“Kita memilih bukan untuk memilih yang bagus betul, tapi menghindari orang jahat untuk pimpin negara. Oleh sebab itu rakyat harus memilih,” (Mahfud MD)
Berbicara soal kenapa seseorang memilih untuk golput, tentu ada 1001 alasan yang melatarbelakanginya. Namun alasan terbesar adalah karena sikap apatis. Kenapa apatis? Bisa jadi calon memilih merasa calon yang akan dipilih tidak sesuai harapannya atau merasa siapapun yang dipilih keadaan akan tetap sama. Bisa jadi juga karena rasa malas, menganggap calon yang dijagokannya sudah pasti menang, jadi bertambah satu suara atau berkurang satu suara pun tidak masalah.
Tentu saja pemikiran demikian kurang tepat, kebijakan pemerintahan tidak akan lebih baik bila kita memutuskan golput, bahkan seandainya ada 90 persen penduduk yang memutuskan golput dan hanya 10 persen yang ikut pemilu, hasil yang 10 persen itu tetap dianggap sah menurut UU. Dimana pemenang pemilu berhak menjadi presiden dan membuat kebijakan yang harus diikuti dan mempengaruhi 90 persen yang memilih golput tadi. Dengan kata lain meski golput meraih suara terbanyak namun tidak akan pernah menang dan tidak akan berkuasa.
Pemilu di Amerika Serikat pada tahun 2016 lampau mungkin bisa menjadi pelajaran terbaik yang dapat kita lihat. Ketika itu Terdapat sekitar 231 juta orang warga AS yang memenuhi syarat untuk memberikan suara mereka dalam pemilu. Namun setengah di antaranya memilih untuk ‘golput‘ dalam pilpres 2016 atau dengan kata lain hanya sekitar 131 juta orang yang berpartisipasi atau sekitar 55 persen saja.
Setelah pemilu selesai, perhitungan suara menunjukkan bahwa pemenang sesungguhnya adalah Golput yang mencapai 45 persen. Sedangkan sisanya sebanyak 55 persen terbagi hampir sama rata antara Hillary dan Trump. Trump hanya unggul tipis dari Hillary dalam perhitungan Electoral Vote (EV).
Setelah terpilih, barulah kalangan golput menyesali bahwa keputusan mereka membuat orang yang paling tidak mereka suka berkuasa. Namun semuanya sudah terlambat. Walaupun hanya memperoleh suara tidak sampai 30 persen dari seluruh penduduk Amerika Serikat yang memiliki hak pilih, toh Trump tetap dilantik menjadi presiden Amerika Serikat.
Setelah menjadi presiden Amerika Serikat, Trump pun terbukti mengeluarkan berbagai kebijakan serampangan dan kontroversialnya yang dirasakan merugikan rakyat Amerika sendiri. Demo-demo dan protes yang dilancarkan oleh rakyat Amerika juga berbuah sia-sia.
Bahkan dengan nada menertawakan dan mengejek para pemilih Golput. Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump berterima kasih kepada warga keturunan Afrika-Amerika Serikat karena tidak memberikan suara saat pemilihan presiden kemarin.
Saya hanya bisa berharap, hal yang sama tidak terjadi di Indonesia. Bagi saya golput itu merupakan cermin ketidakdewasaan pemilih itu sendiri. Saat diberi kesempatan untuk menentukan masa depan bangsa, mereka malah menolak hak dan kewajibannya tersebut. Namun saat yang terpilih tidak sesuai harapan, baru ngeluh panjang pendek, ngedumel sana-sini, mirip seperti anak kecil yang cari perhatian.
Bagi pembaca yang golput tentu akan protes membaca tulisan saya di paragrap atas, bisa jadi Anda akan bilang, “lho kalau tidak ada yang sesuai, masa harus dipaksa?“, “lho kalau kandidat yang tersedia buruk di mata saya, masa harus dipilih?“. Apa Anda yakin bahwa kandidat yang ada, tidak sesuai dengan harapan Anda dan buruk seperti yang anda sebutkan?
Apa Anda sendiri sudah mencari tahu track record masing-masing kandidat? Bila belum mencari tahu namun sudah berprasangka buruk bukankah hal tersebut tidak baik?
Beruntunglah bagi kita yang hidup di jaman teknologi canggih ini, bila Pemilu dilaksakanan 15 atau 20 tahun yang lalu, sulit bagi kita mencari track record masing-masing kandidat. Kini, dengan hanya menggerakkan jempol, segala informasi bisa kita dapatkan dengan mudah. Jejak digital bertebaran dimana-mana, semuanya dapat kita telusuri.
Bukan berarti semua berita dapat kita telan bulat-bulat karena tidak sedikit pula berita-berita hoax yang mengandung informasi palsu berseliweran di dunia maya. Kuncinya adalah biasakan mencari berita melalui media-media mainstream yang lebih terjamin keakuratannya. Selain itu cari pembandingnya, jangan mudah percaya terhadap sebuah berita, lakukan cek dan ricek.
Untuk petahana, kita dapat mencari apa saja hasil kerjanya selama ini, apa yang sudah dia lakukan selama menjabat, apa yang sudah dia bangun selama menjadi presiden, kepedulian apa yang dia tunjukkan terhadap rakyat yang dipimpinnya selama ini. Termasuk rakyat yang hidup di daerah terpencil, daerah pedalaman, daerah perbatasan sana yang sejak Indonesia merdeka terabaikan, tersisihkan bahkan hampir tidak terjamah pembangunan.
Sementara bagi calon lainnya, dapat kita cari berita tentang sepak terjangnya selama menjabat jabatan tertentu. Ataupun bila dia adalah ketua umum sebuah partai, kita bisa mencari apa saja yang dilakukan oleh kader-kader partainya yang selama ini duduk sebagai wakil rakyat, apakah calon tersebut suka berpidato menakut-nakuti masyarakat, suka menyebar pesimisme, suka berbicara tanpa data, cenderung menyampaikan berita hoax? Semua itu dapat kita jadikan pertimbangan untuk diri kita sendiri.
Dari hasil tersebut barulah kita berhak menyebut baik buruknya calon yang ada. Bila merasa kandidat yang ada adalah yang terbaik, maka pilihlah yang terbaik dari yang terbaik. Sementara bila merasa kandidat yang ada tetap buruk, carilah yang terbaik dari yang terburuk.
Satu hal yang perlu kita ingat, tidak memilih itu bukanlah solusi, itu sama saja dengan kita menghindari tanggung jawab. Bukan saja tanggung jawab kepada negara dan bangsa ini, namun juga tanggung jawab kepada diri kita sendiri, keluarga maupun anak cucu kita kelak. Karena kebijakan yang akan diambil oleh pemimpin terpilih kelak, suka tidak suka, mau tidak mau, akan berefek kepada kita semua.
Masihkah Anda berpikir golput itu adalah sebuah solusi? Pikirkan kembali.