Jika kita memperhatikan perubahan Jakarta lima tahun belakangan ini, semestinya warga Jakarta boleh berbangga. Lima tahun kerja estafet Jokowi-Basuki-Djarot, mereka seperti mendapatkan chemistry, sangat kompak, sehati sepikir sejiwa menggenjot pembenahan tata kota di Jakarta. Pergub dan Perda yang diterbitkanpun betul-betul mendukung dan memastikan lancarnya pembangunan kota, dan nyatanya menghasilkan perubahan yang sangat signifikan untuk Jakarta.
Tiga serangkai Jokowi-Basuki-Djarot secara fenomenal menyulap Kota Jakarta. Lihat saja seperti apa sekarang Waduk Ria-Rio, Waduk Pluit, dari hamparan Eceng gondok dan pemukiman super kumuh yang mengenaskan, kini menjadi tempat nagkring kekinian kaum urban, tempat warga bercengkerama melepas penat sepulang kerja maupun tempat berkumpul keluarga di akhir pekan. Normalisasi dan penjernihan kali Ciliwung sudah mulai memperlihatkan hasil yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Dibeberapa titik sungai malah sudah bisa dibuat anak-anak dan ikan berenang. Sungguh mengagumkan, angkat topi buat Jokowi-Ahok-Djarot.
Revitalisasi Kota Tua dan Kampung Aquarium sebagai paket wisata Bahari, Pemugaran Makam Mbah Priok sebagai pusat wisata religi, pusat pelacuran Kalijodo yang diubah menjadi RPTRA kelas Internasional, penataan Kawasan Monas serta hidup kembalinya air mancur menari yang sempat mati suri, Ratusan RTH dan RPTRA ditiap kelurahan, Revitalisasi Lapangan Banteng mejadi taman dan stadion betaraf internasional, ditunjang dengan Busway, bus tingkat pariwisata gratis, serta LRT dan MRT yang segera beroperasi, sejatinya Jakarta diambang puncak kejayaannya.
Namum sayang seribu sayang, pekerjaan belum selesai mereka harus lengser untuk digantikan Gubernur terpilih Anies Baswedan- Sandiaga Uno. Alih-alih melanjutkan mahakarya pemerintah sebelumnya, belum satu bulan menjabat, kebijakan Anies sandi justru menghambat kemajuan sektor pariwisata Jakarta. Lima tahun Jokowi-Ahok-Djarot menggeber Jakarta, secercah harapan kota ini lestari malah kini terancam “punah” ditangan Anies-Sandi Uno.
Lima perda sekaligus siap diubah. Dan celakanya, kelima-limanya mengancam sektor pariwisata Jakarta. Dengan dalih keberpihakan dan menolak diskriminasi, Anies merelakan keteraturan jakarta untuk kembali ber-semrawut ria. Sangat ironis, saat daerah-daerah lain getol mengembangkan pariwisata sebagai sarana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, Jakarta yang menjadi ibukota negara malah “melipir mundur teratur”. Sangat-sangat Menyedihkan!
Beberapa Gubernur, Bupati dan Walikota misalnya berlomba-lomba mempermak daerahnya masing-masing. Purwakarta, Jawa Barat misalnya, ditangan Kang Dedi Mulyadi membuat Taman Air Mancur Sri Baduga yang ikonik. Gunungkidul, Yogjakarta bangkit dengan “ditemukannya” puluhan pantai tersembunyi. Banyuwangi, Jawa Timur tengah menggeliat dengan festivalnya yang sudah menjangkau dunia internasional. Potensi NTB juga sudah menemui titik terang dengan pembangunan Kawasan wisata dan sirkuit balap internasional Mandalika. Danau Toba, Sumatera Utara seperti “terlahir kembali” seiring beroperasinya Bandara Silangit.
Gencarnya Presiden Jokowi membangun infrastruktur di hampir seluruh wilayah di Indonesia betul-betul dimanfaatkan oleh kepala daerah. Jokowi sadar bahwa kekayaan alam adalah anugerah Tuhan yang patut disyukuri dan diberdayakan. Untuk meningkatkan jumlah wisatawan tidak ada jalan lain selain pembenahan infrastruktur yang memadai.
Bagaimana dengan Kota Jakarta? Nampaknya jalan ditempat bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran. Dengan revisi sejumlah Perda, eksistensi Pariwisata Jakarta terancam. Dengan alasan menolak diskriminasi, motor siap kembali menyerbu seluruh ruas jalan Ibu Kota. Trotoar sebagai sahabat pejalan kaki pun akan dikondisikan supaya ramah bagi sepeda motor, sudah begitu trotoar akan dijadikan panggung pameran kebudayaan dan kontes atlet berprestasi. Bagaimana mungkin? Hotel Alexis “disuntik mati” dengan tidak diperpanjang ijinnya dan malah hanya akan diubah namanya menjadi Al-ikhlas. Sungguh kebijakan yang sulit dipahami. Saya benar-benar tidak habis pikir dengan kinerja Gubernur Anies dan wakilnya Sandiaga Uno.
Mari kita perhatikan sejumlah Perda yang siap direvisi :
Pergub pertama, Pergub Pelarangan Motor. Larangan sepeda motor yang melintas di Jalan Sudirman-Thamrin hingga ke Medan Merdeka Barat diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 141/2015 tentang Perubahan atas Pergub 195/2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor. Ditengah usaha Pemda “memaksa” pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan transportasi masal, justru kini peraturannya direvisi. Ditambah dengan naiknya ongkos Busway menjadi 5000 rupiah, moda transportasi andalan warga DKI karya bang Yos itu nampaknya akan segera ditinggalkan pelanggannya.
Peraturan kedua yang akan direvisi Gubernur Anies adalah Pergub Nomor 25/2017 tentang Pengendalian Lalu Lintas dengan Pembatasan Kendaraan Bermotor Melalui Sistem Jalan Berbayar atau Electronic Road Pricing. Dalam Pergub itu, tertulis aturan larangan sepeda motor pada ruas jalan yang dikenakan sistem ERP. Dengan revisi, otomatis sepeda motor akan bebas kembali “menjajah” seluruh sudut Ibukota yang sangat mungkin menambah pelik masalah kemacetan di Jakarta.
Revisi Pergub ketiga yang akan dilakukan Anies adalah Pergub 148/2017 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Reklame. Pergub tersebut mewajibkan agar reklame hanya boleh berupa LED. Hal itu bertujuan untuk mencegah angka kecelakaan akibat reklame yang rubuh. Terobosan ini akankah mundur kembali ?
Pergub keempat, peraturan Gubernur 36 tahun 2014 yang memuat penataan Kota Tua termasuk di dalamnya penataan Museum Bahari dan Masjid Luar Batang. Niat penggusuran Kampung Akuarium dan Pasar Ikan untuk penataan cagar budaya yang berpotensi menarik kunjungan wisatawan, justru Anies akan kembali mendirikan hunian warga. Saya menduga itu dilakukan karena Gubernur Anies tersandra janji kampanye saat Pilkada lalu. Sungguh sangat disayangkan, atas nama keberpihakan, Anies mengorbankan kepentingan yang lebih besar.
Yang Kelima yaitu SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 150 Tahun 1994 tentang Penataan Penyelenggaraan Reklame di Kawasan Taman Medan Merdeka (Monumen Nasional) serta SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame Dalam Bentuk Baliho, Umbul-Umbul, dan Spanduk di DKI Jakarta, juga akan diubah. Hal ini untuk mengakomodir masyarakat yang ingin menyelenggarakan kegiatan keagamaan dikawasan Monas. Mungkin Jadwal Monas akan penuh oleh pengajian, tablig Akbar, atau KKR ataupun ritual ibadah agama lain. Esensi Monumen Nasional sebagai Taman kota tak lagi sesuai dengan rancangan awal didirikannya.
Lengkap sudah. Revisi Perda dalam balutan keberpihakan dan janji kampanye, pemerintahan Anies- Sandi mengabaikan kesinambungan pembangunan kota Jakarta. Asian Games 2018 semestinya menjadi ajang kita untuk tebar pesona kepada negara-negara peserta akan kemajuan dan potensi wisata di Indonesia khususnya Jakarta dan Palembang yang menjadi tempat digelarnya perhelatan olahraga terbesar se-Asia tersebut. Tapi kini justru digadaikan oleh Gubernur terpilih.
100 hari kepemimpinan Anies-Sandi, selamat tinggal Jakarta Baru!
Selamat datang, kesemrawutan!
Referensi : http://news.liputan6.com/read/3160277/belum-sebulan-menjabat-anies-akan-ubah-5-pergub