Edy Rahmayadi yang merupakan bakal calon Gubsu, memperingatkan wartawan terkait pemberitaan soal dirinya. Mantan Pangkostrad ini meminta wartawan jangan menulis berita yang tidak ia ucapkannya. Hal ini disampaikan oleh dirinya seusai pemeriksaan rohani (kesehatan jiwa) di Gedung Paviliun RS H Adam Malik, Medan, tanggal 11 Januari 2018 kemarin.
Namun ketika diminta menyebutkan contoh pemberitaan media yang tidak sesuai dengan ucapannya, Edy tidak mampu menjelaskan. Begitu juga saat ditanya kenapa dia tidak berusaha mengklarifikasi pemberitaan media yang menurutnya tidak sesuai, pensiunan jenderal TNI AD bintang tiga itu menyatakan tak perlu.
“Capeklah mengurusi yang begitu,” ujarnya yang saat itu didampingi bakal calon Wagubsu, Musa Rajekshah atau Ijeck.
Berdasarkan catatan dari beberapa media, Edy Rahmayadi beberapa kali diketahui mengucapkan pernyataan kontroversial. Di antaranya adalah mengklaim dirinya sebagai calon gubernur paling hebat se-Indonesia karena didukung banyak parpol. Menurutnya, tidak ada calon gubernur yang mendapat dukungan lebih besar dibanding dirinya. Hal ini disampaikannya di hadapan puluhan wartawan berikut para pendukungnya seusai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Sumut pada tanggal 8 Januari 2018.
Bahkan Djarot yang diusung oleh PDIP pun pernah disindir sebagai kandidat impor.
“Begitu susahnya menjadi calon gubernur sampai-sampai harus ada yang diimpor. Padahal banyak sekali pemuda hebat di Sumut,” demikian menurut Edy Rahmayadi yang merupakan mantan Pangkostrad.
Masih di pertemuan yang sama, Edy juga menyebutkan bahwa wartawan merupakan golongan orang-orang susah. “Kalian kalau bukan karena susah takkan datang ke sini,” ujarnya.
Setelah melontarkan pernyataan ini, Edy menyebutkan solusi agar wartawan tidak susah adalah dengan menyediakan media center.
Saya tidak mengerti apa hubungannya agar wartawan tidak susah, harus menyediakan media center. Toh memang tugas wartawan itu adalah meliput berita, bukannya duduk-duduk di ruangan ber-AC lalu berita bisa datang dengan sendirinya. Bila wartawan mengejar sumber berita, itu juga sudah merupakan bagian dari tugasnya. Jadi saya rasa tak perlu sampai menyebut wartawan sebagai golongan orang susah, kesannya melecehkan. Orang akan berpikir, baru jadi cagub saja sudah begitu arogan, bagaimana seandainya menjadi Gubernur?.
Sedangkan pernyataannya yang menyindir Djarot sebagai kandidat impor pun tak sepatutnya dilakukan. Bagaimanapun Djarot itu adalah warga negara Indonesia, jadi memiliki hak yang sama dengan Edy Rahmayadi untuk dicalonkan. Bisa jadi Pak Edy Rahmayadi belum mengetahui kalau MK sudah memutuskan pada Agustus 2017 kemarin bahwa untuk menjadi kepala desa saja tidak harus dari penduduk desa setempat, apalagi untuk jabatan setingkat Gubernur.
Atau jangan-jangan ini bentuk kegelisahan seorang mantan Pangkostrad yang sadar kalau dirinya belum memiliki prestasi sebanyak dan sebaik lawannya?. Sehingga hanya bisa menonjolkan kelebihan dari sisi putra daerah saja untuk memunculkan fanatisme kedaerahan.
Harusnya saat sekarang ini, Edy Rahmayadi lebih fokus mempersiapkan program-program apa yang akan disampaikan oleh diri dan pasangannya saat kampanye nanti. Karena kampanye pilkada yang akan segera berlangsung adalah perang gagasan, perang ide, perang program. Bukannya mengungkit hal-hal yang berkaitan dengan primordialisme putera daerah atau bukan.
Menurut saya, daripada meladeni ucapan Edy Rahmayadi, Djarot dan Sihar serta pendukungnya lebih baik fokus untuk mempersiapkan dan mensosialisasikan program-program kampanye, karena kelak program-program itulah yang akan menentukan masa depan Sumut 5 tahun ke depan. Berbekal pengalaman beliau memimpin di Blitar dan DKI Jakarta, tentu bukanlah hal yang sulit untuk itu.
Program yang disampaikan haruslah program yang masuk di akal dan dapat diterapkan sesuai kondisi masyarakat Sumatera Utara. Jangan ulangi kebodohan 58% masyarakat Jakarta yang termakan oleh isu SARA dan dan janji muluk program-program tidak masuk akal saat Pilkada DKI kemarin, akhirnya terbukti programnya ngawur dan mentah, tidak ada satupun program yang bisa dilaksanakan 100 persen persis sesuai dengan janji saat kampanye.
Sedangkan isu soal asli putera daerah sendiri tidak akan efektif dan mudah dicounter. Walau putera daerah asli yang memimpin, tidak menjamin daerah tersebut pasti maju, terbukti Sumut sendiri sudah sering dipimpin oleh gubernur yang asli putera daerah, apa hasilnya? Meraih rangking nomor 1, propinsi terkorup se Indonesia? Atau meraih rangking nomor 1, kota terkorup se Indonesia?. Itu bukanlah prestasi, melainkan kemunduran yang memalukan dan menampar wajah masyarakat Sumatera Utara.
Semoga 2 kali dipimpin oleh Gubernur yang tertangkap KPK, bisa menjadi pembelajaran bagi warga Sumut, bahwa yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berkualitas seperti Djarot Saiful Hidayat, bukan pemimpin yang minim prestasi, terkesan arogan dan suka menonjolkan identitas kedaerahan yang dipilih.
Salam Joss
Sumut Bersih dan Sumut Sehat
Bersih dari perilaku korup dan sehat birokrasinya