Indovoices.com –Peristiwa penangkapan seorang pemuda, akibat menuliskan komentar terkait walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka di media sosial, dikritik oleh aktivis HAM sebagai upaya polisi yang tak sesuai prosedur hukum.
Menurut catatan SAFEnet, setidaknya 125 pemilik akun sudah ditegur oleh polisi virtual sejak mulai beroperasi Februari lalu.
Namun penangkapan ini adalah yang pertama mendapat sorotan luas karena melibatkan Gibran, putra Presiden Joko Widodo.
Polisi mengatakan penangkapan ini tak dilakukan semata-mata karena sosok Gibran, tapi demi menciptakan apa yang mereka sebut sebagai ruang digital yang sehat.
Gibran sendiri mengaku tidak pernah melaporkan pemuda itu.
Alasan edukasi
Permintaan maaf pemilik akun arkham_87, yang ditangkap karena dituding menyebarkan hoaks, diunggah dalam media sosial Polresta Surakarta.
“Saya meminta maaf pada Bapak Gibran Rakabuming Raka dan seluruh masyarakat kota Surakarta. Saya menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi.
“Apabila saya mengulanginya, sanggup diproses sesuai hukum yang berlaku.”
Sebelumnya, ia berkomentar di sebuah akun @Garudaevolution, yang mengunggah foto Gibran dengan tulisan, “Ingin Semi Final dan Final Piala Menpora di Solo?”
Solo adalah tempat penyelenggaraan kickoff Piala Menpora pada hari Minggu mendatang.
Pada unggahan itu, pemilik akun arkham_87 itu menuliskan “Tahu apa dia soal bola tahunya cuma dikasih jabatan saja”, komentar yang berujung pada penangkapannya.
Ia dilaporkan tak segera menghapus cuitannya meski telah diperngitkan oleh polisi virtual melalui Direct Message.
Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan pada hari Selasa (16/03), bahwa pemuda itu tidak ditahan dan hanya dipanggil untuk dimintai keteringan dan diedukasi.
Ia juga membantah bahwa polisi bersikap anti kritik.
“Bedakan antara kritik, tendesi tertentu dan seterusnya. Kita bedakan karena yang bersangkutan itu mengatakan jabatan itu pemberian.
“Jadi kita beri edukasi karena pilkada ini proses demokrasi yang panjang,” kata Ade Safri, sebagaimana dilaporkan oleh Fajar Sodiq di Solo untuk BBC News Indonesia,
Ia juga membantah bahwa penangkapan ini terjadi karena melibatkan Gibran.
Polisi, katanya, sudah melakukan hal serupa kepada pihak-pihak yang dituding menyebarkan hoaks dan pesan kebencian dalam tiga kasus lainnya.
Tim polisi virtual, kata Ade, telah berkonsultasi dengan ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE dalam menghadapi kasus-kasus itu.
‘Tak pernah melapor’
Gibran sendiri mengaku dia tak pernah melaporkan pemuda itu.
“Saya dari dulu kan sudah sering di-bully, dihina, saya kan nggak pernah melaporkan satu pun sekali pun.
“Kan orangnya juga nggak dikenai pidana apa2, ya diedukasi saja. Semuanya dimaafkan saja, tapi ya tolong hati-hati kalau di sosial media,” ujarnya.
Terkait kritikan soal dia tak memahami sepak bola, Gibran mengatakan ia ingin agar kegiatan Menpora dilakukan di Solo demi membangkitkan ekonomi warga.
“Kalau kecintaan kita sama bola ya gede sekali,” ujarnya seraya membanggakan fasilitas sepak bola di wilayahnya.
Ia menambahkan tak sakit hati dengan kritikan di media sosial itu.
“Sekali lagi, saya itu nggak pernah sakit hati, baper atau melaporkan, saya nggak pernah loh melaporkan sekali pun.
“Semuanya dimaafkan. Yg mem-bully saya sekeluarga, bapak, ibu, semuanya dimaafkan,” katanya.
‘Tak sesuai hukum’
Peristiwa ini dikritik oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, yang menyebutkan tindakan kepolisian tak sesuai hukum.
Ia khawatir hal ini akan membuat banyak orang lebih mudah dikriminalisasi.
“Ini akan jadi justifikasi kalau orang dikriminalisasi ‘kan sudah diperingatkan, kamu aja yang nggak mau minta maaf’. Padahal yang menafsirkan harus minta maaf itu polisi.
“Artinya polisi mengambil ranah pengadilan. Di sini tidak ada proses hukum, yang mencakup gelar perkara, pemeriksaan, juga pembuktian. Kan proses polisi virtual nggak ada begitu, sepihak langsung di DM (direct message) [polisi virtual],” ujarnya.
Di sisi lain, Kapolresta Surakarta mengatakan apa yang dilakukan polisi virtual adalah demi mewujudkan keadilan restoratif, atau yang biasa dilakukan di luar pengadilan, demi menciptakan apa yang disebutnya sebagai ruang digital yang sehat dan bersih.
Polisi virtual sendiri dibentuk oleh Polri demi menekan kasus-kasus kriminalisasi akibat pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, menurut Asfinawati, ketua YLBHI, peristiwa penangkapan itu menunjukkan bahwa alih-alih mengurangi kriminalisasi, keberadaan polisi virtual malah bisa membuat ruang kebebasan berekspresi masyarakat semakin sempit.
‘Masyarakat takut berpendapat’
Menurut catatan Perkumpulan Pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara, SAFEnet, setidaknya 125 pemilik akun sudah ditegur oleh polisi virtual, sejak tim itu beroperasi akhir Februari lalu.
Direktur Eksekutif SAFE Net, Damar Juniarto, melihat apa yang dilakukan polisi virtual memasuki ruang pembicaraan publik terlalu jauh dan menyebabkan sejumlah masyarakat takut berpendapat di media sosial.
Ia menyebut negara bertindak seperti apa yang disebutnya sebagai ‘Orwellian State”.
“Indonesia menjadi Orwellian State yang terus-menerus memantau apa yang dilakukan warganya. Bila ada yang keliru, langsung dikoreksi.
“Ini justru malah menimbulkan ketakutan baru, di mana polisi bisa hadir sewaktu-waktu di ruang privat (digital) warga. Tanpa kehadiran polisi langsung saja, warga sudah jeri dengan ancaman UU ITE, apalagi dengan cara yang seperti ini,” ujarnya.
Alih-alih menjaring mereka yang menyatakan pendapat, Asfinawati, Ketua YLBHI menyarankan polisi virtual untuk fokus pada kasus-kasus kejahatan di media sosial, seperti penipuan daring.
“Kasus seperti penipuan pinjaman online itu kan banyak dilaporkan, tapi itu proses penegakan [hukumnya] nggak berjalan cepat, seperti ketemu tembok.
“Kenapa nggak fokus pada itu, kenapa malah mengarahnya ke kebebasan pendapat?” ujarnya.