“Anak-anak mengenakan seragam pawai bercadar dan menenteng senjata itu mengangkat tema” Perjuangan Bersama Rosulullah Untuk Meningkatkan Iman dan Taqwa”. Bukan menunjukkan hal yang berbau teroris yang dimaksud warganet, saya minta maaf kalau memang saya salah,” tegasnya saat ditemui wartawan.
“Saya selaku ketua panitia minta maaf, merasa lalai tidak melakukan selektif peserta pawai budaya ini, dan akhirnya acara pawai budaya dari peserta menggunakan baju cadar bertema pasukan Rosulullah saat memerangi orang kafir,” jelasnya.
Pawai budaya diviral pawai peserta menggunakan baju bercadar dan menenteng replika senjata Laras panjang ini, menuai protes warganet.
Pawai budaya TK dan PAUD se-Kota Probolinggo mendadak viral, karena salah satu pesertanya mengenakan cadar hitam serta menenteng replika senjata. Pawai yang digelar, Sabtu 18 Agustus 2018 pagi, melintasi jalur protokol Kota Probolinggo, mulai Jalan Panglima Sudirman (depan Pemkot)-Jalan Suroyo-hingga Alun-alun Kota.
Wajah bocah-bocah kecil yang lucu dan polos ini tertutup cadar hitam, sehingga tidak terlihat tawa riang dan kegembiraan mereka saat berjalan beriringan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Tangan-tangan kecil itu menggenggam replika senjata api, bukan bendera warna-warni atau kembang gula yang disembunyikan dibalik baju.
Pawai budaya yang tidak lazim dan menimbulkan keprihatinan banyak orang. Disadari atau tidak, banalitas ini sudah diperkenalkan sejak usia dini, dengan merepresentasikan cadar dan senjata api sebagai jihad. Walau hanya berupa replika, sebagian besar kita menganggap senjata adalah bagian dari kekerasan, dan dalam kondisi tertentu sebagai bentuk kekejaman.
Ada pola pikir yang mulai bergeser dalam memaknai keimanan dan ketaqwaan dizaman merdeka ini. Mereka yang mengidentikkan perang dan agama sebagai satu kesatuan, akan bersikap permisif terhadap hal-hal yang berbau kekerasan. Dalam persepsi yang sempit, persekusi dan intoleransi akan dianggap sebagai bagian dari agama itu sendiri.
Bicara tentang kemerdekaan saat ini, banyak orang lupa bahwa tujuan besar dari kemerdekaan adalah PERSATUAN. Mempersatukan 17.505 pulau, 247 suku, dan 6 agama dalam satu rumah, yaitu Republik Indonesia. Jangan menafikan fakta bahwa kemerdekaan ini bukan hasil perjuangan dari satu golongan saja, tapi hasil perjuangan komunal yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari Sabang sampai Merauke.
Alih-alih merasa bangga pada keberagaman yang kita miliki, justru perbedaan ini malah membuat semakin maraknya sentimen mayoritas terhadap minoritas, sentimen agama yang entah dimulai dari mana dan dari siapa.
Perang Badar, perang Uhud, perang Tabuk, dan perang-perang besar Islam sudah selesai. Rasulullah SAW telah membuat fondasi yang kokoh bagi pengikutnya, membawa panji kebesaran Islam keseluruh penjuru dunia. Sejarah perjuangan beliau dan para sahabat dimasanya, adalah perjuangan yang kini bertranformasi dalam bentuk syi’ar dan dakwah, menegaskan bahwa Islam menjadi besar dan mulia tidak selamanya dicapai dengan jalan perang. Senjata bukan satu-satunya sarana untuk meraih kejayaan, karena Islam terus bergerak maju, mempelopori ilmu pengetahuan, memberi petunjuk dan tuntunan yang relevan dengan perkembangan zaman.
Ingatkan anak-anak ini pada kelembutan sifat Rasulullah, pada keadilan, kebijaksanaan, dan sifat welas asihnya terhadap sesama, bahkan disaat sedang berhadapan dengan orang-orang kafir. Jangan gelorakan semangat perang dimasa damai ini. Jangan perkenalkan jiwa-jiwa yang masih suci ini pada kekerasan fisik dan lisan, meski hanya dalam cerita, atau sekedar bermain-main.
Pedang adalah simbol perjuangan Rasulullah SAW demi tegaknya Islam.
Warisannya adalah perdamaian dunia, dan wasiatnya adalah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Jangan keliru menafsirkan jihad!