Saat awal-awal saya membaca pidato Pak Anies yang menyinggung istilah yang sudah dilarang dalam Inpres 26 tahun 1998, saya berusaha untuk berpikiran positif. Pikiran saya saat itu adalah Pak Anies sedang membahas masa penjajahan, sesuai dengan yang diklarifikasinya kemarin, berita klarifikasinya bisa baca di sini: Anies Jelaskan Pidato Soal Pribumi: Konteksnya Era Penjajahan.
Namun pikiran positif itu hilang kalau kita membaca pidatonya secara menyeluruh, ada satu kalimat atau istilah madura yang cukup menganjal dalam pikiran ini yang membuat tidak bisa berpikiran positif terhadap pidatonya Pak Anies, yaitu kalimat:
Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami
Saya tidak tau apa niat Pak Anies dalam mengucapkan istilah ini, tapi yang pasti istilah ini tidak sepenuhnya cocok digunakan dalam konteks era penjajahan dan Pak Anies juga tidak menjelaskan dalam klarifikasinya. Artinya keberadaan kalimat ini seperti membuat semua klarifikasi Pak Anies kemarin menjadi tidak berguna.
Secara garis besar dalam pikiran saya, Pak Anies seperti ingin mengatakan si A (itik) yang memerdekakan Indonesia, tapi ada si B (ayam) yang tidak melakukan apa-apa, justru lebih menikmati kemerdekaan dibanding si A. Setidaknya itu ada dalam pikiran saya, koreksi saya kalau salah.
Kalau begitu, bukankah itu seperti sedang mengkritik kondisi setelah penjajahan atau setelah kemerdekaan? Dengan kata lain, sangat jauh dari konteks era penjajahan.
Jadi sekarang yang jadi pertanyaannya, si itik dan si ayam itu siapa? Ini pun sangat mudah untuk dijawab kalau kita melihat kalimat sebelum istilah ini disebut. Minimal ada 2 kalimat yang bisa dikaitkan dengan istilah ini.
Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri
Kalimat ini sedikit bersayap, memiliki banyak arti, kenapa setelah 72 tahun merdeka, baru kini atau lebih tepatnya setelah dia menjadi Gubernur bisa menjadi tuan rumah? Terus 72 tahun itu menjadi apa?
Sangat jelas Pak Anies seperti ingin mengatakan bahwa setelah merdeka pun pribumi tidak menjadi tuan rumah, mungkin lebih kasarnya hanya menjadi pembantu di negeri sendiri. Yang lebih anehnya lagi, dulu saat Sutiyoso, Fauzi Bowo, Ali Sadikin dan lain lain yang menjadi Gubernur, Emang mereka menjadi apa selain menjadi tuan rumah? Kok harus tunggu Pak Anies menjadi Gubernur baru bisa menjadi Tuan Rumah?
Saya pikir, pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu saya jawab pun para pembaca sudah tahu ke mana arah pernyataannya Pak Anies.
Satu hal yang harus saya akui, Pak Anies memang pintar dalam menyusun kata-kata, dan itu sudah terlihat saat masa kampanye kemarin. Setiap kata bisa disusun dengan sedemikian rapi dan teratur. Begitu juga dengan pidatonya kali ini yang tersusun sedemikian rupa, seperti ingin membawa kita ke masa penjajahan, tapi pada dasarnya memiliki maksud yang terselip di dalam, yaitu soal itik dan ayam ini.
Sekali lagi, saya tidak tahu niat apa yang terbesit di benak Pak Anies saat mengucapkan istilah madura ini. Namun demikian, kita juga jangan bingung dengan beberapa analisa yang mengatakan Pak Anies sedang dirancang untuk memulai rasisme di Jakarta, memulai perpecahan di Jakarta demi mencapai tujuan kelompoknya di Pilpres 2019.
Pak Anies seperti ditugaskan sebagai konsekuensi dari kemenangannya kemarin untuk melemparkan isu -rasisme- di Jakarta untuk memecah-belah rakyat Jakarta demi Pilpres 2019. Dan jangan lupa Jakarta ini Ibu Kota, apa yang terjadi di Jakarta, sedikit banyak pasti akan berpengaruh ke daerah lain.
Kalau analisa-analisa di atas benar, maka sangat disayangkan. Sebagai seorang intelektual yang dulunya berintegritas, tidak seharusnya menjual intelektual dan integritasnya demi sebuah kekuasaan. Selain itu, Pak Anies harusnya tahu apa yang membuat rakyat Indonesia khususnya Rakyat Jakarta kian tertindas itu bukan soal suku ataupun etnis, tapi beberapa hal seperti korupsi, qualitas pemimpin dan lain-lain lah yang membuat mereka kian sengsara. Soal itu pun sudah pernah saya bahas secara singkat dan padat di tulisan ini : Oleh Siapa, Pribumi Ditindas?.
Faktanya memang tidak semua pribumi hidup susah, ada banyak yang sukses, bahkan ada yang lebih sukses dari non-pribumi. Logikanya kalau pribumi selama ini dianggap pembantu atau tidak menjadi tuan rumah, kok bisa ada yang lebih sukses? Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang selalu ditutup-tutupin oleh para pejabat korup dengan sentimen anti-etnis untuk membodohi rakyat Indonesia yang mudah dibodohi.
Rakyat dibodohi dan diarahkan untuk fokus pada kesuksesan etnis atau kelompok yang mereka pisahkan dari istilah pribumi, namun mengabaikan kesuksesan sesama mereka yang lebih sukses. Haizz… Konyol.
Di sisi lain, kalau Pak Anies bermaksud mengatakan hanya Pribumi yang memerdekakan Indonesia, bukankah lagi-lagi Pak Anies telah menistakan sejarah setelah melakukan penistaaan sejarah pada masa kampanye kemarin?
Karena kenyataannya Indonesia dimerdekakaan oleh banyak pihak yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras. Selain itu, yang merasakan penjajahan juga tidak hanya Jakarta, itulah sebabnya banyak bermunculan pahlawan dari daerah lain, seperti: Cut Nyak Dien, Pattimura, Diponegoro, Imam Bonjol, Antasari, Sisingamangaraja, dll.
Logikanya kalau yang merasakan penjajahan hanya di Jakarta, siapa yang dilawan pahlawan yang saya sebutkan di atas?
Akhir kata, jangan pernah melupakan apalagi menistakan sejarah demi sebuah kekuasaan:

Ok lah Sekian..
Hans Steve