Indovoices.com –Dengan lebih dari satu juta nyawa telah melayang dan miliaran lainnya di seluruh dunia berisiko terkena virus corona, vaksin diharapkan menjadi jalan keluar utama dari pandemi.
Berbagai negara rela mengeluarkan miliaran dolar untuk mendapatkan vaksin COVID-19. Hal ini membuat industri vaksin menjadi sangat prospektif dalam beberapa tahun ke depan.
Peluang Indonesia untuk menjadi pusat industri vaksin COVID-19 terbuka lebar dengan adanya tawaran dari Cina untuk menjadikan ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu sebagai rantai produksi dan distribusi vaksin Cina di kawasan.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan negaranya bersedia bekerja sama dengan Indonesia untuk “mempromosikan penelitian dan pengembangan, produksi dan penggunaan vaksin […] di kawasan dan bahkan dunia”.
Sampai dengan saat ini Indonesia menjadi tempat uji coba vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan vaksin dari Cina, Sinovac Biotech Ltd. Sinovac juga akan bekerja sama dengan perusahaan induk farmasi Indonesia, Bio Farma, untuk memproduksi vaksin COVID-19.
Peluang ini tidak hanya akan mendatangkan manfaat berupa akses terdepan dalam mendapatkan vaksin, tapi juga memungkinkan Indonesia untuk memperoleh keuntungan dari proses produksi dan distribusi vaksin.
Mendatangkan manfaat ekonomi
Memiliki akses terdepan untuk mendapatkan vaksin COVID-19 dapat membantu pemulihan ekonomi Indonesia yang saat ini terguncang akibat pandemi. Negara ini sedang bersiap memasuki resesi ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan negatif selama dua kuartal secara berturut-turut.
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati memperkirakan bahwa ekonomi akan mengalami penurunan hingga minus 2,9% pada triwulan ketiga 2020 setelah mengalami minus 5,32% di triwulan kedua 2020.
Jika masyarakat telah mendapat vaksinasi, aktivitas diharapkan dapat pulih seperti sedia kala dan ekonomi akan membaik. Di level global, potensi peningkatan pendapatan dari adanya vaksin virus COVID-19 mencapai US$ 9 triliun atau Rp 132.696 triliun pada 2025.
Sedangkan di Indonesia, penundaan setengah tahun program vaksinasi COVID-19 diperkirakan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi sangat besar mencapai US$ 44 miliar.
Akses terhadap vaksin COVID-19 tidak hanya akan menyelamatkan masyarakat Indonesia dan juga perekonomian. Jika Indonesia dapat memaksimalkan perannya sebagai pusat produksi dan distribusi vaksin COVID-19 untuk Asia Tenggara, maka Indonesia juga dapat memperoleh keuntungan.
Dengan total populasi 670 juta, kawasan Asia Tenggara merupakan pasar yang menarik bagi industri vaksin. Nilai total impor vaksin di kawasan tersebut mencapai US$ 223 juta pada 2010 dan meningkat hampir empat kali lipat menjadi US$ 859 juta pada 2019.
Statistik perdagangan Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia adalah eksportir vaksin terbesar di Asia Tenggara. Indonesia menghasilkan US$ 76,3 juta dari ekspor vaksin pada 2010 yang kemudian tumbuh 25,2% menjadi US$ 95,5 juta pada 2019. Singapura dan Thailand mengikuti Indonesia dengan nilai ekspor gabungan US$ 80,7 juta pada 2019.
Industri vaksin juga dapat menciptakan lapangan kerja baru. Survei manufaktur tahunan Indonesia menunjukkan bahwa industri vaksin menyerap lebih dari 1.500 pekerjaan pada 2018.
Perluasan industri tersebut dapat mendatangkan lebih banyak lapangan pekerjaan baru, meski jumlahnya kecil dibandingkan dengan 3,5 juta pekerjaan yang hilang selama pandemi.
Industri vaksin juga dapat membawa keuntungan ekonomi lainnya. Berdasarkan perjanjian kedua negara, Indonesia tidak hanya menjadi penyalur vaksin dari Cina untuk kawasan Asia Tenggara, namun juga berpartisipasi dalam proses produksi vaksin tersebut yang melibatkan bahan lokal. Artinya, Indonesia dapat menghemat devisa untuk impor vaksin.
Jika ingin mencapai kondisi kekebalan kelompok (herd immunity) dan menghentikan pandemi, Indonesia harus memvaksinasi setidaknya 50% dari populasinya.
Harga vaksin Sinovac dibanderol US$ 60 untuk dosis ganda vaksin atau dua kali suntik. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengeluarkan devisa impor setidaknya US$8,2 miliar untuk memvaksinasi 50% dari 273,5 juta penduduknya. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat nilai defisit perdagangan kita tahun lalu sebesar US$3,2 miliar.
Nilai tersebut hanyalah perkiraan awal. Biaya total sebenarnya mungkin lebih tinggi, tergantung pada tingkat efektivitas vaksin dan jenis vaksin (vaksin dosis tunggal atau dosis ganda). Jika efektivitas vaksin rendah, maka jumlah populasi yang perlu divaksinasi perlu lebih tinggi dari 50% untuk dapat mencapai kekebalan kelompok. Kemudian jika diperlukan vaksin dosis ganda, jumlah vaksin yang harus dibeli akan dikali dua.
Dengan memproduksi vaksin COVID-19 secara lokal, kebutuhan devisa impor dapat ditekan sehingga membantu memperbaiki neraca dagang kita. Indonesia ditargetkan memproduksi 250 juta dosis vaksin pada Desember 2021. Produksi tersebut melibatkan Sinovac sebagai penyedia vaksin, sedangkan Bio Farma Indonesia akan bertanggung jawab untuk pengemasan vaksin.
Jika Indonesia dapat menjual vaksin COVID-19 dengan unsur bahan lokal ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, maka tentu saja produk vaksin tersebut akan menghasilkan pendapatan bagi Indonesia.
Tantangan
Ada beberapa tantangan besar yang harus diatasi sebelum Indonesia dapat memperoleh manfaat sebagai pusat produksi dan distribusi vaksin COVID-19 buatan Cina di Asia Tenggara.
Pertama, ketidaksesuaian antara kapasitas produksi dalam negeri dan kebutuhan pasar di Asia Tenggara.
Saat ini Bio Farma memiliki kapasitas produksi 100 juta dosis vaksin dalam setahun. Perusahaan ini sedang berinvestasi sebesar US$ 88,6 juta untuk meningkatkan kapasitas produksinya hingga 250 juta dosis setahun pada 2021. Mengingat setiap orang akan membutuhkan setidaknya dua dosis, produksi vaksin tahunannya hanya akan cukup untuk 125 juta orang.
Bahkan dengan kapasitas yang telah ditingkatkan, Indonesia masih membutuhkan waktu beberapa tahun untuk memasok kebutuhan pasar domestik dan juga Asia Tenggara. Namun karena kebutuhan akan vaksin sangat mendesak, maka Indonesia akan segera meningkatkan kapasitas produksi industri vaksinnya.
Sejauh ini, kapasitas industri saat ini memang diprediksi tidak akan cukup untuk memproduksi vaksin COVID-19 hingga 2024.
Tantangan kedua adalah meningkatkan kandungan dalam negeri dalam produksi vaksin COVID-19. Jika indonesia hanya berkontribusi pada proses pengemasan, maka nilai tambah domestik yang diperoleh akan relatif kecil. Ke depan, Indonesia bisa memanfaatkan kerja sama dengan Cina dan mendapatkan transfer pengetahuan terkait produksi vaksin COVID-19.
Dengan dukungan dari Cina, pandemi ini dapat menjadi berkah bagi industri vaksin Indonesia untuk memasuki pasar Asia Tenggara.(msn)