Usai beradu ulama terbitlah adu kuat purnawirawan.
Sederet nama pensiunan Jendral berada di barisan pendukung Jokowi dan Prabowo. Mereka secara faktual adalah pelaku sejarah era transisi orde baru ke orde reformasi. Beberapa nama sudah tidak asing dalam memori kolektif sebagian kita yang juga menjadi saksi tragedi suksesi kepemimpinan tahun 98.
Tanpa harus menyebutkan nama, beberapa tokoh militer dan kepolisian yang berada di belakang Jokowi sebagian sedang memegang jabatan penting di pemerintahan. Sedangkan sosok purnawirawan di sekeliling Prabowo juga bukan orang sembarangan pada masa aktif sebelumnya.
Merekalah yang sebenarnya sedang beradu strategi, melanjutkan perseteruan kekuasaan di era 98 yang kini terulang rivalitasnya. Meskipun berstatus sebagai purnawirawan, namun strategi memenangkan “pertempuran” tetap melekat di kepala mereka.
Bahwa reformasi yang berujung lengsernya Soeharto adalah “buah karya” mereka bersama dengan segala resiko menang kalahnya. Para petinggi militer di belakang rezim Orba berhadapan Jenderal-jenderal pendukung reformasi. Mereka yang saat itu beradu strategi mempertahankan Orde Baru atau melengserkan Soeharto karena kesadaran akan masa depan bangsa di ujung krisis kepemimpinan.
Di awali dari konflik salah satu partai besar dalam peristiwa “kudatuli” yang melibatkan skenario dari petinggi militer. Berlanjut demo, aksi penculikan aktivis, penembakan mahasiswa, kerusuhan mei 98 hingga kontroversi Danjen Kopassus menjadi perang dingin para petinggi militer.
Kini mereka kembali bertemu dalam rivalitas pendukung Capres pada Pemilu 2014 dan 2019. Dendam kekalahan dan sakit hati bertemu dengan upaya mempertahankan kemenangan agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan kelompok “Neo orba”. Mereka yang berada di belakang Capres dengan tugas dan strategi masing-masing menjadi penentu kemenangan atau justru kekalahannya.
Para Jenderal ketika berstatus purnawirawan otomatis berkedudukan sama menjadi sipil. Mereka yang kemudian berpolitik bergabung di gerbong mana, itulah yang membedakan strateginya bernilai strategis membangun atau justru merusak.
Begitulah naluri seorang purnawirawan. Tetap bertempur bukan lagi dengan senjata dan pasukannya, namun dengan intrik dan pengalaman melumpuhkan lawan tanpa harus membunuhnya bahkan tanpa harus tampil di muka publik. Bagi seorang prajurit yang dipelajari dan ada di benak mereka adalah strategi bertahan atau menyerang. Mereka yang sama sama mencintai tanah airnya, hanya berbeda sudut pandangnya dari sisi rakyat atau sebagai penguasa. Saat pensiun perintah membela negara datang dari siapa yang bisa menjamin hidupnya di sisa waktu usianya.
Prajurit sejati tidak pernah mengenal kata mengalah, dan itu menjadi perseteruan abadi saat bertemu lawan prajurit juga. Hari ini dia kalah satu langkah, esok harus bisa menang 2 langkah, begitulah sebaliknya. Dan saat 2 kubu militer bertarung, idealnya sipil selalu berada di tengah-tengahnya menjadi juru damainya.
Karena Jokowi yang sipil sudah pernah merasakan. Maka perang bintang hanya meredup sejenak, dan akan kembali berseteru saat tidak ada lagi sipil di antara keduanya.
Semoga Paham