Setiap orang senang bila mendapatkan sebuah pujian. Kalau ada orang yang mengatakan tidak suka dipuji, perlu dipertanyakan kesehatannya. Pujian dapat datang darimana saja. Bisa dalam bentuk ucapan verbal, langsung dan ber hadap hadapan tapi dapat juga disampaikan melalui tulisan dan gesture atau bahasa tubuh (body language).
Mulai dari pujian tentang penampilan yang menarik, cantik, ganteng, maupun gaya yang menawan. Dapat merupakan sebuah ungkapan rasa kagum, tapi tidak tertutup kemungkinan, pujian yang bersifat basa basi. Umpamanya: “Wah, Opa kelihatannya seperti baru berumur 50 tahun”. Padahal jelas rambut sudah mulai memutih, kulit keriput di sana-sini dan gigi sudah ompong di beberapa tempat. Tapi setidaknya orang sudah berusaha menyenangkan hati kita, maka selayaknya dan sepantasnya kita berterima kasih.
Atau bisa jadi ada pandangan mata yang menunjukkan rasa kagum, pada diri kita. Bukan lantaran masih ganteng atau cantik tapi dalam usia yang menua masih kuat untuk melakukan berbagai akitivitas
Jadikan Pujian Sebagai Introspeksi Diri
Mendapatkan pujian di sana-sini dari teman, sahabat dan dari orang yang baru saja dikenal, bila kita tidak mampu memaknai secara cerdas dan arif akan mampu membuat kita terbuai. Ibarat orang kebanyakan disuguhi bir bintang atau wine maka lama kelamaan menjadi terbuai dan lupa diri.
Merasakan diri hebat seperti pujian orang sehingga lupa untuk berbenah diri. Tidak lagi mau membuka diri untuk belajar karena merasa diri sudah top . Mulai berjalan dengan lubang hidung menengadah keatas sehingga tidak lagi mampu menengok ada krikil di depan mata. Akibatnya tersandung dan jatuh.
Perlu Berkaca Diri
Oleh karena itu, perlu senantiasa berkaca diri. Bukan hanya sekedar bercermin, untuk memastikan sudah rapi atau belum cara kita berpakaian, tetapi terutama bercermin diri, untuk memahami bahwa sesungguhnya diri kita masih jauh dari dapat disebutkan sempurna.
Pujian yang diberikan orang adalah berdasarkan pandangan dan penilaian dari satu sudut kehidupan, bukan secara menyeluruh. Mungkin kita rajin menulis dan mendapatkan penghargaan sebagai yang terproduktif dan teraktif yang sesungguhnya, bukan lantaran diri kita hebat melainkan hanya karena memiliki kesempatan yang lebih dalam menulis.
Atau mungkin kita dituakan dan diberikan kesempatan untuk menjadi Pembicara dalam suatu forum, bukan karena diri kita paling pintar dalam berbicara, melainkan karena rasa hormat kepada diri kita. Dengan menyediakan waktu untuk melakukan kontemplasi atau perenungan diri maka kita akan terhindar dari kemungkinan terperosok kedalam lubang keangkuhan diri.
Menjaga Marwah Diri
Hal ini, mungkin tampak sepele, tetapi sesungguhnya melakukan introspeksi diri adalah jalan sarana yang paling tepat untuk mengawal diri, agar tidak sampai kehilangan marwah diri, akibat terbuai sanjungan dan lupa diri. Ada banyak contoh-contoh hidup yang mungkin saja sudah kita rasakan. Betapa teman sekolah atau tetangga, maupun kerabat yang dulunya sangat akrab, tapi sejak bintangnya cemerlang dan menjadi pejabat atau pengusaha, ketika bertemu, menunjukkan sikap yang bertolak belakang. Mungkin bagi dirinya, kini hubungan persahabatan, bukan lagi sesuatu yang bernilai. Karena lupa diri dan terlena oleh kenikmatan hidup. Dan menjadi lupa diri. Karena itu alangkah bijaknya, bilamana kita mau memetik pelajaran berharga dari pengalaman hidup kita, jangan sampai kita lupa diri.
Lupa bahwa diri kita adalah sosok yang dihargai orang banyak, namun kita sendiri tidak menghargai diri, dengan bersikap, bertutur kata dan berprilaku yang menjatuhkan martabat diri sendiri. Walaupun mungkin saja, diera modern ini, martabat dan marwah diri, sudah bukan lagi sesuatu yang penting, namun biarlah orang lain berpendapat demikian.
Jangan sampai diri kita juga terhanyut mengikuti alur. Karena air yang sudah terlanjur mengalir ke bawah dan bercampur dengan lumpur, sudah tidak mungkin lagi berbalik arah dan kembali ke posisi awal.
Kesimpulan :
Orang tidak hanya bisa mabuk lantaran minum alkohol, tapi bisa mabuk karena pujian dan sanjungan. Apapun penyebabnya, pada intinya, mabuk membuat orang lupa diri dan tidak mampu lagi berpikiran jernih, sehingga seringkali melakukan hal-hal yang mengerogoti harkat dirinya.
Tjiptadinata Effendi