Kemiskinan ada di mana-mana. Tidak memilih suku dan bangsa. Kalau ada yang mengira, bahwa orang-orang yang terlahir sebagai etnis Tionghoa, semuanya hidup mapan, adalah merupakan sebuah persepsi yang keliru. Salah satu saksi hidup adalah diri saya pribadi, yang pernah hidup melarat, menjadi kuli di pabrik karet di pinggiran kota Medan dan penjual kelapa di pasar Tanah Kongsi di kota Padang.
Untuk memotret kemiskinan, tentu tidak perlu berjalan jauh. Apalagi hingga perlu terbang ke Benua Afrika ataupun negara negara tetangga. Karena kemiskinan itu ada di depan mata kita. Sebagai contoh, di balik Apartement Megah di bilangan Kemayoran, hanya berjarak satu kilometer saja, kita sudah dapat menyaksikan warga setempat, hidup dan beranak pinak di balik bangunan yang kumuh.
Namun sekedar sebuah gambaran bagi ktia semuanya, bahwa kemiskinan itu tidak memandang suku dan bangsa. Entah itu namanya nasib, takdir ataupun karena kesalahan akan persepsi dan falsafah tentang hidup, yang jelas, kemiskinan itu juga bias melanda negara manapun di dunia ini
Potret Kemiskinan di Cambodia
Kalau kita ikut dalam rombongan tur, maka pasti akan dibawa ke lokasi yang elit, bersih dan nyaman. Mana ada Pemandu Wisata yang mau membawa rombongan ke tempat perumahan kumuh. Karena itu ketika ada kesempatan berkujung ke Cambodia (Kamboja), maka kami lakukan perjalanan mandiri. Mencarter kendaraan tradisional disini,yang dikenal dengan nama “Tuk-Tuk”
Selama lebih kurang satu setengah jam lamanya, Racchun, Pengemudi Tuk-Tuk mendera mesin hondanya, meliuk-liuk di jalanan berubang, dengan meninggalkan debu yang berterbangan di mana-mana. Pengemudi Tuk-Tuk ini seakan sudah menjadi sopir pribadi kami selama di Kerajaan Cambodia ini. Karena orangnya sopan dan meminta ongkos yang sepantasnya, maka kami memutuskan untuk tidak mengunakan tuk-tuk lainnya. Tentu saja Racchun senang, karena sudah ada penumpang tetapnya. Ketika saya katakan padanya, bahwa nama “Racchun” bila dalam pronouciation di Indonesia, akan berbunyi “racun” artinya “Poison”, ia ketawa lebar.
Walau sudah mencoba memegang tiang penyangga atap tuk-tuk dengan kuat, namun tak urung sesekali, kepala masih terbentur, karena di sepanjang jalan tanpa aspal ini, diperkaya dengan lubang-lubang disana sini. Deru motor Honda yang menggerakkan roda tuk-tuk ini, masih di ramaikan dengan mengepulnya debu berwarna pink ke wajah dan pakaian kami. Namun kami sudah bertekad, bahwa hari ini kami harus menapakkan kaki kami di Mehkong Island, yang berjarak tempuh sekitar satu setengah jam
Menggunakan Jasa Tongkang
Dihampir tiga perempat perjalanan, Racchun menghentikan kendaraannya dan mengatakan bahwa kami berdua, terpaksa harus turun dan jalan kaki, karena jalan untuk mencapai ke Tongkang yang akan menghantarkan kami ke seberang sangat terjal dan berbahaya. Maka tanpa harus menunggu diminta untuk kedua kalinya, kami langsung turun. Kami masih 20 meter lagi dari pintu tongkang, tiba-tiba terlihat, pintu tongkang mau ditutup, Syukur si Racchun, buru-buru memberi isyarat kepada petugas tongkang, agar menunggu kami sampai. Begitu kami menginjakkan kaki ke dalam tongkang, maka pintu langsung ditutup dan tongkangpun mulai bergerak.
Tidak sampai 10 menit, tongkang sudah merapat keseberang dan kamipun turun, melalui jalanan berbatu dan menanjak. Ada lebih kurang 50 orang yang menumpang bersama kami di tongkang tersebut. Tidak tampak seorangpun turis lainnya pada waktu itu. Menurut Racchun, memang tidak banyak turis yang mau datang ke sini. Karena disamping medan yang ditempuh tidak nyaman, juga di lokasi tidak terdapat tempat peristirahatan ataupun café yang memadai.
Di tempat yang sudah tidak terlalu menanjak, kami diminta untuk naik ke Tuk-tuk kembali dan mesin Honda ini, kembali meraung, memecahkan kesunyian di sepanjang jalan yang di kiri kanan masih ditumbuhi semak belukar.
Perkampungan BantaranSungai Mehkong
Kami diminta untuk membayar kontribusi untuk masuk kedalam area ini, hanya 50 cent dollar perorang. Lalu kami berjalan kaki lambat lambat, menapaki jalanan kampung, menuju ke pinggiran Sungai Mehkong. Menyaksikan gubuk-gubuk kumuh yang berserakan di sana, menyebabkan pikiran saya kembali melayang kepada kehidupan pribadi kami, 40 tahun yang lalu. Tinggal di gubuk, yang sama sekali tidak pantas disebut rumah. Terlihat wajah-wajah kusut dan sayu, kendati mereka mencoba tersenyum ramah, namun kehampaaan hidup amat jelas terbaca di raut mukanya dan tatapan mata yang kosong dan redup.
Tanpa terasa, mata saya basah..mungkin kondisi mereka ini, bercampur aduk dengan kenangan hidup pahit getir yang pernah kami jalani selama bertahun tahun. Terbayang di pelupuk mata saya, gubuk-gubuk kumuh petani garam di tanah air kita. Mereka ini beda negara dan beda bangsa, tapi nasibnya sama: melarat dan menderita..
Di sudut jalan, duduk seorang ibu yang kelihatan seakan sudah berusia 60 tahun, sedang menikmati sejemput nasi yang diaduk dengan jagung. Ia menyapa si Racchun, dalam bahasa yang saya tidak mengerti, rupanya karena sudah sering ke sana, Racchun sudah dikenal di lingkungan ini. Seperti bisa menerka akan apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran saya, Racchun mengatakan, bahwa wanita itu baru berusia 40 tahun. Suaminya baru meninggal bulan lalu, karena diare dan kini ia harus berjuang menghidupi 2 orang anaknya yang masih kecil, dengan menyewakan “gazebo”, yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia, yang berjejer di tepi sungai. Namun tak terlihat seorangpun yang mengunakan fasilitas ini. Berarti, tidak ada uang masuk untuk pemiliknya.
Tiba-tiba saya disadarkan dari lamunan oleh Lina istri saya, yang mengajak untuk berfoto berdua. Saya juga tersentak dan sadar, bahwa seharusnya saya gembira, karena dalam usia yang bulan ini memasuki ke 75, kami tetap sehat dan diberikan karunia yang melimpah oleh Sang Pencipta untuk dapat melakukan kunjungan ke berbagai negara, termasuk di Cambodia ini
Mengingatkan Kita Untuk Selalu Bersyukur
Mengujungi permukiman kumuh, menyadarkan diri saya, bahwa selama ini saya kurang menyukuri karunia Tuhan, akibat sibuk menghabiskan hari untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak ada manfatnya. Dengan melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa kemiskinan telah merenggut senyum dan tawa dari orang orang yang menjalaninya, sungguh membuat hati terenyuh. Betapapun saya mencoba mengusir semua kegalauan hati, menyaksikan orang-orang yang hidup menderita di depan mata kami, sungguh sungguh tidak mudah. Karena kami pernah merasakan kepahitan hidup, seperti yang saat ini mereka rasakan.
Satu lagi pelajaran ilmu hidup yang saya dapatkan dari pengalaman ini, yang saya jadikan alarm, yang mengingatkan diri untuk selalu bersyukur.
Tjiptadinata Effendi