Turut berduka atas kecelakaan kapal Sinar Bangun. Saya kira tidak ada yang ingin celaka. semuanya ingin selamat sampai tujuan.
Nakhoda kapal, pasti juga punya anggota keluarga sanak famili yang menanti dirumah, tak mungkinlah ingin mati konyol…
Pengelola kapal, ya mungkin kali ini nahas. Tetapi ingat! mereka telah berjasa membantu masyarakat desa disekitar Danau Toba beraktivitas selama bertahun-tahun.
Bayangkan, hanya dengan Rp 8000, warga desa sudah bisa menyeberang pulau untuk mencari nafkah, menjual hasil panen, sekolah dan juga sejumlah aktivitas ekonomi lainnya.
Tak jarang jasa kapal ini juga dimanfaatkan oleh wisatawan yang hendak berkeliling menikmati pemandangan danau Toba.
Pendek kata, pengelola kapal punya kontribusi yang cukup besar dalam rangka menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar danau.
Para penumpang juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Hari itu sudah sore menjelang malam, mereka pasti capek dan ingin segera sampai dirumah. Sangat mungkin juga itu adalah kapal terakhir pada hari itu yang akan menyeberang sehingga meski berdesak-desakan, mereka tetap berangkat.
Lagipula tidak ada “warning” dari Sang nakhoda bahwa cuaca buruk dan kapal over kapasitas.
Lalu kita mau menyalahkan siapa! Nakhoda? Pengelola kapal? Penumpang?…
Tentu kurang bijak mencari siapa yang bersalah ditengah suasana duka seperti ini. Tetapi kalau boleh, ijinkan saya sedikit saja menyesalkan minimnya peran dan kontrol pemerintah dinas terkait dalam kecelakaan kapal ini.
Kapal yang tak dilengkapi alat keselamatan, tanpa manifes penumpang, kapasitas yang dipaksakan, lambatnya pertolongan, tak adanya alat komunikasi atau sinyal tanda bahaya membuktikan satu hal : pemerintah abai terhadap wisata danau Toba.
Tahun 2008 yang lalu saya pertama kali mengunjungi danau Toba. Sepuluh tahun kemudian datang ke tempat yang sama, nyaris tidak ada perubahan. Sepuluh tahun loh!!
Jalannya masih begitu-begitu aja, kapal wisatanya pun masih yang itu-itu aja, desa Tomok dan tempat berjualan souvenir tak teratur, makam raja Sidabutar tak terurus, tour guide pun ala kadarnya, masih sama persis alias tidak ada kemajuan.
Bukan saja Danau Toba, saya juga berkesempatan mengunjungi kampung istri di desa Selayang untuk pertama kali. Sepanjang perjalanan kesana dengan bangga istri bercerita ini dulu sekolah saya, dulu sering makan disini, itu es dawet kesukaan kami dulu, inilah balai desa kami, inilah pekan (pasar) dulu kami belanja bla..bla..bla.
Sambil senyum saya celetukin “kalau kamu masih hafal, berarti kampung ini masih sama persis dengan kampung kamu 20 tahun yang lalu, artinya tidak ada pembangunan tidak ada perubahan…” istri sewot…?
Dari dua pengalaman ini saya simpulkan: Memang tidak ada perubahan yang berarti di Sumatera Utara!
Dan setelah kecelakaan kapal motor ini terjadi, ketika seluruh mata memandang ke danau Toba, barulah tersingkap semua kedoknya: “ternyata danau Toba tak seindah yang digembar-gemborkan”. Dari kejauhan indah eh ternyata dari dekat banyak “borok”nya…
Sekarang barulah semua tersadar betapa buruk dan memprihatinkan pengelolaan kawasan wisata danau Toba. Pemerintah daerah yang seharusnya memaksimalkan potensi wisata danau terbesar di Asia ini, gagal menjalankannya perannya.
Tidak ada kata terlambat, menyesalpun tiada guna, lalu apa yang harus kita lakukan? lebih baik segera bergerak melakukan sesuatu untuk perubahan Sumatera Utara. Bagaimana caranya? 5 hari lagi jangan golput, pakai baju yang terbaik, datang ke TPS, coblos
pasangan Djoss Djarot-Sihar dengan satu keyakinan: Sumut pasti berubah!
Setelah coblos kumisnya pak Djarot, tunjukkan jarimu yang ada tintanya, foto dan upload di Facebook juga boleh…hehe
Dan jangan lupa, 2019 pilih Jokowi lagi!
Om, jangan golput ya, Om!