Ungkapan politik genderuwo disampaikan Presiden Jokowi saat pidato pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah hari ini. Dalam kesempatan itu, dia menyebut saat ini banyak politikus yang pandai memengaruhi. Banyak yang tidak menggunakan etika dan sopan santun politik yang baik.
“Coba kita lihat politik dengan propaganda menakutkan, membuat ketakutan, kekhawatiran. Setelah takut yang kedua membuat sebuah ketidakpastian. Masyarakat menjadi, memang digiring untuk ke sana. Dan yang ketiga menjadi ragu-ragu masyarakat, benar nggak ya, benar enggak ya?” katanya.
Politikus yang menakut-nakuti itulah yang dia sebut sebagai politikus ‘genderuwo‘.
“Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Nggak benar kan? itu sering saya sampaikan itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti,” tegasnya.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding, lalu menafsirkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal ‘politik genderuwo‘. Karding menduga ucapan itu ditujukan salah satunya ke capres nomor urut 2, Prabowo Subianto.
“Politik itu semestinya buat politik itu tenang, nyaman, bergembira, dan senang hati mendapatkan pendidikan. Itu yang disindir oleh Pak Jokowi. Jadi kalau… Pak Prabowo sering melontarkan pesimisme, pernyataan yang agitator dan propagandis terkait hal-hal yang menakutkan,” kata Karding kepada wartawan, Jumat 9 November 2018.
“Mungkin salah satu yang disebut, yang dimaksud salah satunya Pak Prabowo,” sambungnya.
Selain itu, Karding menyebut politikus yang menebar ketakutan dalam berpolitik adalah yang dimaksud dengan ‘politik genderuwo’. Menurutnya, Jokowi sedang mengajak masyarakat memiliki optimisme.
“Rakyat mesti diberi pendidikan politik, mesti diberi pernyataan-pernyataan yang bisa dicerna oleh akal sehat sesuai dengan adat kebudayaan kita dan tentu memiliki makna optimisme ke depannya,” ucap politikus PKB ini.
Ketua DPP Partai Hanura Inas Nasrullah Zubir juga turut angkat bicara, dirinya mengatakan, akhir-akhir ini, di dunia perpolitikan Indonesia, ada sosok genderuwo yang bermunculan. Mereka menghasut, membohongi, dan menakut-nakuti rakyat.
“Muncul beberapa genderuwo yang kerjaannya menghasut, membohongi, dan menakut-nakuti rakyat. Tapi bedanya genderuwo yang ini pengen banget ganti presiden, malahan ada (genderuwo) yang pengen banget jadi presiden,” ujarnya.
Benarkah politikus Genderuwo salah satunya adalah Prabowo seperti yang disebut Abdul Kadir Karding dan diisyaratkan oleh Inas?
Untuk mengetahuinya tentu kita harus mengetahui pidato apa saja yang pernah disampaikan oleh Prabowo.
Pada 19 Maret 2018, misalnya, Prabowo mengutip Ghost Fleet, novel besutan ahli strategi AS, PW Singer. Saat itu Prabowo menyebut Indonesia diramalkan bubar pada 2030. Dengan mengatakan itu, Prabowo hendak membangun persepsi bahwa Indonesia berada dalam ancaman bubar.
Saat berkunjung ke Depok, Jabar, Prabowo juga pernah mengatakan ada 1% rakyat Indonesia yang menguasai hampir 40% kekayaan Indonesia. “Lebih parah lagi, 1% orang Indonesia menguasai 80% tanah Indonesia. Ini adil, tidak?” Melalui pidatonya tersebut Prabowo terkesan hendak membangun persepsi bahwa Indonesia mengalami krisis keadilan dalam hal distribusi tanah.
Sedangkan pada 31 Maret 2018, saat berpidato di Cikampek, Jawa Barat, dengan berapi-api dia mengecam para elite sebagai kelompok yang tidak setia kepada rakyat. Prabowo dalam hal ini hendak menghadap-hadapkan atau mengadu domba antara elite dengan rakyat.
Atau pidatonya yang menyebutkan adanya kekayaan Indonesia yang mengalir ke luar negeri dengan mencontohkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang pernah mengatakan kerugian negara sebesar Rp 2.000-3.000 triliun di sektor perikanan.
Pidato yang disampaikan oleh Prabowo tersebut kemudian dibantah oleh Susi.
“Kerugian itu kan sebelum Pak Jokowi. Justru setelah Pak Jokowi tidak,” kata Susi ketika itu. Menurut Susi, justru di era Jokowi dan di bawah kepemimpinannya di Kementerian Kelautan dan Perikanan, sektor perikanan terus tumbuh.
Belum lagi termasuk pidatonya yang menyebutkan 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan serta pidato keinginannya untuk Stop Impor yang semuanya berdasarkan data ngawur dan asal kutip. Hal ini sudah pernah saya jelaskan seperti link di bawah ini.
https://www.Indovoices.com/politik/gerindra-bingung-cari-pembenaran-saat-prabowo-ngawur-sebut-99-persen-rakyat-hidup-pas-pasan/
https://www.Indovoices.com/ekonomi/prabowo-cuap-cuap-stop-impor-timsesnya-kelabakan-ralat-ucapannya-sontoloyo/
Cara-cara pidato Prabowo tersebut bahkan dianggap meniru atau mirip dengan cara yang digunakan oleh Donald Trump saat melakukan kampanye pilpres Amerika Serikat yang lalu.
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik Muhammad Qodari, “Beliau punya strategi membangun ketakutan, pesimisme mengenai situasi dan kondisi Indonesia hari ini maupun di masa yang akan datang, dengan asumsi mereka-mereka yang takut dan pesimistis mengenai kondisi sekarang dan akan datang bakal lari ke dia, mendukung dia, dan tidak mendukung yang sekarang ini (Jokowi),” tutur Qodari.
Dalam gaya politik populis semacam itu, Prabowo mengabaikan data dan fakta. Tujuan utamanya adalah membangun persepsi di benak publik bukan berdasarkan kebenaran, melainkan berdasarkan fiksi dan imajinasi.
Dengan demikian akan terbangun anggapan di benak rakyat bahwa pemerintahan saat ini gagal. Tujuan akhirnya apa lagi bila bukan terkereknya elektabilitas? Bahwa cara mencapai tujuan itu dianggap melanggar nilai-nilai, itu juga tidak penting. The end justifies the mean.
Gaya berpolitik semacam ini tentu saja sangat berbahaya, karena yang dikedepankan adalah penggiringam opini tanpa berbasiskan data. Dan bila ada pun data tersebut sudah dipelintir sedemikian rupa. Banyak pakar yang kemudian berpendapat populisme tak pelak menjadi ancaman nyata bagi demokrasi.
Jadi tidak heran bila Capres Nomor 1 Jokowi sangat geram dan menyebutkan saat ini banyak politikus yang pandai memengaruhi. Banyak yang tidak menggunakan etika dan sopan santun politik yang baik.
Bagaimana mau punya etika dan sopan santun yang baik? Bila pidato yang disampaikan lebih sering menakut-nakuti rakyat, suka mengancam maupun mengadu domba, bahkan sering dengan sengaja menggunakan data yang keliru, sampai-sampai timsesnya kelabakan mencari berbagai alasan dan pembenaran.
Pada akhirnya, semua berpulang kepada rakyat, apakah rakyat Indonesia mau ‘diancam-ancam’ begitu saja dengan ketakutan melalui retorika yang mengabaikan data dan fakta? Apakah rakyat Indonesia mau dijanjikan hal-hal yang tidak masuk akal yang bahkan dia sendiri pun bingung bagaimana cara merealisasikannya?
Jangan sampai rakyat Indonesia nanti terkaget-kaget mendapatkan pemimpin genderuwo yang sontoloyo seperti terkaget-kagetnya rakyat Amerika ketika melihat Trump.