil presiden yang beraliran NASAEB. Nasionalis, agama, ekonomi dan bisnis.” Begitu bunyi bait pertama ramalan sang begawan yang dilanjutkan dengan bait ke dua, “jika terjadi demokrasi jalanan atau kudeta militer, maka perkiraan tadi gugur atau batal dengan sendirinya.”
Sejak begawan mengundurkan diri secara resmi di kiprah pengabdian panggung nuswantoro, dua kali ini begawan mengeluarkan ramalan yg berkaitan dengan orang yang sama. Jokowi!
Dulu saat nyaris semua bibir mencibir & mata melengos pandang Jokowi yg baru naik DKI 1, begawan lah seingat saya yg pertama kali munculkan nama Jokowi di pilpres 2014. Pilpres yg penuh euforia. Gegara pilpres anak ribut sama bapak, ibu mertua tidak saling tegur sapa dengan menantu, bahkan suami istri beda pilihan pilpres tidur seranjang saling memunggungi. Beradu pantat gegara pilpres, hehehehe…
Dua kandidat yang sama punya kharisma bersaing ketat raih suara rakyat. Jokowi akhirnya terpilih & dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7.
Dan euforia pilpres 2014 begawan bukan sekedar meramal dengan perkataan dan mulut. Begawan juga cancut taliwondo, turut serta jinjing celana singsingkan lengan baju maju terdepan dengan ikhtiar lahir batin maksimal menemani jagoan yg diramalkan, Jokowi!
Komitmen & konsisten!
Dua kata itu yang melekat dari karakter begawan seperti yang pernah saya dengar langsung berpuluh tahun lalu saat saya baru menginjakkan kaki dan terpesona dengan kemilau lampu kota surabaya. Sang penutur yg kini sudah tiada sebab sedot lemak di singapura.
Dengan karakter, komitmen & konsisten itu pula begawan menemani orang yang terpilih sampai detik ini. Menemani sebagai sahabat, kakak, atau jalinan ikatan emosional yang lebih kuat dari rupiah. Nilai yang tak terbeli.
Dalam sejarah nuswantoro kita yang sarat intrik & tipu muslihat, tercatat satu kematian tragis seorang raja gegara bisul angkara murka yg bernanah dalam jiwanya.
Jayanegara, Raja Majapahit ke 2 yg sejak kecil sudah nampak perangai sakit jiwa hingga digelari *kalagemet* alias biang kehancuran. Anak dari dara petak, selir yang berhasil kadali permaisuri hingga jadi penguasa istana dgn gelar resmi _ISTRI TINUHENG PURA._
Mungkin dalam istilah kekinian, ~gundik perkasa~ yang bisa dan biasa kendalikan kebijakan seorang raja lewat gocekan pantat dan desahnya. Hingga lahirlah *jayanegara alias kalagemet*
Sejak diangkat sebagai raja pengganti bapaknya, kalagemet identik dengan angkara murka. Dedikasi dan loyalitas prajuritnya yg terabaikan menyulut pemberontakan para perwira utamanya. Tercatat ranggalawe, lembu sora, nambi dan yang paling fatal adalah kudeta rakuti. Jayanegara sampai lari terbirit-birit ke bedander, kini wilayah bojonegoro. Tarik ke bedander bila jalan kaki lewat kemlagi saat ini di tempuh tidak sampai sehari. Entah di era itu, saat rimba belantara begitu lebat, alas gung liwang lewung & bengawan solo belum ada jembatan permanen.
Jayanegara berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti. Makin jumawa dan lupa diri. Dua saudara tiri perempuan dilarang menikah, konon bahkan dinikahi sendiri agar singgasana tidak lepas dari kendalinya.
Istri Ra tanca, pengawal sekaligus tabib pribadi ditidurinya juga. Entah seperti apa selera dan kekuatan syahwatnya. Catatan lama belum ungkap tuntas rahasia ini.
Jalan kematian tragis dialami Jayanegara. Ketika bisul d pantatnya ga juga sembuh, dia panggil sang tabib pribadi Ra tanca untuk mengobati. Dengan dendam kesumat, Ra tanca bukan sekedar membelah bisul bernanah di pantat sang raja, keris beracun menembus jantung jayanegara yang dianggapnya khianat. Tiduri istrinya.
Ra tanca sesaat setelah tikam kalagemet dihabisi Gajah Mada di ruang pribadi sang raja. Konspirasi kah ini? Sejarah, seperti biasa belum jawab dgn tuntas. Selalu sisakan ruang kosong bagi generasi berikutnya untuk belajar. Intrik politik, tipu muslihat maupun rekayasa kekuasaan sudah ada di tanah Jawa sejak berabad silam. Proxy war yang kini nampak keren, ganas dan brutal hanya secuil dari pelajaran kelicikan di masa silam.
Permainan lawas yg d remake sesuai jaman. Kuno. Jadul. Ndeso. Beginilah putaran roda waktu dari masa ke masa.
Begawan, *jokowi bukanlah kalagemet!*
Kita semua sama memahami hal ini. Jokowi bukan sekedar nasionalis seperti dalam ramalan begawan. Lebih dari itu Jokowi adalah seorang nusantarais.
Kriteria agama? Jokowi adalah sosok imam yang sukses di tengah anak istrinya. Kita bisa lihat perilaku anak-anaknya yg sanggup menjaga jarak dalam mencari nafkah, jualan martabak dan gorengan. Menjauh dari hiruk pikuk permainan tender proyek ini itu yang sekian puluh tahun sudah jamak dipermainkan dan jadi mainan lingkaran kekuasaan.
Kriteria ekonomi? Pembangunan infrastruktur yang sudah nyata. Bisnis? Meski ada yang nyinyir Jokowi kelola negeri dengan gaya tukang kayu, terbukti Freeport balik lagi ke pangkuan NKRI. Tidak lagi menjadi negara di dalam negara.
*Jokowi bukanlah kalagemet!*
Lalu siapa Jokowi sesungguhnya? Dalam *impen nuswantoro,* dialah *panembahan Jokowi.* Bukan kalagemet yang angkara murka. Bukan tukang kayu pada umumnya.
Dalam mitos wong jowo, untuk menjadi pemimpin level desa saja perlu pulung, wahyu yang termanifestasi kan dalam kharisma. Wibawa. Kepemimpinan level desa juga sarat intrik tipu muslihat dan godaan khas lingkaran kekuasaan. Terutama sanjungan para penjilat yang bermuara di selat selangkangan dan eksploitasi alam dengan style kesurupan sebagai sumber pundi-pundi mempertahankan kekuasaan.
Kita bisa lihat bersama, *panembahan Jokowi* tidak melakukan itu semua.
Dari kacamata wong ndeso seperti saya yang jauh dari lingkar kekuasaan, “kesalahan jokowi” hanya satu hal sepele bagi kebanyakan orang awam tapi sangat mendasar bagi segelintir orang. Jokowi bukan berasal dari trah cendana.
Inilah permainan takdir!
Andai Jokowi lahir dan muncul dari selasar istana, saya yakin gejolak yang ada tidak bakal segemuruh seperti ini. Perkembangan sosial sampai detik ini merupakan reaksi irasional sejak Jokowi terpilih sampai berjalan 3 tahun lebih sungguh di luar nalar.
Segelintir orang yang belum legawa menggerakkan “divisi komprang” dengan kekuatan duit yang seakan tiada batas mengirim santet beragam bentuk. Santet yang paling terasa di masyarakat akar rumput adalah saling fitnah mainkan opini penyesatan informasi sampai penggalangan aksi. Pilkada Dki yang disangkut pautkan dengan kudeta merupakan riak demokrasi kata para ahli.
Tampias riak dan buih ombak yang hantam Jokowi nyata membuat saya yang rakyat jelata ini pening, tapi Jokowi tetap tidak bergeming. Bahkan semakin dicerca dan dihina, Jokowi makin menunjukkan karakter sejatinya. Ketegasan sikap yg di lambari kerendahan hati menjadikan segelintir orang yang menyerangnya terpental dihantam serangan tenaganya sendiri.
Mirip jurus hap mo kang yang dikuasai auw yang hong dalam kisah fiksi serial silat kuno.
Siapakah sesungguhnya tukang kayu yang selalu memanen fitnah ini itu tanpa terpengaruh hinaan dan cercaan. Siapakah sesungguhnya *panembahan Jokowi* yang muncul dari pinggir bengawan solo ini? Mungkinkah *panembahan Jokowi* penerus perjanjian ki Ageng pemanahan dan Ki Ageng Giring sebagaimana tertulis d babat tanah jawa masa silam?