Oleh Adelia Pratiwi, Secondee BKF pada Bank Dunia Indonesia
Indovoices.com – Di tengah tingginya risiko perekonomian global, kinerja perekonomian Indonesia masih dapat dijaga. Indikator perekonomian utama seperti aktivitas dunia usaha, menunjukkan performa yang terjaga meskipun sedikit mengalami moderasi. Neraca perdagangan barang juga membukukan surplus, yang mensinyalkan penguatan ekonomi ke depan.
Aktivitas Bisnis Bertumbuh Positif
Pada bulan September 2018, aktivitas bisnis domestik terjaga dengan pertumbuhan yang positif meskipun sedikit melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Beberapa indikator seperti Purchasing Managers Index (PMI) di sektor manufaktur, tingkat kepercayaan konsumen, tingkat penjualan barang modal seperti motor dan semen, dapat mengkonfirmasi hal ini.
PMI di sektor manufaktur bertumbuh sedikit melambat menuju 50,7, setelah sebelumnya mencapai titik tertingginya dalam 26 bulan terakhir, yaitu 51,9. Meskipun menurun, hal ini dipercaya bukan merupakan suatu hal yang negatif. Setelah melalui breakdown, komponen pembentuk PMI seperti tingkat produksi, permintaan, serta tingkat tenaga kerja seluruhnya meningkat meski dengan magnitude yang lebih lambat. Beberapa hal yang menahan penguatan aktivitas bisnis adalah permintaan global serta harga. Pelemahan Rupiah menyebabkan harga input produksi lebih mahal.
Di saat PMI sedikit melambat, tingkat kepercayaan konsumen justru meningkat dari 121,6 di bulan sebelumnya menuju 122,4. Hal ini terutama disebabkan oleh persepsi terhadap kondisi ekonomi saat ini dan mendatang yang baik. Persepsi yang sama terhadap penciptaan lapangan kerja serta pembelian barang-barang tidak habis pakai juga meningkatkan kepercayaan konsumen secara umum. Konsumen menyambut baik hal ini di tengah pendapatan dan prospek aktivitas bisnis yang menurun.
Sinyal peningkatan aktivitas bisnis yang positif juga diklarifikasi oleh tingkat penjualan mobil dan semen yang naik pertumbuhannya. Peningkatan ini menunjukkan adanya sinyal positifnya pertumbuhan investasi domestik, karena penggunaan yang seiring dengan pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur, perumahan, serta dalam rangka mendukung pelaksanaan beberapa event besar seperti pertemuan tahunan IMF-WB, Asian Games, dan Asian Para Games.
Harga Domestik Stabil
Aktivitas bisnis yang baik diikuti dengan laju kenaikan harga-harga barang (inflasi) di dalam negeri menurun di bulan September 2018 menuju 2,9% dari 3,2% (year on year) di bulan sebelumnya. Realisasi ini masih berada dalam sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 3,5 + 1%. Inflasi khususnya inflasi harga bahan makanan mengalami penurunan sejak akhir periode hari raya keagamaan lalu. Hal ini terutama terjadi pada kelompok daging ayam dan cabai merah.
Di sisi lain, inflasi inti dan harga diatur pemerintah cenderung stabil dan sedikit mengalami penurunan. Depresiasi Rupiah terbukti belum berdampak signifikan terhadap inflasi domestik. Sebaliknya, upaya pengendalian rantai distribusi bahan makanan, panjangnya periode panen, atau yang termasuk dala, supply-side factors, berperan lebih menonjol dalam meredam inflasi domestik.
Risiko Ekonomi Global Masih Membayangi
Saat ini terdapat dua risiko global yang menjadi perhatian berbagai pihak, yaitu normalisasi kebijakan moneter AS serta eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Normalisasi kebijakan moneter, meskipun baik karena berarti ekonomi AS pulih setelah krisis, membawa koreksi pada pasar keuangan di berbagai negara emerging market, termasuk Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Indeks Dolar terhadap mata uang utama yang menjadi partner dagangnya mengalami kenaikan sejak akhir 2017 sampai sekarang yang turut mengerek Rupiah turun. Ke depan, menurut WB, diperkirakan akan terjadi hingga 3 kali lagi normalisasi suku bunga AS. Oleh sebab itu, Indonesia tetap perlu memitigasinya.
Normalisasi kebijakan moneter AS Bersama dengan eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok, berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh IMF serta dipublikasikan pada hari pertama pertemuan tahunan IMF-WB di Bali lalu menunjukkan potensi dampak negatif yang cukup besar. Tidak hanya ke ekonomi dunia, tetapi juga ekonomi Indonesia. Proyeksi ekonomi Indonesia diturunkan dari 5,2 menjadi 5,2 persen (yoy). Hal ini seiring dengan koreksi pada proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 menjadi 3,7 persen (yoy) di tahun 2018.
Kondisi Eksternal Memulih
Di saat terpapar risiko global yang cukup besar, neraca perdagangan Indonesia terbukti masih dapat membukukan kinerja positif. Setelah mengalami defisit selama 2 bulan berturut-turut, neraca perdagangan Indonesia kembali surplus di bulan September 2018 sebesar 227 juta dolar AS. Surplus ini disumbang sebagian besar oleh surplus di neraca perdagangan non-minyak dan gas, serta defisit neraca minyak dan gas yang mengecil seiring sedikit menurunnya harga komoditas dunia.
Pertumbuhan ekspor dan impor masing-masing turun cukup signifikan masing-masing dari 10.4 and 24.5 persen di bulan Agustus menuju 9.4 dan 23.3 persen di bulan September 2018 secara kumulatif dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini terutama berasal dari komponen impor barang modal. Meskipun terlihat kurang baik karena barang modal berkontribusi positif bagi investasi, hal ini seharusnya tidak mengkhawatirkan karena impor barang modal memang sudah bertumbuh sangat pesat tahun ini.
Rupiah per tanggal 17 Oktober 2018 mengalami pelemahan secara ytd sebesar 12,03 persen menuju Rp 15.178 per dolar AS. Sebagaimana dibahas sebelumnya, hal ini disebabkan lebih oleh dolar AS yang menguat terhadap seluruh mata uang. Namun demikian, seperti dikutip dari Kepala Ekonom IMF, Maurice Obstfeld, hal ini agar tidak terlalu menjadi kekhawatiran besar. Sebab apabila Rupiah dihitung dengan mengelaborasi bobot nilai perdagangan secara bilateral terhadap seluruh mitra dagang, nilainya hanya terdepresiasi sebesar 4 persen (ytd).
Pemerintah Terus Mitigasi Risiko
Pemerintah telah mengimplementasikan beberapa kebijakan dalam rangka memitigasi risiko global yang ada. Contoh dari kebijakan tersebut adalah kebijakan subtitusi impor dengan meningkatkan pajak atas transaksi impor barang-barang konsumsi melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018. Beberapa kelompok barang yang menyumbang impor barang konsumsi secara signifikan ditingkatkan tarifnya. Selain itu, Pemerintah juga membentuk komite khusus untuk memperbaiki implementasi kebijakan Tingkat Kandungan Domestik (TKDN). Harapannya adalah agar kebijakan TKDN dapat lebih optimal sehingga menurunkan kebutuhan untuk mengimpor barang.
Dari sisi sektor keuangan, Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menerapkan kewajiban bagi para eksportir untuk menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke dalam Rupiah minimal sebesar 50 persen. Hal ini dilatarbelakangi oleh lemahnya implementasi pewajiban ini yang sebetulnya sudah digalakkan sejak tahun 2016. Kebijakan sektor keuangan lainnya adalah adanya pertimbangan untuk merelaksasi peraturan perpajakan atas transaksi jual beli surat berharga dengan harapan bisa meningkatkan minat investasi di pasar modal sehingga secara keseluruhan ketahanan finansial dapat meningkat.
Selain itu, kebijakan makro fiskal dan moneter juga diarahkan untuk memitigasi risiko global. Di tengah risiko, kebijakan makro dan fiskal dibuat sangat konservatif, misalnya untuk tahun 2019 APBN dicanangkan untuk memiliki defisit sebesar 1,9 persen terhadap PDB atau paling rendah sejak tahun 2011. Selain itu, kebijakan moneter juga terus mensinyalkan pengetatan dengan kenaikan terakhir di bulan September 2018 sebeesar 25 bps menuju 5,75 persen. Kebijakan sektoral juga diharapkan ke depannya dapat mendukung sinyal di kedua kebijakan makro tersebut.