Indovoices.com –Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra menilai, partai politik yang berjualan politik identitas sulit diharapkan di Indonesia, meski penduduk muslimnya termasuk terbesar di dunia. Hal ini karena politics behaviororang Islam sangat cair.
Dicontohkannya, lembaga survei Saiful Mujani pernah melakukan penelitian antara kesalehan seseorang dengan perilaku politiknya.
“Asumsinya semakin orang rajin salat, rajin ke masjid, rajin haji maka semakin besar kemungkinannya memberi suara untuk parpol berasas Islam,” kata Azyumardi Azra, di kanal YouTube Bravos Radio Indonesia.
Namun, hasilnya ternyata tidak seperti itu. Tidak ada hubungan antara kesalehan dengan pilihan politik.
Ditambahkannya, merujuk hasil Pemilu 1999 tampak makin lunturnya batas-batas antara mereka yang biasa disebut kelompok santri dan abangan.
Batas santri dan abangan dalam pilihan politik mencair sejak era 80-an.
“Saya kira ini hasil melunturnya batas-batas varian antara santri dan abangan. Batas-batas itu mencair sejak 80-an ketika terjadi proses-proses sosiologis, keagamaan, ekonomi, sosial politik yang cepat khususnya di masyarakat muslim,” tuturnya.
Dia menambahkan, walaupun mereka rajin ke masjid dan memakai jilbab belum tentu mereka memilih partai Islam.
“Saya pernah ketemu ibu-ibu dan anaknya yang pakai jilbab fotokopi KTP untuk mendukung Ahok, waktu dia maju sebagai calon independen. Bayangkan saja,” paparnya.
Jadi tidak ada hubungan antara meningkatnya kesalehan di antara masyarakat muslim dengan perilaku politik yang pro partai Islam.
“Buktinya apa, pada Pemilu 2019 tinggal dua partai Islam yang dapat suara yaitu PKS dan PPP. Kalau PKB dan PAN itu bukan parpol Islam tetapi partai asasnya pancasila,” ujarnya.
Kecenderungan politik identitas itu dinilai sudah meredup, sempat meningkat pada Pilkada DKI, tetapi setelah itu semakin terpecah belah.
Puncaknya ketika Prabowo menolak calon ulama untuk jadi cawapresnya dan mengambil Sandiaga Uno. Ditambah lagi saat Prabowo masuk kabinet.
“Jadi kekuatan politik identitas itu antara ada dan tidak ada,” katanya.
Namun politik identitas bisa muncul kembali jika ada figur seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
“Kalau mau politik identitas muncul lagi, dibutuhkan orang seperti Ahok.”
“Nah baru politik identitasnya muncul lagi. Kita lihat dalam Pemilu legislatif kemarin dan dalam pilkada mendatang tidak ada figur seperti itu, susah mencari figur yang berani seperti itu,” sambungnya.(msn)