Pelajaran bahasa adalah pelajaran yang paling saya sukai sejak kecil. Baik bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun bahasa asing. Meskipun nilai mata pelajaran ini tidak terlalu bagus, tetap kedua orang tua saya sangat bangga. Saya memang suka menulis atau mengarang, tapi lebih menyukai seni sastra, teristimewa tentang peribahasa.
Bagi saya, peribahasa mengajarkan bagaimana hidup bijaksana, meskipun kadang penuh dengan sindiran tetapi banyak juga kata-kata yang membangun. Peribahasa juga mengajak kita berpikir akan makna yang tersirat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Peribahasa bagaikan suatu ikatan bahasa yang padat dan indah, itulah sebabnya peribahasa selalu diingat dan melekat di hati setiap orang termasuk di hati saya.
Peribahasa juga bersifat universal, semua bangsa di dunia pasti memilikinya. Sebuah peribahasa yang terbentuk dari budaya mereka sendiri, Italia pun memilikinya. Peribahasa juga menjadi salah satu alasan mengapa saya tetap semangat belajar bahasa Italia. Meskipun mengalami kesulitan dan sering kali ingin menyerah, tapi kalau materi yang dipelajari tentang peribahasa (proverbi), ungkapan (modo di dire) atau kata mutiara (aforismi), semangat belajar saya kembali muncul.
Suatu hari saya bertemu dengan tetangga sebelah rumah, seorang nenek berusia 79 tahun. Beliau sangat saya hormati dan saya anggap sebagai salah satu guru bahasa Italia saya. Setiap kali bertemu, kami bercerita topik apa saja, kadang kucing lewat di depan kami pun bisa menjadi bahan obrolan. Di usianya yang hampir berkepala 8, sorot matanya masih jelas dan ingatannya masih sempurna.
Kali ini kami membicarakan tentang gelombang imigran yang akhir-akhir ini membanjiri Italia. Topik yang sangat sensitif dan serius, selalu menjadi pembicaraan yang hangat baik di surat kabar maupun televisi. Bahan gorengan yang renyah bagi para politikus negeri ini, apalagi jika dibumbui keju Parmigiana Reggiano, makin gurih dan laku di pasaran kampanye politik benua biru.
Sayapun memulai pembicaraan dengan sebuah peribahasa,“ rumput tetangga tidak selalu kelihatan hijau”. Seandainya mereka yang datang mengenal peribahasa ini mungkin akan lain ceritanya. Lebih baik mati di laut daripada pulang kembali ke negeri sendiri, sungguh suatu prinsip yang keliru. Akan lebih baik hujan batu dinegeri sendiri daripada hujan emas di negara orang. Mangan ora mangan sing penting ngumpul.
Sebenarnya menjadi pendatang juga tidak salah, asal memegang prinsip seperti peribahasa, “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Datang karena diundang dan mengikuti semua aturan yang berlaku di negeri yang didatangi. Seperti sebuah kiasan antara tuan rumah dan tamu. Meskipun di undang, sikap dan tingkah laku tetap harus dijaga. Maka tuan rumahpun akan senang dan menjamu dengan bahagia.
Masalah imigran memang bagaikan buah simalakama buat Italia. Dimakan ibu yang mati , tidak dimakan bapak yang mati. Jika tuan rumah sibuk mengurus tamu tak diundang yang merepotkan, maka proteslah seisi rumah karena merasa tidak diperhatikan. Rumah menjadi tidak nyaman, penuh pertengkaran dan kesalahpahaman ujung-ujungnya perceraian.
Sebagai tuan rumah, Italia sebenarnya telah melakukan banyak hal. Selain kesabaran dan tenaga, pikiranpun sudah banyak dicurahkan. Kedua putri saya beberapa bulan lalu menjadi sukarelawan kegiatan sosial antar bangsa. Sebuah kegiatan yang membagikan satu paket sarapan pagi dan keperluan lainnya untuk para pendatang yang tidak punya rumah dan pekerjaan.
Setiap hari minggu , mereka bangun pagi , menyiapkan puluhan paket roti, teh dan kopi hangat. Menyusuri jalanan sekitar stasiun kereta api sentral Milan, di pagi hari yang dingin, sambil menarik tas dorong yang penuh makanan. Mendatangi mereka satu persatu dan menyapanya dengan ramah. Dibalik selimut yang hangat merekapun menjawab dengan senyuman, tapi banyak pula yang diam membisu tanpa kata. Seringkali ketulusan dan kasih yang mereka lakukan, dibalas dengan rasa takut dan curiga tanpa alasan.
Usaha dan upaya yang lebih besar telah dilakukan Pemerintah Italia. Dari tenaga, dana atau mungkin nyawa, memyelamatkan mereka yang jatuh ke laut karena kapalnya karam. Membawanya ketempat yang aman dan menyediakan tempat penampungan yang nyaman. Meskipun ini bukanlah jalan keluar yang terbaik dan selalu menjadi bahan perdebatan tanpa ujung.
Masalah tenaga kerja asing, pemerintah Italia mempunyai kebijakannya sendiri sejak lama. Di wilayah Italia selatan contohnya, dimana banyak perkebunan dan pertanian yang membutuhkan banyak pekerja asing. Peraturan-peraturannya sangat jelas dan mengikat, dan undang-undang negarapun melindunginya. Sedangkan untuk perjanjian suaka karena alasan perang atau konflik, ada peraturan lain yang ditandantangani bersama dengan negara-negara UE dalam perjanjian Dublin I dan II.
Jika ada perjanjian bersama, seharusnya Italia tidak sendiri menghadapi masalah ini, seperti peribahasa, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing“. Tetapi Nenek tetangga berpendapat lain. Menurutnya, negara-negara UE di luar sering menggunakan politik mercusuar kemanusiaan, tetapi di dalam menggunakan politik bulu ayam. Kemudian Nenek memperjelasnya dalam sebuah perumpamaan.
Suatu hari seorang Raja mengumpulkan rakyat yang dicintainya dan bertanya: “Wahai rakyatku sekalian, apakah kalian mengasihiku? “
Rakyatnyapun menjawab: “iya Tuanku.“
Rajapun kembali bertanya: “apakah kalian semua mau berkorban untukku?“
Kembali rakyat menjawab: “iya Rajaku.”
Raja melanjutkan perkataanya: “Sebenarnya saya sedang sakit parah dan saya membutuhkan satu buah jantung. Siapa diantara kalian yang mau memberikan jantungnya padaku?”
Dan semuanya menjawab: “saya! saya! saya!”
“Baiklah,” kata sang Raja, “saya akan menjatuhkan bulu ayam ini, dimana dia jatuh, orang itulah yang akan saya ambil jantungnya.”
Saat bulu ayam dijatuhkan, semua rakyatnya sibuk meniupnya supaya tidak jatuh diatas kepalanya.
Diakhir obrolan kami, nenek mengambil sebuah koran dan menunjukkan kepada saya berita kriminal. Gerakan tangan dan raut wajahnya menunjukan rasa takut dan kekuatiran yang dalam. Saya juga mengerti tapi kehilangan kata-kata untuk membela diri karena kali ini saya tidak setuju dengan istilah, “sesama bis kota dilarang saling mendahului”. Akhirnya saya juga pamit diri sambil berkata, “maafkan kami Nek, membuat Nenek hidup dalam ketakutan di negeri sendiri. Tapi percayalah , masih banyak diantara kami yang mempunyai budi pekerti dan baik hati, yang tidak tahu diri, nanti juga kena karma sendiri.” Arrivederci…
Trailer mengenai Imigran di Italia