Dalam keluarga besar kami, baik dari pihak saya, maupun dari keluarga istri, terdiri dari berbagai suku. Kami sendiri dari keluarga yang berasal dari keturunan Tionghoa, tapi adik-adik menikah dengan orang Minang, Orang Jawa, Orang Nias dan Orang Batak. Bahkan mantu adik saya adalah Jerman, adik ipar suaminya orang Italia dan seterusnya. Nah, sudah dapat dibayangkan bahwa mengenai agama, dapat dikatakan 40 persen Katholik. 40 persen Islam dan 20 Persen lagi Buddha, Khonghucu dan Kristen. Yang atheis tidak ada.
Kesempatan Pulang Kampung
Tahun lalu, kami berkesempatan pulang kampung ke kota Padang, Maka sesuai dengan judul lagu: ”Hidup adalah Kesempatan” maka kami manfaatkan untuk mengundang sanak keluarga yang sudah lama tidak ketemu, malahan ada yang sejak lahir belum pernah berjumpa. Pertemuan diadakan di Gedung Pertemuan HBT di Padang. Ada sekitar 120 orang yang datang dalam undangan mendadak tersebut. Mereka datang dari Pekanbaru, Bukittinggi dan Payahkumbuh, kampung halaman orang tua kami.
Paduan suara spontan dari para kerabat yang khusus datang dari Payahkumbuh, sekitar 3 jam perjalanan dari Padang, berjudul; “Hidup ini adalah sebuah kesempatan” Sejujurnya, seumur hidup saya baru pertama kalinya mendengarkan lagu yang penuh menyirat makna yang mendalam ini. Yakni menjadikan seluruh hidup kita, menjadi berkat bagi orang banyak. Dan bila saatnya tiba dan tubuh tidak lagi mampu untuk berbuat sesuatu, diri sudah siap menekuni setiap kesempatan untuk berbuat baik. Siapa pencipta lagu ini, tidak sempat saya tanyakan. Karena kami larut dalam suasana haru dan bahagia.
Kesempatan Untuk Menakar Diri
Kesempatan bertemu setelah berpisah belasan bahkan puluhan tahun sungguh menghadirkan multi ganda dalam memahaminya. Ada kerinduan yang mendalam, nostalgia, dan hubungan yang tidak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Jarak dan waktu yang memisahkan kami, ternyata tidak mampu menggerogoti jalinan persahabatan dan kekeluargaan antara kami–seluruh yang hadir.
Kalau dikaji secara matematika, orang tidak akan mau datang dari jauh. Perjalanan dari Pekanbaru ke Padang membutuhkan waktu sekitar 8 hingga 10 jam. Atau menggunakan pesawat, tentu dengan resiko mengeluarkan dana yang cukup besar. Apalagi mengingat ada saudara sepupu yang datang dengan kursi roda, dalam kondisi kesehatan yang cukup memprihatinkan.
Sementara perjalanan dari Payahkumbuh ke Padang, walaupun jaraknya hanya sekitar 125 km, namun karena ruas jalan yang sempit harus ditempuh dalam waktu 4 jam sekali jalan. Namun magnet persahabatan dan kekeluargaan yang telah mempertautkan kami menyebabkan orang tidak lagi mengkaji dari sudut ekonomi dan waktu. Satu-satunya hasrat hati adalah agar kami dapat memanfaatkan kesempatan ini. Seperti judul lagu yang sudah disebutkan diatas, “Hidup ini adalah sebuah kesempatan”
Kalau kami tidak memanfaatkan kesempatan ini, maka belum tentu kesempatan kedua akan datang lagi. Mengingat diantara yang hadir, banyak yang sudah berusia 75 tahun keatas, bahkan 87 tahun.
Bapisah Bukannyo Bacarai
Kami semua larut dalam keharuan, namun mengingat banyak yang datang dari Bukittinggi, Payahkumbuh, dan Pekanbaru, maka dengan berat hati kami mengahiri pertemuan yang penuh makna ini dengan semboyan “Berpisah bukan berarti bercerai” Saking enggannya untuk berpisah, kami larut dalam rasa haru yang mendalam. Dan tanpa kuasa, mata kami basah oleh genangan air mata keharuan dan kebahagiaan.
Bagi saya dan istri, kehadiran seluruh sahabat dan kerabat kami sungguh merupakan sebuah apresiasi yang mendalam. Dan berharap, semoga akan ada kesempatan seperti ini. Sekali lagi “Bapisah, bukannyo Bacarai!”
catatan: semua foto dokumentasi pribadi’
Tjiptadinata Effendi