Istilah Kafir dalam Agama Islam di artikan mereka yang menolak menjadi pengikut Islam dengan Muhammad sebagai Rasulnya. Sebutan golongan kafir kemudian menjadi istilah “internal” bagi kaum Muslim di masa penyebaran Agama Islam.
Di masa Islam sudah berkembang sedemikian luasnya, istilah kaum Kafir menjadi perdebatan panjang ketika di dunia ini terdapat juga agama-agama besar selain Islam. Istilah “internal” kaum Muslim kemudian menjadi istilah “eksternal” yang gencar di suarakan saat terjadi halusinasi kaum Muslim akan dihancurkan oleh Agama lain. Kata kafir-pun mudah dilontarkan saat terjadi kecemburuan sosial antara si miskin Muslim saat melihat si kaya non Muslim. Atau pada penolakan kaum mayoritas Muslim pada pemimpin non Muslim di wilayah plural demokrasi.
Para ulama NU sebagai organisasi Muslim terbesar di dunia mengeluarkan seruan menolak kata kafir yang diperuntukkan bagi mereka di luar agama Islam. NU mencermati istilah Kafir sudah ditunggangi kepentingan politik yang rawan melahirkan perpecahan dalam kerangka bernegara. Menuduhkan kafir semudah nge-like postingan di medsos. Tidak setuju dengan pandangan sesama muslim bisa di klaim kafir. Hingga barang perdagangan yang kita pakai sehari hari tidak lepas dari tuduhan kafir
Seruan yang bersifat himbauan tersebut sejatinya tanpa sangsi bagi yang tidak mengindahkannya. Bagi yang tetap meng-kafirkan seseorang di medsos, perhelatan demo, tabligh akbar atau media dakwah lainnya-pun tidak akan mendapat hukuman penjara atau cambuk. Bahwa Ulama NU sudah bersikap bijaksana dalam merespon fenomena kafir, itu menjadi upaya mempertahankan keretakan yang terjadi untuk tidak semakin melebar. NU yang sedang membentengi diri dari pengaruh “politisasi kafir” seolah ingin mengatakan jika ada warga Muslim yang menyebut kafir bisa jadi itu bukan dari warga NU.
Sedikit mengenang guyonan Gus Dur saat disebut kafir: “Mengapa mesti marah saat ada yang menuduh kafir, tinggal mengucap kalimat Syahadat saya sudah jadi Islam lagi. Gitu aja kok repot”.
Sebanyak apa orang mengatakan kita kafir, sebanyak itu pula kita mengucap kalimat Syahadat. Gus Dur menawarkan solusi akibat, sedangkan solusi sebabnya masih menjadi PR kita bersama.
Perdebatan tentang kafir ada pada ranah perbedaan yang tidak mudah untuk di satukan, hanya butuh jalan rukun beriringan. Bahwa kita semua dilahirkan untuk menjadi baik. Tumbuh dewasa dan ketika bertemu perbedaan kemungkinan akan menjadi lebih baik atau justru buruk.