Indovoices.com –Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, dalam pengembangan kawasan food estate atau lumbung pangan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) akan dibangun model bisnis berbasis korporasi pertanian.
“Bapak Presiden bahkan sedikit menekankan bahwa rakyat (petani) nantinya jangan jual gabah lagi, harus jual beras. Artinya semua harus hilirisasi dan industrinya harus dirancang dengan baik,” ujar Mentan.
Pernyataan tersebut Mentan sampaikan seusai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau progres food estate di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kamis (8/10/2020).
Sementara itu, untuk pengembangan lumbung pangan akan dilakukan secara terintegrasi mencakup berbagai komoditas, seperti tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan di suatu kawasan.
Sebelumnya, food estate merupakan upaya terobosan pemerintah dalam menyediakan tambahan stok pangan nasional dan mengantisipasi dampak pandemi Covid-19.
Adapun, Provinsi Kalteng menjadi salah satu lokasi pengembangan untuk program lumbung pangan tersebut.
“Sesuai arahan Presiden Jokowi, kawasan pengembangan food estatedi Provinsi Kalteng akan dijadikan sebagai lahan percontohan,” kata Mentan, seperti dalam keterangan tertulis.
Nantinya, lanjut Mentan, program ini turut menerapkan penggunaan teknologi pertanian modern, sehingga budidaya pertaniannya berbeda dari cara tradisional.
Mentan juga menambahkan, bahwa dalam proyek lintas kementerian ini, penerapan mekanisasi serta teknologi pertanian diharapkan dapat mengoptimalkan rawa menjadi lahan pertanian produktif dan meningkatkan produksi pertanian.
Kelompok tani (Kelota) akan menggarap lahan seluas 100 hektar (ha), sehingga nantinya lahan per 1000 ha akan di garap oleh gabungan kelompok tani (Gapoktan).
Selain itu, akan ada pula korporasi yang lebih besar lagi untuk lahan seluas 10.000 ha.
“Begitu banyak koreksi selama di lapangan. Kami (lintas kementerian) secara serentak akan turun menanganinya,” ujar Mentan.
Dalam hal ini, Mentan turut mengharapkan peran utama pemerintah daerah (Pemda), masyarakat Kalteng serta para bupati dalam penanganan pangan yang ada.
Pada kesempatan lain, Direktur Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Sarwo Edhy mengatakan, pengembangan kawasan food estate Kalteng dilakukan dengan teknologi optimalisasi lahan rawa secara intensif.
Adapun, penggunaan teknologi tersebut guna meningkatkan produk dan indeks pertanaman (IP).
Sarwo mengungkapkan, pihaknya akan memanfaatkan komponen teknologi dengan sebutan “Rawa Intensif, Super dan Aktual” (RAISA).
Arti RAISA, yakni menggunakan varietas unggul baru (VUB) potensi hasil tinggi, pengelolaan lahan, tata air mikro (TAM) pembenah tanah dan pemupukan berimbang.
Selain itu, lanjut Sarwo, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) terpadu dan mekanisasi pertanian juga termasuk komponen yang akan digunakan.
“Food Estate merupakan budidaya yang multi komunitas. Jadi, para petani tidak hanya dapat menanam padi, tetapi bisa menanam komoditas lain,” ujar Sarwo.
Komoditas lain tersebut antara lain, hortikultura, tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan, seperti tanam jeruk, pisang yang bisa di tanam pada pinggiran sawah.
Rencananya, untuk pengembangan food estate di Provinsi Kalteng akan digarap tahun 2020 dengan lahan percontohan seluas 30.000 ha.
“Rinciannya, lahan seluas 10.000 ha berada di Kabupaten Pulang Pisau, sedangkan untuk lahan seluas 20.000 ha berada di Kabupaten Kapuas,” terang Sarwo.
Lahan tersebut, lanjut Sarwo, adalah lahan intensifikasi, artinya memiliki jaringan irigasi yang sudah baik dari segi irigasi primer, sekunder maupun tersier.
“Lahan intensifikasi akan kami optimalkan di tahun ini dengan lahan seluas 30.000 ha,” tegas Sarwo.
Sementara itu, untuk sarana alat mesin pertanian pun disediakan dengan total mencapai 1.232 unit.
Sarana tersebut terdiri dari traktor roda dua, traktor roda empat dan transplanter. Selain itu, teknologi drone juga dihadirkan untuk menanam dengan sistem tabur.
Sarwo menjelaskan, ketersediaan sarana produksi untuk 30.000 ha pada tahun ini terdiri dari dolomit 1 ton per ha, herbisida 4 liter (l) per ha, pupuk hayati 4 l per ha, urea 200 kilogram (kg) per ha, dan Nitrogen, Phospor dan Kalium (NPK) 200 kg per ha.
Disamping itu, ketersediaan benih pun sudah tercukupi, meliputi benih padi, benih hortikultura (jeruk, kelengkeng, durian dan cabai), kelapa genjah, serta itik dan kandangnya.
“Dengan percontohan yang sudah kami buat ini, kami mendorong para petani Indonesia untuk merubah mindset. Dari pola bertani tradisional ke pola bertani secara modern, tentunya dengan menggunakan mekanisasi,” tandas Sarwo.(msn)