“Di Jepang Anda bisa melihat banyak tempat sampah di jalan-jalan umum,” ujar seorang kawan saat
saya baru saja mendarat di bandara Narita, Tokyo.
“You belum tahu ya, bahwa di Indonesia tempat sampah itu di sepanjang jalan, bahkan wc umum pun
ada di setiap sungai,” jawab saya.
Saat mengantar anak saya sekolah, saya melihat dengan mata kepala sendiri seorang yang sedang
membuang sampah di sungai seenaknya saja, padahal, beberapa meter dari tempatnya membuang
kotoran, ada tumpukan karung berisi lumpur dari sungai yang baru dibersihkan. Miris.
Ketika Ahok dan jajarannya membersihkan sungai-sungai di Jakarta, mereka menemukan ada warga
yang membuang kasur busa. Bayangin. Bagaimana Jakarta tidak banjir jika sampah yang dibuang ukuran
jumbo begitu?
Ketika berada di Perth dan sedang memancing bersama seorang teman, saya berkata, “Kalau di
Indonesia, kita bukan saja mendapat ikan saat memancing di sungai, tetapi juga sandal jepit sampai
kompor.” Ucapan saya itu disambut tawa meriah dari sahabat yang sudah sekian puluh tahun menetap
di negeri kanguru ini.
Apa sebenarnya yang jadi problem di Indonesia? Mental. Itu sebabnya Jokowi mencanangkan program
Nawacita yang harus didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita perlu pertobatan nasional. Mengapa
saya katakan begitu?
Begitu kita menginjak ke negara jiran—katakanlah Singapura—alam bawah sadar kita langsung berkata,
“Jaga kebersihan. Jika tidak, didenda.” Maka orang-orang Indonesia langsung tertib begitu menginjak
negara singa ini. Namun, tidak lama. Begitu kembali ke Indonesia, mereka begitu gampangnya
membuang tissue dan kulit pisang ke luar jendela mobil. Jorok.
Bukan hanya jalanan yang menjadi tempat sampah terpanjang, melainkan sungai. Saat saya menulis
opini ini, di perumahan saya sedang ada pengerjaan gorong-gorong. Saluran got—sungai kecil—di depan
perumahan dibongkar dan diganti dengan box culvert. Saat alat berat mengangkat kotoran—yang
diharapkan lumpur dari got—yang ikut terangkat berbagai jenis sampah plastik yang tidak bisa diurai
sampai ribuan tahun.
Pengawasan melekat jauh lebih penting ketimbang pengawasan dari luar. Belum sebulan kota
saya—Surabaya—mempelopori pemasangan CCTV di banyak perempatan jalan. Uji coba pertama di
depan jalan perumahan saya. Dalam sehari, ratusan orang melanggar. Mereka didatangi petugas dan
diminta kesadarannya untuk tidak mengulang. Sejak itu, angka pelanggaran terus menurun drastis.
Apakah efektif? Untuk jangka pendek ‘ya’. Untuk jangka wallahu a’lam.
Saya lebih percaya dengan pengawasan via hati nurani kita sendiri. Sebagai dosen di sebuah kampus,
saya mempunyai kebiasaan yang saya terapkan. Setiap kali ujian, mahasiswa tidak saya tunggui. Agar
mereka tidak mencontek, saya tulis di kertas ujian: “Dosen bisa Anda tipu, Tuhan tidak!” Dari
pengalaman empiris saya, ternyata cukup efektif.
Ketika menjadi pembicara di sebuah fakultas kedokteran di kampus top tanah air, di dindingnya ada
tulisan yang baik: “God is watching, give Him a good show!” Wow.
Kisah di bawah ini bisa menggambarkan efektivitas cara itu. Seorang bapak bersama anaknya sedang
berada di jalan yang sepanjang kiri kanannya ditanami semangka. Tiba-tiba bapak itu menghentikan
mobilnya di tepi jalan dan berpesan kepada anaknya: “Nak, tolong awasi muka belakang, kiri dan kanan
ya. Kalau ada orang cepat beritahu Bapak.”
“Kok Bapak tidak minta saya melihat ke atas?”
Seketika bapaknya urung mencuri semangka. Hati nuraninya berteriak lebih kuat ketimbang rasa haus
dan keinginannya untuk mencuri.
Mari kita jaga Indonesia tercinta dengan hati nurani yang jadi panglima.
Xavier Quentin Pranata, dosen, penulis, dan pembicara publik.