Hidup adalah sebuah University of Life, dimana setiap orang dapat berlajar banyak hal, yang sama sekali tidak pernah dipelajari di bangku kuliah, bahkan mungkin tidak pernah tersentuh. Setiap saat selalu ada pelajaran hidup yang dapat dipetik hikmahnya, demi untuk menjadikan kita semakin mawas diri.
Sayangnya, kebanyakan orang terpaku pada gambaran bahwa yang namanya belajar itu adalah ruangan kelas dimana ada Pak Guru atau Bu Guru yang mengajar. Padahal alam semesta justru adalah guru kehidupan terbaik bagi semua orang. Salah satunya, mengapa orang yang dulu semasa mudanya, hidup penuh gaya, tapi setelah menua hidupnya mati gaya?
Tidak perlu berselancar di google, cukup meluangkan waktu hanya beberapa menit saja, untuk menengok sekeliling kita. Orang yang sewaktu muda tampil keren, anggun dan cantik. Begitu mulai menua, sudah bagaikan daunan kering di musim gugur. Orang yang dulunya tampil sebagai pembicara di depan ratusan orang sebagai motivator, kini tampil kuyu dan kehilangan semangat hidupnya. Yang dulunya adalah pejabat, begitu menua, kehilangan segala daya hidupnya.
Cuplikan Sepotong Pengalaman Pribadi
Menertawakan kejatuhan orang lain, adalah sebuah penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tapi kita tidak boleh hanya belajar dari kesuksesan seseorang, tapi juga wajib belajar dari kejatuhan orang lain, agar jangan sampai mengalami hal yang sama. Sebagai seorang yang pernah menjadi Pengusaha di kota Padang, maka saya tidak hanya berteman dengan tukang beca atau tukang parkir, tapi juga dengan para pejabat setempat. Dan saya termasuk salah satu dari pengusaha, yang tidak pernah menyuap-nyuap para pejabat. Paling kami undang makan malam di rumah kami dan sebaliknya tidak jarang, kami juga diundang makan di rumah mereka.
Salah satu dari teman saya adalah Kakanwil dari sebuah instansi. Setiap kali ada kesempatan saling ngobrol, selalu saya ingatkan untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Tapi hanya dijawab dengan berkata: “Saya tidak mau mikir neko-neko pak Effendi. Kami sudah biasa hidup sederhana” Nah, kalau teman sudah bicara begitu, tentu kita tidak berhak memaksakan memberikan nasihat, karena bisa dikira menggurui. Apalagi yang namanya Kakanwil adalah Kepala Kantor Wilayah, sebuah jabatan yang cukup tinggi di daerah.
Pensiun dan Pindah ke Jakarta
Kami pindah ke Jakarta tahun 1990 dan 3 tahun kemudian, teman saya yang Kakanwil pensiun dan pulang kampung, karena memang berasal dari Jawa. Kami jadi sering ketemu. Pada awalnya tidak tampak adanya perubahan. Tapi setahun setelah itu, wajahnya sudah mulai tampak murung. Karena sewaktu masih aktif, semua disediakan kantor. Ada kendaraan dan sopir, rumah dan telpon ditanggung negara. Tapi setelah pensiun, setiap sen yang dibayarkan, keluar dari kantong sendiri. Mana anaknya 2 orang baru masuk kuliah dan seorang lagi di SMA. Uang pensiun hanya cukup untuk melanjutkan hidup, tapi mana cukup untuk membiayai anak-anak kuliah dan sekolah.
Hal ini menyebabkannya menjadi semakin murung, karena sepanjang hari harus tinggal di rumah. Sesekali kami datang berkunjung kerumahnya di Bekasi. Dan suatu hari mengatakan pada saya: “Pak Effendi, kalau ada pekerjaan, ajaklah saya. Semua barang barang berharga, termasuk perhiasan istri sudah dijual.” Iba rasanya hati saya mendengarkannya. Betapa seorang mantan kepala kantor, minta pekerjaan pada saya. Tentu saja saya dengan senang hati mau membantu. Tapi gimana caranya? Kendaraan sudah tidak punya, sedangkan naik sepeda motor, tidak berani, karena kesehatannya sudah semakin menurun. Mau naik kendaraan umum, juga tidak mungkin, karena pekerjaan justru ada di lapangan, yakni menjadi pemasok barang-barang kebutuhan perkantoran.
Akhir Perjalanan Hidup Yang Menyedihkan
Mengalami stress yang mendalam dan kehilangan semangat hidup, membuat pak Zakir (bukan nama sebenarnya) jatuh sakit, karena hipertensi dan mengalami stroke. Lengkaplah sudah penderitaannya. Sempat dirawat di rumah sakit dan 3 bulan kemudian meninggal dunia.
Belajar dari kegagalan teman saya dalam mempersiapkan masa pensiunnya, mungkin dapat dipetik hikmahnya bagi yang masih muda dan potensial. Untuk menghindari gaya hidup yang berfoya-foya dan sedini mungkin mempersiapkan masa pensiun. Kata: “pensiun” bukan semata miliknya PNS, tapi semua orang yang sudah tidak lagi mampu bekerja di sebut sebagai pensiun.
Pentingnya Mempersiapkan Masa Tua
Masa masa muda adalah peluang emas untuk bekerja keras, agar bisa menabung, Mempersiapkan masa depan anak-anak dan sekaligus mempersiapkan hari tua kita. Karena kedua hal tersebut sama pentingnya. Perlu mempersiapkan passive income, agar ketika usia mulai menua dan tidak mampu lagi bekerja seperti semula, kita sudah memiliki andalan, yakni passive income, walaupun nilai nominalnya tidak besar.
Sehingga ketika kami sudah memasuki usia pensiun, tinggal memetik buah-buah dari pohon passive income tersebut. Kami tidak kaya, tapi dapat menikmati hidup layak. Apalagi ditunjang oleh putra putri kami, yang melimpahkan kasih sayang mereka kepada kami. Masih ditambah lagi dengan kerabat kami yang begitu peduli pada kami.
Bayangkan, ketika kami merayakan the Golden Anniversery di Jakarta, seluruh anak mantu cucu kami datang dari New South Wales dan Western Australia, serta yang berada di Jakarta tentunya. Bahkan ponakan-ponakan kami datang dari berbagal belahan dunia. Serta sahabat sahabat kami dari seluruh Indonesia, termasuk dari Kompasiana. Tentu menghadirkan rasa syukur yang tidak berkesudahan.Tulisan ini bukan pamer pencapain, melainkan diharapkan dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang banyak.
Secara logika, adalah mustahil, dari seorang penjual kelapa di Pasar Kumuh dan merangkak selama 7 tahun dalam upaya mengubah nasib. Namun, kini bagaikan mimpi, walaupun jauh dari sebutan kaya, namun kami dapat menikmati hidup dengan layak.
Tjiptadinata Effendi