(sumber gambar : https://publicdomainvectors.org/id/tag/badut )
Sabana,
Kalau ia kecil dan mampu dilempit di bawah bedak, mungkin surat ini sudah lama ku simpan rapat-rapat. Aku hanya malas menulis panjang-panjang, Bana. Untuk apa habiskan tinta kalau segalanya masih ringan bersayap. Semesta tak terbatas pada dahi dan deretan gigi. Huruf-huruf yang lari dari garisnya itu, hanya menyusahkan. Membawaku lelap kembali di pinggir pantai dan menemui auramu dipeluk gaduh. Aku cemburu dan jariku sibuk menata. Biar ku cairkan mereka dan ku poles lekat-lekat di wajahku. Tak ada huruf.
Soal menata, anggap saja saat ini aku ada di balik pintu kamar dan membenahi baju pengap yang selalu kebesaran. Bola merah di kantung kanan dan sarung tangan di kantung kiri. Gelisahku ada di antara rambut palsu warna merah. Kau bilang lucu sekali kalau aku berdandan layaknya badut profesional dan main perosotan. Sepatu yang diisi dengan pelukmu terasa penuh. Empuk. Kalau masih ada ruang, paling-paling hanya sepi yang mengambil alih, hidup jadi tatapan aneh ketika kau tunggu aku di bawah bianglala. Menerka apa yang ku tangkap. Sesungguhnya Bana, hanya rupiah yang mengalir dari tawa anak-anak. Sampai aku jadi raja di pasar malam. Yang paling terkenal. Tunggal di keramaian.
Namun, Bana, ada sesuatu yang tak dapat ku jelaskan tentang diriku. Aku merasa terperangkap dalam waktu dan kelahiran yang salah. Ada gejolak yang tumbuh dari dalam diriku dan aku tahu bahwa ini akan menyakitimu. Di satu waktu aku ingin mengungkapkannya padamu, namun, aku takut kamu akan pergi setelah benar-benar tahu siapa aku, dan siapa kelak aku akan menjadi.
Aku takut, Bana. Aku takut tidak ada penerimaan bagi orang yang hancur sepertiku,
Namun ketika aku telah yakin akan jalan hidupku, aku pasti akan kembali dan menjadi seorang badut seperti dahulu lagi. Aku akan kembali, sekali lagi, dan tidak pernah pergi. Percayalah.
Stepa.
***
Kotak pos kusam yang dinding-dindingnya mengelupas sudah berdusta padaku ratusan kali. Namun kali ini, ia menggenapi janjinya untuk mengantar surat usang milik lelaki yang tak asing lagi. Stepa. Aku hanya tenggelam di kursi goyang yang kaki-kaki nya mulai letih, dan merajut telapak meja. Manusia kepala empat yang memilih kawin dengan penantian, dan berharap ada orang yang mengetuk pintu rumah dengan dua kemungkinan: membeli telapak meja hasil rajutanku, atau seorang lelaki yang berdiri dengan baju badut.
Sehari sebelum Stepa menghilang dan pergi dari rumah, aku menemukan tumpukan pakaian wanita di dalam lemari miliknya. Aku berpikir saat itu bahwa Stepa hanya membutuhkan baju-baju itu untuk properti: sebuah gaun panjang berwarna ungu, rok dengan motif bunga-bunga, seperangkat alat make-up, kucir rambut, dan segala aksesoris perempuan lainnya. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa ada kekhawatiran besar di dalam diriku. Sesaat setelah ia pulang dari pasar malam, aku menunggunya di pintu kamar.
“Stepa, milik siapa semua barang itu?”
Ia terkejut. Air wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Ia terpaku, masih dengan baju badut yang dikenakannya.
“A..a..ku.. itu, itu semuanya..” ia menjawab dengan tergagap.
“Ya?” aku mencoba menegaskan nada bicaraku.
“Itu milikku. Aku akan bermain drama. Sebuah teater besar dan kelak aku akan mendapatkan banyak rupiah. Aku menerima, sekalipun mendapat peran sebagai seorang wanita.”
Sontak aku menutup mulutku dengan sebelah tangan. Aku telah berburuk sangka kepadanya. Aku mengira, ia berselingkuh. Aku mengira, ada wanita lain. Tapi ternyata, aku salah.
“A..apa? Teater? Teater besar?” aku bertanya sekali lagi, aku sungguh terkejut.
“Betul, Sabana. Sebenarnya, aku tidak ingin memberitahumu saat ini. Aku menyiapkan kabar ini sebagai kejutan.”
“Stepa.. aku minta maaf. Jadi, sungguh sebuah teater? Maafkan aku yang sempat berburuk sangka. Aku mengira ada wanita lain.” aku bicara dengan nada pelan, sedikit menyesal.
“Tentu tidak, Sabana. Tidak ada wanita lain.” Ia bicara menegaskan, dan aku memeluknya.
***
Namun malam ini, aku ingin tampil beda, sebagai bentuk perayaan bagi kotak pos yang tak lagi berdusta. Bagi aku yang mampu menghirup udara lebih banyak, karena suratku yang kini terbalaskan. Aku mengambil sebuah gaun berwarna hitam, dan mengenakannya di depan cermin. Aku tertawa kecil melihat diriku yang seolah kembali muda. Terbesit aku yang dahulu sering pergi ke pasar malam dekat rumah bersama Stepa. Ia mengenakan baju badut, menghibur anak-anak pasar demi menghidupi dirinya sejak kedua orangtuanya meninggal. Aku betul-betul bangga dengan Stepa. Meski tiba-tiba ia menghilang setelah meninggalkan secarik kertas dengan tulisan maaf karena aku harus pergi. Aku sungguh butuh waktu sesaat. Kamu bisa mengirim surat ke alamat ini. Saat itu aku sedih, Terpuruk. Kehilangan. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa ia tak pernah membalas, kecuali sore ini. Bertahun-tahun ku kirimi ia surat ke alamat yang pernah ia beritahu. Namun ia tak membalas. Aku pernah diam-diam mendatangi alamat yang ia beritahu, namun yang ada hanyalah rumah kosong tak berpenghuni. Apakah Stepa berbohong soal alamat itu? Bahkan ia tak lagi ada di pasar malam. Entahlah, mungkin ia sudah menemukan pasar malam yang lebih ramai di tempatnya sekarang, dan lebih menghasilkan banyak rupiah. Yang tersisa kini hanya satu: keyakinanku bahwa ia akan kembali.
***
Aku melangkah sedikit demi sedikit dengan sesak yang mengalir di dada. Sudah lima tahun aku tak pergi ke pasar malam. Terakhir kali aku pergi ke tempat ini saat usiaku masih tiga puluh lima tahun. Itu pun hanya beberapa menit, karena tujuanku mencari Stepa. Pasar ini semakin ramai. Barang-barang yang diperjualbelikan beraneka ragam. Ada makanan, baju-baju, perhiasan, dan juga oleh-oleh. Lampu warna-warni turut menghiasi aneka permainan anak-anak. Ada banyak badut di sini.
Aku memutuskan berkeliling dan membeli gulali merah jambu. Aku juga singgah di berbagai permainan anak-anak, menyaksikan anak-anak kecil yang asik naik bianglala dan melambaikan tangan pada kedua orangtua mereka saat berada di puncak. Ada pula kawanan anak muda yang naik kora-kora kecil di sebelah rumah hantu. Terpancar ekspresi bahagia dari wajah mereka. Aku jadi ikut senang. Seketika aku tertarik melihat aksi seorang badut di pojok pasar malam yang sibuk menghibur anak-anak. Mereka semua tertawa melihat tingkah polah sang badut yang lucu. Aku jadi ingat Stepa. Apa mungkin Stepa ada di sini?
Tiba-tiba..
BRUG!
‘Dasar pencuri!’ tiba-tiba seorang penjual baju wanita bersama kawan-kawan nya menyerbu seorang waria di tengah pasar malam. Seluruh pengunjung beralih melihat adegan itu. Aku mempercepat langkahku ke arah kerumunan.
“Ada apa, Pak?” aku bertanya pada seorang bapak tua yang diam di sisi kerumunan.
“Ada waria mencuri baju dan dipukuli.” ujar bapak itu berusaha tenang.
Aku tak dapat melihat jelas keadaan sang waria, karena ia tenggelam di tengah kerumunan orang banyak. Yang aku tahu hanyalah tangannya yang tergeletak. Namun tak lama kemudian, ada seorang badut yang datang menghentikan adegan tersebut. Badut dengan rambut palsu keriting dan baju yang persis seperti Stepa. Astaga, Stepa?
Aku segera berlari dan memegang pundak sang badut. Ia berbalik dan ternyata, pupus sudah harapanku. Ia bukan Stepa.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Mbak? Apa anda mengenal orang ini?” sang badut bertanya dengan nada pelan, seiring dengan orang-orang yang menyingkir dari kerumunan, meninggalkan waria yang kini babak belur dan tergeletak di tanah.
Entah mengapa, aku iba melihat waria itu. Aku berniat menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Ku pandangi dengan seksama wajah sang waria yang penuh dengan luka, hingga ia sedikit tersadar dan berkata,
“Sabana?” waria itu menyebut namaku. Aku terkejut.
“Stepa?”
***
Pikiranku melayang pada satu adegan kehidupan di masa lalu saat aku pulang dari sebuah acara reuni dan hendak menuju kamar. Aku berjalan dan menemukan pintu kamar tidak tertutup rapat. Betapa terkejutnya aku melihat Stepa mengenakan pakaian wanita. Berdandan cantik, amat cantik. Aku membuka pintu kamar dan berteriak kencang. Teater apa? Ia berkata teater telah usai, namun ia tetap berdandan layaknya seorang wanita? Aku terguncang. Aku marah. Namun Stepa menangis. Ia berkata saat itu bahwa ia hanya ingin menghayati perannya sekali lagi. Aku bingung. Aku sungguh bingung.
Stepa, lelaki yang hidup bersamaku. Bertahun-tahun lamanya.
Rupanya,
ia hanya ingin diterima dan dimengerti.
***
“Sabana?” waria itu menyebut namaku. Aku terkejut.
“Stepa?”
Badut? Apakah ia seorang badut?
Kali ini, aku yang tak kuasa menahan tangis.
Aku memeluknya.
Penulis: Sandra Deborah