Beberapa hari yang lalu, saya dikirimi sebuah screenshot oleh mentor saya, yakni berupa instruksi dari HTI melalui MCA-nya agar memperjuangkan Prabowo dengan segala cara untuk menjadi Presiden. Screenshot serupa sebenarnya sudah pernah saya terima dan baca beberapa bulan yang lalu, tidak hanya di FB, bahkan merambah hingga ke WAG.
Coba kita perhatikan screenshot di bawah ini.
Ada 4 poin yang dapat saya simpulkan, dan saya coba urutkan, yakni:
1. Hancurkan elektabilitas Jokowi, MUI dan NU
2. Tidak perlu memperdebatkan/mempersoalkan keIslaman Prabowo
3. Kesempatan terakhir sudah tidak ada sama sekali
4. Agar Pejuang Khilafah dapat berdiri kembali
Untuk poin yang pertama, saya tidak akan bahas panjang lebar lagi karena kita sudah tahu dengan jelas betapa dendamnya HTI terhadap Jokowi yang sudah membubarkan organisasi radikal tersebut. Serta betapa bencinya HTI terhadap NU yang dianggap menjadi penghalang bagi mereka untuk mendirikan negara khilafah di Indonesia.
Nah yang kedua, hal ini cukup aneh menurut saya. Dimana ada himbauan jangan memperdulikan ke-Islaman seorang calon pemimpin negara, SEMENTARA KUBU MEREKA MENYANGSIKAN KEISLAMAN PRESIDEN YANG SUDAH JELAS KEISLAMANNYA. Hal ini bisa terjadi hanya jika organisasi radikal tersebut sejak awal memang tidak ada niat untuk mendukung Prabowo sebagai Presiden, selain hanya untuk memperalat saja.
Poin yang ketiga mencerminkan betapa frustasinya mereka karena melihat PILPRES 2019 ADALAH KESEMPATAN TERAKHIR. DAN KITA SEBAGAI RAKYAT INDONESIA, WAJIB MENUTUP KESEMPATAN INI RAPAT-RAPAT.
Poin terakhir membongkar kedok mereka sendiri bahwa tujuan utamanya selama ini adalah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, menghapus Pancasila dan UUD45, serta menggantinya dengan idelogi yang mereka perjuangkan, yakni sistem Khilafah. JADI JELAS DI BELAKANG PRABOWO-SANDI ADA KHILAFAH!!!
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semudah itu? Boleh saja para radikalis itu mencoba menunggangi Prabowo, namun analisa saya menunjukkan bila Prabowo tidak sebodoh yang disangka.
Ada beberapa indikasi yang menunjukkan hal tersebut, satu yang paling utama adalah keberanian Prabowo untuk menentang keputusan Itjima Ulama I yang awalnya merekomendasikan Ustad Somad atau Salim Segaf Al-Jufri sebagai pendamping Prabowo. Terpilihnya Sandiaga Uno menjadi cawapres serta kemampuannya memaksa para ulama versi mereka untuk melakukan Itjima Ulama part 2 dan menyetujui keputusannya. Hal ini menunjukkan Prabowo memiliki bargaining power yang lebih kuat.
Indikasi kedua adalah soal kursi wagub DKI yang kosong hingga saat ini. Walaupun PKS berkali-kali berusaha mengisi kekosongan kursi tersebut, namun dari Gerindra sendiri terkesan sengaja tarik ulur tidak rela melepas posisi wagub DKI untuk PKS. Sebuah upaya sengaja dengan tidak memberi tempat bagi PKS untuk menduduki kursi Wagub DKI kah? Masuk akal.
Bisa jadi dalam angan-angan ormas radikal khilafah itu sendiri. Mengharapkan dengan menangnya Prabowo, maka organisasi mereka akan dipulihkan kembali, konsolidasi pun dilakukan. Penyusupan ke berbagai institusi pemerintah, masjid-masjid akan semakin ditingkatkan dengan harapan sebelum pilpres 2024 mereka sudah bisa melakukan makar untuk menumbangkan Prabowo. Karena terlalu riskan bila harus menunggu pilpres sekali lagi, mengingat posisi mereka yang semakin terjepit, terutama di timur tengah maupun dunia internasional.
Apalagi perlu diingat bila hasil analisa berbagai lembaga survey menunjukkan PKS terancam tidak lulus Parlementary Thresshold. Padahal yang memiliki ideologi paling mendekati ideologi khilafah adalah ideologi ikhwanul muslimin yang dianut oleh PKS saat ini. Bila sampai PKS tidak lulus PT, maka para pengasong khilafah akan kehilangan perwakilannya di dunia politik. Itu sebabnya mereka mengistilahkan pilpres kali ini adalah “kesempatan terakhir” untuk mereka.
Apakah dengan naiknya Prabowo akan merupakan kemenangan bagi para pengasong khilafah tersebut? Jawabannya iya, kemenangan, namun kemenangan semu. Karena Prabowo sendiri tidak mungkin tidak menyadari ambisi para radikalis yang mau memanfaatkan dirinya. Apalagi perlu di ingat bahwa di belakang Prabowo ada 2 kekuatan besar, yakni Hasyim yang mewakili kapitalis barat dan Keluarga Cendana yang sama berambisinya ingin mengembalikan Indonesia ke masa orba.
Bila saat ini antara para radikalis, orba dan kapitalis barat bisa bersatu karena mereka menghadapi musuh yang sama, yakni Jokowi. Namun pada dasarnya ketiga kekuatan itu ibarat minyak dan air, sama sekali bertolak belakang dan tidak bisa bersatu. Kapitalis dengan orba mungkin masih sejalan dan memiliki titik kompromi. Namun gabungan kapitalis dan orba tidak mungkin sejalan dengan kaum radikal.
Ketidaksukaan Prabowo walau tidak secara terang-terangan terhadap ormas radikal, sudah tercium sejak lama. Pada tanggal 6 Juni 2014 yang lalu misalnya, Hashim Djodjohadikusumo pernah terang-terangan mengatakan “FPI tidak akan pernah menjadi bagian dari koalisi,”
“Saya Kristen. Kakak perempuan saya Katolik. (Dan) Prabowo sudah berjanji kepada kami. Kita memang harus melakukan kompromi-kompromi taktis, tetapi kita tidak akan berkompromi dalam menjaga dan mempertahankan Pancasila,” ujar adik Prabowo ketika itu. Memang benar, HTI bukanlah FPI, namun bila terhadap ormas semacam FPI saja, Hashim sudah menunjukkan ketidaksukaannya, apalagi terhadap ormas radikal semacam HTI?
Dan kemarin, tanggal 27 Januari 2019. Lagi-lagi pernyataan yang sama kembali disampaikan oleh Hashim dengan menegaskan kakaknya memiliki jiwa yang 1.000 persen Pancasila.
“Saya mewakili paslon nomor 2 saya diundang oleh persekutuan gereja-gereja PGI, untuk memberikan paparan visi-misi Prabowo. Jaminan Pancasila di bawah pimpinan Prabowo. Saya katakan 100%, bahkan 1.000% Pancasila akan tetap dipertahankan Prabowo, Prabowo sebagai prajurit TNI sudah lebih dari 25 tahun sebagai tentara, saya kira sudah tidak diragukan,” kata Hashim di Gedung Bhayangkari, Jalan Senjaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Lantas kenapa di tahun 2014, Hashim berani terbuka mengungkapkan ketidaksukaannya, sementara di 2019 ini malah terkesan merangkul kaum radikal? Karena di tahun 2014 yang lalu, Hashim masih tampil percaya diri. Siapa sih Jokowi ketika itu? Hanya seorang tukang kayu yang ingin melawan mantan Jenderal yang sudah berpengalaman. Namun perhitungannya meleset saat Jokowi berhasil memenangkan perhitungan suara.
Belajar dari kekalahan tersebut, kini Hashim melalui Prabowo merangkul kaum radikal. Bila kaum radikal semacam HTI berfikir dengan kemenangan Prabowo maka organisasi HTI akan hidup kembali dan melaksanakan agenda makarnya sebelum pilpres 2024. Maka Hashim dan kelompok orba justru berpikir bagaimana melenyapkan kelompok radikal begitu Prabowo berhasil memenangkan tampuk kekuasaan.
Sedangkan Prabowo sendiri dapat dipastikan akan lebih berpihak ke adiknya dan orba daripada ke pengasong khilafah. Hal ini pernah diakui sendiri oleh Prabowo saat memperkenalkan Sang Adik dalam kampanye rapat umum di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Selasa 31 Maret 2009.
“Dia (Hashim) adalah otak di belakang Gerindra. Saya hanyalah wayang untuk mengabdi kepada saudara-saudara!” seru Prabowo ketika itu.
Sehingga tidak ada alasan bagi Prabowo kenapa dia harus menghidupkan HTI kembali, kalau seandainya dia berhasil menang. Apalagi melakukan hal itu, sama dengan upaya bunuh diri.
Bisa jadi untuk tahun pertama, penolakannya masih tidak bersifat terbuka, selain menggunakan taktik tarik ulur terhadap permintaan HTI agar organisasinya dihidupkan kembali.
Tapi bila dirasa posisinya sudah kuat, cara-cara represiflah yang akan diterapkan. Perlu kita ingat bahwa Prabowo itu mantan menantu Soeharto, seorang penguasa yang sudah berpengalaman membungkam pihak-pihak yang kritis maupun organisasi garis keras di masanya. Mengingat latar belakang Prabowo yang juga dari militer, tentu bukan hal yang sulit bila cara-cara mantan mertuanya diadopsi oleh Prabowo untuk membungkam HTI
Prabowo bukanlah pribadi yang bisa bersabar dan mengalah seperti Jokowi. Emosinya yang meledak-ledak dibuktikannya dengan melecehkan insan pers karena tidak memuat peserta reuni sebesar 11 juta seperti keinginannya beberapa waktu yang lalu. Belum lagi aksinya menggebrak meja di hadapan para ulama ketika ke-Islamannya dipertanyakan.
Menilik sifatnya yang emosional, Prabowo lebih cenderung memakai hard power untuk menekan ormas-ormas yang berbeda kepentingan dengan dirinya. Hal ini tentu berbeda dengan Jokowi yang berlatar belakang sipil. Alih-alih mengandalkan hard power, Jokowi lebih mempercayai pendekatan secara soft power.
Perhatikan saja orang-orang yang dulu mati-matian mengkritisi kebijakannya, satu persatu berhasil dirangkul kembali. Bahkan ormas sekelas HTI yang jelas-jelas sudah ditetapkan sebagai ormas terlarang pun, tokoh-tokohnya masih bisa bebas berkeliaran.
Bukan berarti ormas radikal diberikan ruang oleh pemerintah saat ini. Hanya ada 2 pilihan untuk ormas radikal semacam HTI dan sejenisnya, kembali kepangkuan NKRI, setia kepada Pancasila dan UUD45 atau menyingkir dari Indonesia.
Apalagi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj sendiri sudah meminta kader-kader NU untuk mengambil peran lebih besar di tengah masyarakat. Termasuk di Pilpres 2019 ini.
“Agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, Pak Menteri Agama, harus dari NU, kalau dipegang selain NU salah semua,” ujar Said Aqil di GBK, Jakarta, Minggu 27 Januari 2019 di Acara Harlah Muslimat NU kemarin.
Dapat dipastikan ormas-ormas radikal beserta pengikutnya semakin ke depan akan semakin terjepit dan terancam punah dari Indonesia.
Pada akhirnya, siapapun yang menang, HTI dan pendukung radikalnya tetap akan tersingkir dari Ibu pertiwi.