Merenung sejenak, mencoba memahami jalan pikiran Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta yang mengabulkan gugatan seorang mantan koruptor uang rakyat untuk kembali mencalonkan diri mejadi wakil rakyat.
Seorang politikus yang menyandang predikat mantan koruptor sukses “merayu” Bawaslu yang pada akhirnya mengijinkan bekas napi korupsi kembali ke arena perlombaan pemilihan calon wakil rakyat tahun depan.
“Memutuskan menerima permohonan pemohon untuk seluruhnya,”.
Demikian ketua majelis hakim Puadi membacakan putusan dalam sidang ajudikasi di kantor Bawaslu DKI, Jalan Danau Agung Sunter, Jakarta, Jumat minggu lalu.
Betapapun sebenarnya sudah kita duga jauh-jauh hari, putusan ini tetap saja mengejutkan. Sulit dimengerti oleh nurani dan akal sehat kita bagaimana mungkin seorang yang telah mengkhianati rakyat berpeluang atau diberi peluang untuk dipilih kembali menjadi wakil rakyat.
Seorang pemain sepak bola saja langsung diusir keluar lapangan dan harus absen setidaknya dua laga ketika mendapatkan kartu merah. Kenapa ini yang sudah terbukti melakukan pelanggaran berat bernama korupsi masih bisa “melanjutkan permainan”?
Ini kan sama saja dengan seorang pembantu yang sudah pernah ketahuan mencuri perhiasan dirumah kita tetapi oleh pak satpam malah direkomendasikan lagi untuk kembali menjadi pembantu dirumah kita. Miris!
Sudah seharusnya mantan koruptor yang jelas-jelas pernah khianat harus kita buang jauh-jauh dari daftar calon wakil rakyat. Jangankan koruptor, anggota dewan yang dalam pernyataannya selalu menghalang-halangi tugas penyidik KPK saja seharusnya sudah kita blacklist. Bukan malah sebaliknya. Ini kalau kita sepakat memerangi kemiskinan di negeri ini.
Diloloskannya mantan napi koruptor mengikuti pemilu legislatif oleh Bawaslu jelaslah menjadi sebuah fenomena yang kontradiksi dengan upaya kita memerangi korupsi, akar pangkal dari kemiskinan di negeri ini.
Saya dapati tiga hal kaitan dengan peristiwa ini.
Pertama, membuktikan bahwa tidak semua pejabat atau penyelenggara negara kita sepakat memerangi korupsi. Seharusnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, seorang pejabat yang pernah terlibat korupsi harus dienyahkan dari lingkaran pemerintahan, bukan malah diakomodir. Tetapi faktanya, mereka masih diloloskan. Jika demikian, lalu kapan tercipta pemerintahan yang bersih?
Kedua, membuktikan bahwa tidak semua pejabat atau penyelenggara negara memiliki tekad memerangi kemiskinan. Saya pikir semua kita sepakat korupsi adalah hambatan terbesar bangsa ini dalam upaya memerangi kemiskinan.
Sehingga ketika seorang pejabat bertekad menanggulangi kemiskinan, seharusnya ia juga harus mengutuk koruptor dan perilaku koruptifnya. Sayangnya tidak semua pemimpin dipemerintahan kita memiliki tekad itu.
Ketiga, membuktikan bahwa koruptor masih mendapat tempat di negeri ini. Lihatlah ada yang bersorak kegirangan ketika gugatan mantan koruptor diloloskan Bawaslu. Jangan pernah bermimpi mengentaskan kemiskinan di negeri ini jika koruptor bahkan masih mendapat tempat…
Terakhir kesimpulan saya, ketika kita bicara memerangi kemiskinan maka sudah jelas lawan kita adalah para koruptor dan perilaku koruptifnya. Sehingga tidak ada cara lain, tolak mantan koruptor kembali menjabat, pertahankan orang-orang yang bersih di negeri ini. Jangan malah mengijinkan mantan maling menjadi satpam dirumah kita…
Selamat tolak mantan koruptor!