Syukurin, kata itu yang saya cetuskan saat membaca berita mengenai pelaporan terhadap Fahri Hamzah, yang dilakukan oleh Kelompok Relawan Jokowi di Surabaya ke Mapolda Jatim, Selasa 26 Juni 2018.
Bagaimana tidak, salah satu tokoh terkenal dari Duo F ini sudah tidak diragukan lagi akan kenyinyirannya. Mungkin kalau ada kejuaraan nyinyir, duo F ini saya yakin akan menjadi juara satu.
Fahri sendiri, seperti yang mungkin sudah diketahui oleh pembaca, adalah satu-satunya anggota dewan non partai setelah sebelumnya didepak dari PKS. Namun anehnya masih mampu bercokol hingga kini, tanpa mampu tergantikan. Bisa dibilang ini adalah sejarah di dunia perpalementeran Indonesia.
Dalam sebuah acara Special Event Q&A Metro TV yang ditayangkan pada Selasa 22 November 2017, Fahri ternyata mengaku bahwa kebiasaannya nyinyir atau menurut istilahnya menyindir sesuatu yang dianggapnya ‘kurang pantas’ sudah terjadi sejak Ia kecil.
Tentu saja nyinyir walaupun terasa mengganggu, bukanlah sebuah kejahatan. Jadi sah-sah saja, bahkan ketika saya menulis artikel ini, saya juga menyadari kalau ini juga dapat dikatakan nyinyiran kepada Fahri Hamzah karena merasa ada yang “kurang pantas”.
Namun untuk “nyinyir” kepada Fahri Hamzah atau orang lain atau apapun juga, tentu saja kita harus memiliki bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga saat saya misalnya ditanya apa alasannya “nyinyirin” Fahri, saya sudah mampu menunjukkan, oh dasar saya adalah berita dari media yang memberitakan hal ini.
Tentu saja media yang dimaksud sebagai sumber berita harus memiliki kredibilitas yang terpercaya seperti detik, kompas, tribun dan sejenisnya. Jadi bukan asal ngejeplak seperti yang dilakukan oleh Fahri Hamzah.
Sebenarnya mungkin masyarakat juga sudah muak melihat nyinyirannya selama ini. Namun karena statusnya sebagai anggota dewan yang terhormat, nyinyirannya selama ini dianggap sebagai angin lalu tanpa ada laporan maupun tindakan yang diambil oleh masyarakat.
Namun kali ini si Fahri kena batunya, Fahri dilaporkan karena di sejumlah media menyebut Jokowi menghimpun fee proyek di berbagai daerah, sebagai bekal maju di Pemilihan Presiden 2019.
“Menurut kami, apa yang dikatakan Fahri Hamzah itu fitnah dan tidak berdasar. Ini upaya merusak nama baik Jokowi,” kata Koordinator Tim Relawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, Sapto Raharjanto, di SPKT Polda Jatim.
Dan saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Sapto Raharjanto. Walaupun anggota dewan memiliki hak menyatakan pendapat dan dilindungi oleh Undang-Undang. Namun ada etika yang harus dijaga, apalagi bila kata-kata yang disampaikan selain tidak ada bukti, juga sangat tendensius. Bahkan bisa dibilang sebagai tuduhan yang sangat serius. Bagaimana tidak? Menuduh Jokowi menghimpun fee itu sama dengan menuduh Jokowi memperkaya diri sendiri.
Tentu saja bukan Fahri namanya kalau tidak bisa ngeles saat dikonfirmasi oleh wartawan terkait laporan tersebut. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membantah pernah menyebut Presiden Joko Widodo menghimpun fee proyek di berbagai daerah sebagai bekal maju pada Pemilihan Presiden 2019.
“Saya tidak lagi berbicara tentang pribadi Presiden. Saya sedang menanggapi fundraising system dan dikaitkan dengan political financing,” kata Fahri kepada Kompas.com, Selasa 26 Juni 2018.
Tentu saja Fahri boleh berkilah apapun. Toh bukti-bukti sudah diserahkan oleh kelompok Relawan Jokowi, dan saat ini sedang dalam pemeriksaan polisi. Apakah Fahri ada menyebut nama Jokowi atau tidak, tentu akan ketahuan dari hasil pemeriksaan tersebut.
Jika Fahri tidak dapat membuktikan tuduhannya tersebut, maka Fahri Hamzah akan dijerat dengan pasal 311 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal Empat Tahun. Saat itu, tergantung kesetiaan F yang satu lagi, apakah akan menunggu Fahri kembali untuk melanjutkan duet duo F atau mungkin lebih memilih bersolo karir. Menurut pembaca, dia akan pilih yang mana?