Indovoices.com –PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) sedang dalam masalah keuangan. Maskapai pelat merah ini membutuhkan dana segar untuk menyehatkan kinerja keuangannya. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari meminta bantuan negara, hingga pinjaman ke perbankan.
Sebenarnya, sudah sejak pertengahan Juli 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pemerintah memberikan pinjaman kepada Garuda Indonesia senilai Rp 8,5 triliun. Namun, memasuki bulan terakhir di triwulan III 2020, dana tersebut belum juga cair.
“Dana pinjaman belum diterima, masih klasifikasi. Sepertinya (pencairan pinjaman) masih jauh dari bulan ini, jadi triwulan IV,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra.
Garuda Indonesia sebenarnya butuh dana talangan tersebut cepat cair. Maskapai ini juga perlu secepatnya merealisasikan kewajiban pembayaran biaya-biaya operasional yang selama ini sudah tertunda, imbas dari kondisi pandemi virus corona atau Covid-19.
Sayangnya, dana pinjaman dari bank BUMN yang diharapkan Garuda Indonesia bisa didapat sebelum dana talangan cair, hingga kini pun belum terealisasi. “Bridging loan, belum juga ada,” kata Irfan.
Pemerintah baru saja menerbitkan aturan teknis mengenai investasi pemerintah dalam program pemulihan ekonomi nasional. Dengan begitu, dana talangan kepada lima perusahaan pelat merah, termasuk Garuda Indonesia bisa segera cair. “Setelah ada payung hukum, pencairan secepatnya,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo.
Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.06/2020. PMK itu diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan ditetapkan pada 31 Agutus 2020 serta diundangkan pada 2 September 2020.
Di dalam beleid tersebut, investasi pemerintah PEN akan bersumber dari dana APBN dan dapat berbentuk surat utang maupun investasi langsung. Untuk investasi langsung, yaitu pinjaman dari pemerintah ke BUMN dengan atau tanpa hak konversi dan/atau hak ekuitas lainnya.
Sementara, dengan skema surat utang, diterbitkan oleh penerima investasi yang tercatat dan diperdagangkan, maupun tidak, di bursa efek Indonesia. Investasi ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Surat utang ini juga dapat diterbitkan dengan hak konversi ke saham alias dalam bentuk convertible bonds (MCB). Adapun surat utang dengan hak konversi, juga harus memenuhi ketentuan mengenai penerbitan surat utang dan konversi surat utang menjadi modal saham dalam peraturan perundang-undangan.
PMK ini juga mengatur bentuk penyelesaikan investasi pemerintah yang dapat berupa penjualan investasi baik sebagian atau seluruhnya, konversi utang menjadi saham, pembayaran investasi pemerintah, dan bentuk lain atas persetujuan menteri. Investasi pemerintah ini memiliki masa jatuh tempo yang telah ditentukan.
Sembari menunggu pencairan dana dari pemerintah, Garuda Indonesia pun mencari alternatif lain. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini pun melakukan upaya diskusi untuk memperoleh pinjaman dari tiga bank pelat merah, yakni PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI).
Dana pinjaman berfungsi sebagai bridging loan untuk mendukung aktivitas dan memenuhi kewajiban pembayaran biaya operasional. Biaya operasional yang dimaksud antara lain biaya bahan bakar, sewa dan perawatan pesawat. Selain itu, dana pinjaman juga akan digunakan untuk biaya operasional lainnya, salah satunya biaya jasa kebandaraan.
Ekonom Universitas Indonesia merasa pesimistis pencairan dana talangan dari pemerintah bisa cair dalam waktu dekat. Dana talangan ini dicairkan melalui mekanisme surat utang yang kemudian dibeli pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai standby buyer. “Birokrasi pencairan dana PEN ini memang tidak sederhana. SMI tentu juga menunggu pencairan dana PEN dari pemerintah,” ujarnya.
Di sisi lain, pinjaman modal kerja dari tiga bank BUMN juga belum jelas hasilnya.
Kesulitan Keuangan
Kinerja Garuda Indonesiaa terpuruk pada semester I 2020 dengan catatan rugi bersih mencapai US$ 712,72 juta atau setara dengan Rp 10,47 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dolar AS). Padahal di periode yang sama tahun lalu perseroan berhasil membukukan laba US$ 24,11 juta. Catatan rugi ini disebabkan karena pendapatan perseroan turun 58,18% menjadi hanya US$ 917,28 juta sepanjang semester I 2020. Pada semester I 2019 perseroan hanya mampu meraup pendapatan sebesar US$ 2,19 miliar.
Anjloknya pendapatan Garuda Indonesia disebabkan karena selama pandemi corona frekuensi penerbangan turun drastis. Sebelumnya perseroan rata-rata melayani lebih dari 400 penerbangan per hari, namun selama pandemi corona turun di kisaran 100 penerbangan per hari.
Sejumlah strategi bisnis diupayakan Garuda Indonesia untuk setidaknya bisa membalikkan keadaan di semester II. Strategi yang dijalankan perseroan meliputi pemulihan kinerja secara menyeluruh pada berbagai lini bisnis. Misalnya optimalisasi pendapatan penumpang penerbangan berjadwal, layanan kargo, hingga penerbangan tak berjadwal atau charter.
Selain menjalankan strategi pemulihan dari segmen bisnis, perseroan juga membenahi pengelolaan biaya. Beberapa aspek yang dimaksud antara lain negosiasi biaya sewa pesawat, restrukturisasi utang, hingga efisiensi di seluruh lini operasional. Namun, sejumlah upaya tersebut belum cukup.
Saat rapat bersama DPR pada Juli lalu, manajemen Garuda Indonesia mengaku membutuhkan dana pinjaman sebesar US$ 633 juta, atau setara Rp 9,5 triliun mengacu kurs Rp 15 ribu per dolar AS. Dana tersebut dibutuhkan untuk menambal likuiditas perseroan hingga 2021. Sementara untuk kebutuhan bantuan likuiditas tahun ini setidaknya US$ 220 juta setara Rp 3,3 triliun.
“Secara total, kami harus mengakui ada kebutuhan sebesar Rp 9,5 triliun,” ungkap Irfan di Komisi VI DPR, Juli lalu.
Dia menjelaskan arus kas akhir perseroan tercatat negatif US$36,92 juta pada Juli 2020. Tanpa ada dana segar, arus kas akhir perseroan diprediksi minus US$ 208,13 juta pada akhir 2020. Namun, jika dana pinjaman mulai masuk di Juli, maka arus kas diproyeksi positif US$3,07 juta. Dengan dana ini, arus kas akhir perseroan diyakini positif US$ 425,19 juta akhir tahun.
Menurut Toto, kinerja Garuda Indonesia bisa sangat terimbas dengan tidak adanya dana segar hingga akhir tahun ini. Ketika arus kasnya semakin kering, tagihan beban operasional yang harus ditanggung Garuda akan semakin menumpuk. “Maka mungkin langkah radikal hrs dijalankan,” ujarnya.
Dia mencontohkan upaya radikal tersebut misalnya dengan mengurangi jumlah slot penerbangan domestic secara drastis. Masalahnya, jika langkah ini dilakukan, funģsi Garuda sebagai jembatan udara nasional tidak berjalan.
Masih ada upaya lain yang bisa dilakukan Garuda, kata Toto, misalnya dengan memperbanyak alokasi penerbangan untuk muatan logistik. Jumlah kursi penumpang dibatasi dan diganti dengan muatan logistik. Cara lainnya, Garuda bisa expansi bisnis ke pesawat charter.
“Kalau upaya-upaya ini masih belum cukup juga dan dana talangan belum bisa cair, maka mungkin upaya perlindungan kebangkrutan ke pengadilan seperti yg diajukan Thai Airways perlu dipikirkan,” kata Toto.(msn)