Millenials. Begitulah pemuda masa kini disebut, yaitu generasi yang lahir pada tahun 1980-2000 dan seterusnya. Kini kita hidup di era digital dan mengalami banjir informasi. Informasi tidak lagi didapat melalui media arus utama melainkan melalui internet, termasuk media sosial. Riset di Amerika dan sejumlah negara di dunia menyebutkan bahwa orang tidak lagi mengakses berita melalui media massa melainkan melalui media sosial[1].
Orang tidak lagi mencari berita yang dicari berdasarkan penggunaan dan kebutuhannya, melainkan terpapar informasi yang ada di media sosial. Jurnalis yang tadinya berperan sebagai gatekeeper yang berarti memiliki tugas untuk memilah-milah berita, mencari obyektivitas, memisahkan fakta dan pendapat, mendeteksi kebenaran, dan menyebarkan informasi-informasi yang penting kepada masyarakat[2], digantikan perannya oleh warga net sebagai sumber informasi yang seringkali mencapuradukkan fakta dengan opini dan menyebarkan informasi yang diyakini kebenarannya.
Tanpa berlandaskan pengetahuan yang kuat, pemuda masa kini hanya akan menjadi agen penyebar postingan viral tanpa tahu konteks dan tujuannya. Pokoknya asal merasa satu pendapat dan senasib dengan postingan tersebut; viralkan!. Bukannya mencari data-data yang berimbang, millenials cenderung mencari “pembenaran” dan bukan “kebenaran” di media sosial. Disinilah letak pentingnya literasi digital. Sebuah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, dan berkomunikasi dari informasi yang ada dunia digital.
Tanpa pengetahuan yang kuat dan literasi, pemuda jadi kurang kritis, mudah dihasut, terprovokasi konten-konten yang negatif, dan dipecah-belah. Pengetahuan bisa dibangun melalui berbagai cara, bisa dengan membaca buku, diskusi, sampai riset. Inilah yang menjadi pondasi pemuda agar dapat menahan diri supaya tidak menekan tombol like, share, retweet, ataupun repost konten-konten yang tidak dipahami betul makna dan tujuannya. Justru waktunya pemuda menciptakan konten-konten yang positif berupa karya dan prestasi.
Di sini saya meletakkan peran media sosial di atas media massa arus utama. Sebut saja facebook, twitter, youtube, instagram, dll dalam beberapa hal memiliki kekuatan di atas media massa tradisional seperti televisi misalnya. Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia masih menggunakan televisi sebagai sumber informasi utama, namun di sisi lain masyarakat juga sangsi dengan berita di televisi. Karena masing-masing memiliki kepentingan. Sebut saja Harry Tanoesoedibjo (Perindo) menaungi MNC Group (RCTI, GlobalTV, Koran Sindo), kemudian MetroTV, Media Indonesia milik Surya Paloh politisi partai NasDem, kemudian TvOne, ANTV, Viva.co.id, milik Aburizal Bakrie politisi partai Golkar, dan Chairul Tanjung memiliki TV7, TransTV, Detik.com, dll.
Nyaris semua media di Indonesia memiliki afiliasi, hubungan, dan kepentingan dengan partai politik.[3] Dengan begitu media tidak dapat dikatakan independen karena tidak bisa menentukan kebijakan redaksinya sendiri tanpa intevensi dari kepentingan politik maupun pemodal. Dalam hal berdemokrasi, media massa tradisional dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi sehingga masyarakat memilih alternatif lain dengan ber-media sosial. Satu-satunya cara menyampaikan pendapat dan aspirasi secara bebas tanpa ada intervensi.
Dengan platform yang menarik berupa teks, audio, visual, video, dan interaktivitas lain, media sosial jadi kian populer apalagi bagi warga net Indonesia. Bahkan Indonesia adalah negara paling “cerewet” di dunia, yang artinya sangat aktif nge-tweet dibanding negara-negara lain, dalam setahun mencapai 4,1 Miliar tweet[4]. Melalui tanda pagar atau tagar (#) di twitter, warga seluruh dunia bisa melihat trending topic atau topik yang paling sering diperbincangkan dalam jagad maya twitter.
Meskipun sifatnya maya, namun peredaran tagar yang masif bisa memengaruhi bahkan mengubah persepsi masyarakat tentang realita. Sebuah kesalahan apabila dilakukan secara berjamaah akan jadi kebenaran. Sama halnya dengan tagar (yang mewakili peristiwa tertentu) akan menjadi fenomena yang diyakini kebenarannya padahal kenyataannya kecil.
Setelah kemunculan aksi berjilid-jilid pada masa pemilihan Gubernur Jakarta beberapa bulan lalu, Indonesia seperti dirudung marabahaya, ketakutan, dan kecemasan. Tagar #aksi*** beredar, pemberitaan tentang intoleransi, kebencian, dan SARA mewabah di berbagai media. Isu agama dan politik menjadi isu yang sangat sensitif selama berhari-hari. Warga net sibuk menyebarkan, menyetujui, atau bahkan mengutuki hal-hal yang berbau intoleransi bahkan radikalisme.
Kita melawan intoleransi maupun radikalisme dengan cara menghujat, memusuhi, mengutuk, dan mendebat (bukan berarti melarang) membuat radikalisme justru semakin populer. Sebuah ironi ketika kita melawan radikalisme denngan memopulerkan radikalisme itu sendiri. Golstein, Martin, dan Cialdini dalam buku Yes! 50 Secrets from The Science of Persuasion[5] menyebutnya dengan negative social proof.
Nah daripada melawan intoleransi yang pada akhirnya malah justru mempopulerkan intoleransi itu sendiri, alangkah jauh lebih baik jika kita mempopulerkan toleransi, tenggang rasa, kasih sayang, dan kebaikan antar sesama manusia apapun latar belakangnya, agama, suku, ras, dan etnis. Inilah yang disebut dengan positive social proof, mengajak orang lain berbuat baik dengan perbuatan baik dan mempopulerkan kebaikan. Maka, saatnya kita yang muda menjadi pencipta kanal positif dengan menyebarkan tagar #indahnyakeberagaman.
Selain itu, kita adalah jurnalis bagi orang-orang di sekitar kita. Kita adalah penjaga gerbang informasi dari berita yang sifatnya negatif, provokatif, atau bahkan kabar bohong (hoax). Lebih dari itu, kita seharusnya mampu berperan sebagai curator journalism. Sebagai seorang kurator maka tugas kita adalah mengakses, menyunting, mensintesis, dan mempresentasikan limpahan informasi di dunia maya menjadi sebuah berita dengan satu kesatuan yang utuh, berimbang, dan obyektif.
Jadi, sebelum mengunggah opini di laman medsos, alangkah baiknya jika informasi tidak hanya didapatkan dari satu sumber, melainkan dari berbagai sumber, digabungkan, dengan data-data yang akurat dan kredibel menjadi satu kesatuan, sehingga pembaca atau followers kita bisa memahami secara utuh tidak terpotong—potong. Lebih jauh, pemuda juga harus punya mimpi besar. Pemuda harus telah selesai dengan dirinya sendiri, bebas dari beban amarah, gelisah, kecewa, dan kegalauan apapun. Sehingga ia bisa menciptakan kenyataan-kenyataan baru dan membuat perubahan di lingkungan sekitarnya.
Berani Bersatu Membela Keberagaman
#BeraniBersatuMembelaKeberagaman
Penulis : Galuh Pandu Larasati
[1] Newman, N., Fletcher, R., Kalogeropoulos, A., Levy, D., & Nielsen, R.K. (2017). Digital news report 2017. Reuters Institute
[2] Janowitz, M. (2015). Professional models in journalism: the gatekeeper and the advocate. sage
[3] Iskandar, D & Lestari, R. Mitos Jurnalisme hal 32
[4] https://inet.detik.com/cyberlife/d-3364770/indonesia-negara-paling-cerewet-di-dunia
[5]https://henrymanampiring.com/2017/05/27/berteman-dekat-dengan-yang-beda-agama-melawan-radikalisme-dengan-tidak-melawannya/