Tulisan ini bukanlah dari hasil kajian ilmiah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup pribadi. Karena menurut pendapat pribadi saya, berbagi kisah-kisah hidup yang mungkin bermanfaat bagi orang banyak, juga merupakan salah satu cara untuk mengaplikasikan hidup sehat berbagi.
Salah komentar yang ditulis pada hari ulang tahun saya yang ke-75, pada 21 Mei tahun 2018, menginspirasi saya, untuk menulis artikel kecil ini, Komentar tersebut berbunyi:
“Selamat ulang tahun pak Tjip. Boleh tanya ya? bagaimana rasanya menjadi orang berumur tujuhpuluhan? mungkin dari aspek kesehatan, aktivitas, orientasi hidup dan pandangan terhadap aktivitas orang2 disekitar kita? maaf kepo banget hanya karena saya masih jauh dari usia itu dan belum tentu juga saya mencapai usia seperti pak Tjip. kalau pak Tjip berkenan untuk menjawab, japri juga gak apa2.”
Bagaimana Rasanya Menginjak Usia 75 Tahun
Pertama adalah rasa syukur, karena di usia yang kata orang, sudah cukup dewasa ini, saya dan istri dikaruniai kesehatan yang sangat prima. Saya kemana-mana masih nyetir sendirian, istri saja, tiap hari juga sibuk masak dan nyuci dan nyerika pakaian. Membaca dan mengetik naskah tanpa kaca mata. Bersyukur bahwa di usia kami yang ke 75, saya dan istri masih mampu hidup sehat dan mandiri, dari mulai urusan masak memasak, berbelanja dan mengemudikan kendaraan kemanapun kami pergi.
Menyediakan Waktu Untuk Introspeksi Diri
Saya introspeksi diri, sebagai seorang ayah, saya sudah tidak lagi memiliki kewajiban pokok terhadap anak-anak, karena mereka ketiganya sudah kami antarkan ke dunia pendidikan dan kini sudah memiliki keluarga mereka masing masing. Sebagai seorang ayah, saya harus memahami, bahwa tugas anak adalah menghormati dan menghargai orang tuanya, tapi tugas pokok mereka adalah melayani keluarga mereka. Jadi saya tidak pernah mengharap, apalagi menuntut untuk diperhatikan secara berlebihan. Sehingga kehadiran kami dimanapun, sama sekali tidak menjadi kendala bagi anak mantu dan cucu-cucu.
Saya tidak pernah mencampuri urusan anak-anak kami dan keluarganya. Kalau diminta, saya akan memberikan pendapat dan saran saya, kalau tidak, saya tidak menyinggung apapun tentang rencana keluarga mereka. Kecuali hal-hal yang menurut saya, sifatnya imergensi, baru saya mengingatkan.
Sebagai Seorang Suami
Dalam ketidaksempurnaan, Saya senantiasa berusaha mencintai istri saya secara sempurna, menghargai dan menghormatinya.. Sejak menikah hingga mencapai golden anniversary. Saya tidak pernah membuka tas istri saya, kecuali diminta tolong ambilkan sesuatu. Begitu juga istri saya juga tidak pernah memeriksa kantong baju, maupun celana dan tidak pernah membuka dompet saya kecuali saya yang minta. Hal sangat sepele, tapi kami sudah membiasakan diri sejak menikah, mulai mengawali segala sesuatu dengan yang paling kecil, sehingga melakukan sesuatu yang besar, sudah tidak jadi masalah. Karena mustahil tiba-tiba saja, saling cinta, saling menghargai dan saling menghormati itu, jatuh begitu saja dari langit. Semuanya perlu penerapan, selangkah demi selangkah.
Saya tidak pernah menyuruh-nyuruh istri saya, selalu saya minta tolong dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Walau hanya untuk secangkir Capucino. Begitu juga sebaliknya.Kalau saya tidak senang sesuatu, saya tidak pernah marah, hanya mengatakan ”Sayang….lain kali jangan begitu yaa..” Dan istri saya sudah hafal gaya saya.
Sebagai Seorang Kakek
Saya sangat mencintai semua cucu-cucu saya. Dan salah satu kebahagiaan kami adalah ketika cucu sulung kami menerima gaji perdananya dan kami berdua ditraktir makan malam. Rasanya suatu kebahagaiaan yang tak ternilai, disopiri dan ditraktir cucu. Walau sebenarnya kami bisa saja membayar semuanya itu. Semua cucu-cucu, sangat menyayangi dan sangat sopan kepada kami, kendati mereka sudah lahir di Australia dan tidak bisa lagi berbahasa Indonesia, namun rasa hormat terhadap orang tua, tetap kami tanamkan pada mereka.
Selain dari cucu-cucu yang terlahir dalam keluarga, banyak sekali anak-anak teman-teman yang sudah menganggap kami Opa dan Oma nya. Maka kami juga sangat menyayangi mereka. Tiap pulang ke Indonesia, kami harus beli kaus sekoper, untuk dibagi-bagikan kepada semua cucu-cucu kami, termasuk cucu angkat kami yang bagi kami bukan beban, melainkan bonus kebahagiaan.
Saya dan istri selalu membuat jadwal untuk kami sendiri, walau kami sudah tidak bekerja lagi tapi kegiatan di sini selalu penuh’, misalnya:
Bangun pagi jam 5.00 subuh
Bersyukur kepada Tuhan bahwa kami masih sehat dan hidup
Mandi, Sarapan, Membaca, menulis, berkebun, gosok pakaian, ke pasar, ke club bowling, senior club, kunjungan sosial, makan siang bisa dimana saja. Di club, di rumah, di pantai, di restaurant tidak mengikat diri harus makan apa atau dimana. Tidak ada acara tidur siang bagi kami kecuali lagi kurang sehat. Tidak ada pantangan makanan dan minuman, hanya saja, kami berdua harus tahu diri, untuk tidak makan berlebihan. Dalam pembicaran dengan teman-teman, kami selalu mensterilkan terhadap masalah. Poltik, agama, urusan pribadi orang lain, masalah keuangan, untuk menghindarkan saling singgung menyinggung. Bersahabat dengan siapa saja, tidak ada batasan suku, bangsa dan agama, maupun latar belakang pendidikan. Teman kami di sini ada tukang batu, tukang pos, tukang potong rumput, cleaning service, mahasiwa, dosen, dokter dan professor.
Orientasi Hidup
Dulu sewaktu masih muda, orientasi hidup adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, untuk membiayai pendidikan anak-anak di luar negeri. Kemudian setelah anak anak selesai study, orientasi adalah traveling around the world. Setelah semuanya terpenuhi, Orientasi Hidup untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesama, minimal untuk jangan pernah menjadi beban orang lain, termasuk anak mantu dan cucu sendiri. Selalu berusaha untuk memberi, tanpa mengharapkan balasan apapun.