Saat Djoko Santoso berpidato dalam acara #Bising (Bincang Asik dan Penting) oleh Gerakan Milenial Indonesia (GMI) di Kota Malang, Minggu 13 Januari 2019 kemarin. Djoko Santoso pun menyampaikan, salah satu potensi kecurangan dalam Pemilu 2019 adalah diperbolehkannya penyandang disabilitas mental atau tuna grahita untuk menggunakan hak pilihnya.
“Karena memang ini sudah luar biasa. Masak orang gila suruh nyoblos,” katanya.
“Tuhan saja tidak memberi tanggung jawab kepada orang gila. Masak kami memberi tanggung jawab nyoblos,” imbuhnya.
Djoko pun menyampaikan akan mendukung Prabowo Subianto jika benar mengundurkan diri dari kontestasi pilpres meskipun ada ancaman pidana.
Rasa penasaran membuat saya menelusuri lebih lanjut terkait orang gila yang diperbolehkan untuk menyoblos. Penelusuran saya menemukan berita di salah satu media, bahwa ternyata orang yang mengalami disabilitas mental sudah ikut memilih sejak pilpres tahun 2014.
Setidaknya ada 3 landasan hukum yang memperbolehkan penyandang disabilitas mental untuk memilih. Yakni Undang-Undang (UU) No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU No 42/2012 tentang Pemilu Presiden. Dalam kedua UU itu disebutkan bahwa peserta pemilu adalah warga negara yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah.
Kemudian ada juga Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang diratifikasi Indonesia melalui UU No 19/ 2011. Di dalamnya dengan tegas menyatakan bahwa penyandang disabilitas (termasuk penderita disabilitas mental) mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain dalam kehidupan bernegara, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.
Landasan pendukung lainnya adalah putusan Mahkamah Konstitudi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang mengakomodir orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tetap memiliki hal pilih.
Bila kita lihat kembali tahun disahkannya UU tersebut, yakni UU No 8 dan 42, disahkan tahun 2012 dan UU No 19, disahkan tahun 2011. Artinya semua UU itu dibuat sebelum era pemerintahan Jokowi.
Malah di masa pemerintahan Jokowi, dikeluarkan UU No. 8/2015 yang salah satu frasanya berbunyi “Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” tercantum dalam pasal Pasal 57 Ayat 3 huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015.
Namun putusan MK No. 135 tahun 2015 justru menyatakan Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum“. Dengan kata lain, orang yang memiliki gangguan jiwa/ingatan tetap memiliki hak pilih, terkecuali yang bersifat permanen.
Kesimpulannya, dari pihak petahana sendiri pada dasarnya juga tidak menyetujui adanya hal pilih untuk penyandang disabilitas mental, namun kelompok petahana memilih untuk mematuhi UU yang sudah diputuskan oleh MK.
Sementara di pihak oposisi, terkesan tidak terima bahkan menggiring opini seakan-akan hak pilih untuk penyandang disabilitas mental menguntungkan petahana.
Padahal kalau kita merujuk pada berita di pilpres 2014 yang lalu, pihak oposisi sebenarnya malah diuntungkan oleh penderita disabilitas mental/pikiran yang cenderung memilih pasangan Prabowo-Hatta ketika itu.
Beberapa diantaranya adalah kemenangan telak pasangan Prabowo-Hatta di TPS khusus rumah sakit jiwa (RSJ) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada pelaksanaan Pilpres 9 Juli lalu.
Di Bali, pasangan tersebut malah disebut-sebut menjadi idola di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali, dan lagi-lagi menang telak.
Meskipun saya tidak mendapatkan sumber atau berita tentang total keseluruhan perolehan suara untuk RSJ di seluruh Indonesia, namun dari dua contoh di atas kita dapat melihat kuatnya ikatan antara si pemilih dan yang dipilih. Saya tidak akan terkejut bila seandainya di kemudian hari KPU merilis data yang menyebutkan Prabowo mengantongi 80-85 persen suara untuk total seluruh RSJ di Indonesia. Bisa jadi bukan?
Dan kalau menilik kembali apa yang disampaikan Djoko Santoso di atas, saya rasa Djoko Santoso tidak serius ketika mengatakan potensi kecurangan salah satunya adalah orang gila yang diperbolehkan untuk menyoblos. Apalagi dia juga tahu kalau memasuki masa pemilu ini, tidak memungkinkan KPU untuk mengubah peraturan yang sudah ditetapkan.