Tak dapat dipungkiri, prestasi Indonesia yang mendulang Emas Asian Games terbilang merupakan prestasi yang luar biasa. Bagaimana tidak, bila dalam kompetisi Terakbar Se-Asia tersebut Indonesia sudah memperoleh 30 medali emas, 22 perak, dan 37 perunggu, sehingga jumlah medali yang diperoleh sebanyak 89 medali (perolehan sementara hingga 30 Agustus 2018).
Semua itu tidak lepas dari campur tangan pemerintah yang sangat berperan dalam memberikan motivasi baik berupa dukungan moral maupun motivasi materiil. Ambil contoh saja, untuk peraih medali Emas, pemerintah telah menyiapkan bonus sebesar 1.5 miliar rupiah, rumah, lalu pekerjaan sebagai PNS bila pensiun nanti, belum lagi bonus tambahan yang diberikan oleh pihak-pihak non pemerintah.
Demikian halnya dengan atlet peraih medali perak dan perunggu juga ikut memperoleh bonus, walaupun tidak sebesar yang didapatkan oleh peraih medali emas. Tidak saja atlet, bahkan pelatihnya pun ikut kecipratan bonus dari pemerintah.
Penghargaan dan bonus juga diberikan untuk atlet penyandang disabilitas yang mengikuti Asian Para Games 2018 (medali emas, perak, perunggu). Hal ini sesuai dengan janji Presiden Jokowi bahwa atlet normal dan disabilitas mendapatkan penghargaan yang sama.
Jadi tidak heran bila berbagai bonus yang dijanjikan oleh pemerintah tersebut berhasil membangkitkan semangat para atlet untuk berjuang memberikan yang terbaik. Dan hasilnya kita lihat sendiri bukan? Pencapaian medali Emas Indonesia hampir tiga kali lipat dari pencapaian Indonesia di Asian Games 1962 berlangsung dan hampir 8 kali lipat dari pencapaian di Asian Games 2014 dan 2010 yang lalu.
Menilik ke belakang, banyak atlet Indonesia yang tidak seberuntung atlet Indonesia saat ini. Walaupun berbagai prestasi ditorehkan, namun banyak yang akhirnya harus hidup terlunta-lunta saat pensiun dari dunia olahraga.
Sebut saja Denny Thios, Namanya mungkin asing bagi sebagian orang. Ia merupakan mantan atlet angkat besi yang berhasil mengharumkan nama bangsa hingga ke tingkat dunia melalui prestasi yang dicetaknya. Ia pernah menjuarai kejuaraan dunia di Inggris dan Swedia, serta memecahkan tiga rekor dunia. Kini, ia bekerja sebagai tukang las pada bengkel kecil yang dimilikinya di Makassar.
Lain lagi cerita Wempi Wungau, binaragawan yang telah memboyong beberapa medali emas di ajang Sea Games dari 1989 hingga 1997. Peraih medali perak ASEAN Games 2002 ini sempat menelan pil pahit karena janji-janji yang pernah diberikan saat ia masih menjadi atlit tidak pernah dipenuhi. Ia bahkan pernah ditipu oknum yang tega memotong uang hadiah hasil jerih payahnya selama menjadi atlit nasional. Hingga kini, Wempi tidak memiliki pekerjaan tetap dan hanya bekerja atas belas kasihan orang-orang yang mengajaknya sebagai pengawal pribadi.
Nasib miris pun harus diterima mantan petinju asal Maluku, Hasan Lobubun. Mantan juara nasional kelas bantam junior tahun 1987 ini nyaris menjadi gelandangan di Jakarta karena tidak memiliki pekerjaan. Ia kini menjalani kehidupan sebagai pemulung dengan mengais rezeki dari tumpukan sampah dan barang bekas di Jakarta.
Tak ketinggalan, Ellyas Pical, legenda tinju Indonesia. Mantan juara dunia tinju yang mengharumkan nama bangsa. Ketika berjaya dieluk-elukan, tapi sesudah pensiun, dirinya harus menjadi satpam dan kini di masa tuanya hanya menjadi OB (Office Boy) di KONI Pusat.
Bahkan sekitar 10 tahun yang lalu publik dikejutkan dengan berita kematian Rachman Kilikili, petinju yang pernah menjuarai berbagai event internasional, yang ditemukan tewas gantung diri. Dari kabar yang beredar, Rachman diduga stress akibat tidak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah dirinya pensiun dari dunia tinju.
Ketika itu menjadi juara dunia hingga bertabur gelar nampaknya tidak selalu menjanjikan masa depan yang cerah bagi sebagian para mantan atlet Indonesia. Mirisnya beberapa dari mereka justru harus membanting tulang demi bisa bertahan hidup, baik dengan bekerja serabutan hingga terpaksa menjual medali kesayangan.
Kisah di atas hanyalah segelintir dari begitu banyaknya contoh nasib atlet Indonesia yang berjuang atas nama Indonesia namun harus menjalani masa tua yang pahit. Tidak adanya jaminan dari pemerintah, membuat profesi atlet dipandang sebagai salah satu profesi yang bermasa depan suram. Bagaimana bisa mengharapkan atlet Indonesia berprestasi di kancah internasional atau mengharapkan Indonesia ikut dalam Piala Dunia kalau tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah.
Namun itu dulu. Kini, sejak Jokowi menjabat, perhatian pemerintah terhadap kehidupan dan masa depan atlet pun jauh meningkat. Jadi bukan hal yang mengherankan bila berbagai prestasi internasional juga bermunculan mewarnai dunia olah raga Indonesia.
Harapan saya, pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi, tidak hanya memperhatikan nasib para atlet berprestasi yang ada saat ini. Namun juga memberikan perhatian untuk atlet-atlet berprestasi di masa lalu yang tidak mendapatkan perhatian selayaknya dari pemerintah terdahulu. Karena bagaimana pun mereka pernah ikut berjuang mengharumkan nama Indonesia di kancah olahraga regional maupun internasional.
Ohya, sebelum saya menutup artikel ini, secara kebetulan saya menerima postingan tentang Hendrik Brooks. Seorang pahlawan olahraga cabang Balap Sepeda Asian Games 1962 yang ketika itu berhasil menyumbangkan 3 medali emas untuk Indonesia. Kini Hendrik Brooks telah berusia 77 tahun, memerlukan perhatian dan bantuan dari pemerintah karena mengalami kebutaan dan diabetes.
Dari postingan yang saya terima, alamat Hendrik Brooks ada di Gang. Rawasalak, masuk dari Jln Bhayangkara, Kota Sukabumi.
Mungkin bila ada pembaca yang berdomisili di sekitar daerah tersebut dapat memeriksa kebenaran berita tersebut ataupun meneruskannya ke Kemenpora agar dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Trailer Pemerintah Jamin Kesejahteraan Atlet
Menpora Umumkan Rosan Roeslani Sebagai CdM Indonesia untuk Olimpiade 2020
Indovoices.com - Menpora Zainudin Amali mengumumkan Rosan Roeslani sebagai Ketua Kontingen (Chef De Mission) Indonesia Pada Keikutsertaan Olimpiade Tahun 2020....